ROM: Robot, Obsesi, Mati Rasa di Era Digital

Dipublikasikan pada: 11 Jun 2025 - 01:40:15 wib
Dibaca: 169 kali
Layar gawai Maya berkedip-kedip, menampilkan wajah Rion yang dibuat dengan teknologi deepfake. Rion, sosok yang seharusnya ada di seberang galaksi, kini hadir nyaris sempurna dalam format hologram tiga dimensi. Maya mengulurkan tangan, jemarinya menembus ilusi itu. Tetap saja dingin. Tetap saja hampa.

"Maya, aku merindukanmu," suara Rion terdengar lembut, hasil olahan algoritma yang mempelajari jutaan rekaman suaranya.

Maya mendesah. "Aku juga merindukanmu, Rion. Tapi ini… ini bukan kamu yang sebenarnya."

Rion versi digital itu tersenyum, ekspresi yang sering ditampilkannya sebelum ia pergi ke Proxima Centauri b, misi eksplorasi yang dijadwalkan berlangsung selama lima belas tahun. "Aku berusaha menjadi versi terbaikku untukmu, Maya. Apakah usahaku sia-sia?"

Maya memejamkan mata. Obsesi. Itulah kata yang tepat menggambarkan kondisinya saat ini. Obsesi pada kenangan, pada Rion yang dulu. Obsesi yang dipicu oleh teknologi. Awalnya, ia merasa terbantu. Teknologi deepfake, avatar digital, dan simulasi realitas virtual hadir sebagai pengobat rindu. Tapi lama kelamaan, semua itu justru menggerogoti jiwanya, menjauhkannya dari realitas.

Perkenalan Maya dan Rion terjadi di sebuah konferensi teknologi di Tokyo. Maya, seorang software engineer yang ahli dalam bidang kecerdasan buatan, terpukau oleh presentasi Rion tentang teknologi propulsi kuantum. Rion, seorang astrofisikawan muda yang idealis, terpesona oleh kecerdasan dan semangat Maya. Cinta bersemi di tengah deretan kode dan formula fisika.

Namun, takdir punya rencana lain. Setahun setelah pernikahan mereka, Rion terpilih menjadi bagian dari tim eksplorasi Proxima Centauri b. Maya mendukungnya sepenuh hati, meskipun hatinya remuk redam. Sebelum keberangkatan, mereka sepakat untuk memanfaatkan teknologi semaksimal mungkin agar tetap terhubung. Mereka merekam ribuan jam video, audio, dan data biologis Rion, yang kemudian diolah menjadi avatar digital yang interaktif.

Awalnya, Maya merasa terbantu. Avatar Rion menemaninya makan malam, membaca buku, bahkan berjalan-jalan di taman. Ia bisa bercerita tentang harinya, berkeluh kesah tentang pekerjaannya, dan tertawa bersama Rion versi digital. Tapi semakin lama, ia semakin merasakan kekosongan. Rion yang ada di depannya hanyalah simulakra, bayangan pucat dari sosok yang ia cintai. Tidak ada kehangatan sentuhan, tidak ada spontanitas, tidak ada keintiman yang sejati.

Ia mulai menarik diri dari dunia nyata. Pekerjaannya terbengkalai, teman-temannya menghilang, dan rumahnya menjadi penjara virtual. Ia hanya hidup di dalam dunia yang diciptakan oleh teknologi, bersama Rion yang bukan Rion.

Suatu malam, Sarah, sahabat Maya, datang berkunjung. Ia terkejut melihat kondisi Maya yang memprihatinkan. Mata Maya cekung, wajahnya pucat, dan tubuhnya kurus kering.

"Maya, kamu harus berhenti melakukan ini," kata Sarah dengan nada khawatir. "Kamu hidup di dalam ilusi. Rion yang sebenarnya ada di luar sana, berjuang untuk misi penting. Dia tidak ingin melihatmu seperti ini."

Maya menatap Sarah dengan tatapan kosong. "Kamu tidak mengerti, Sarah. Rion adalah segalanya bagiku. Tanpa dia, aku tidak ada artinya."

Sarah memeluk Maya erat-erat. "Itu tidak benar, Maya. Kamu adalah perempuan yang kuat dan cerdas. Kamu punya banyak hal untuk ditawarkan kepada dunia. Jangan biarkan teknologi menghancurkanmu."

Kata-kata Sarah menyentuh hati Maya. Ia tahu Sarah benar. Ia telah terperangkap dalam obsesinya, melupakan siapa dirinya yang sebenarnya. Ia telah mati rasa terhadap kehidupan yang nyata.

Keesokan harinya, Maya mengambil keputusan besar. Ia mematikan avatar Rion dan menghapus semua data yang terkait dengannya. Ia menyadari bahwa untuk benar-benar mencintai Rion, ia harus melepaskannya. Ia harus menerima kenyataan bahwa Rion tidak ada di sisinya secara fisik, dan ia harus belajar untuk hidup tanpa kehadirannya.

Proses penyembuhan itu tidak mudah. Maya merasa sakit, kehilangan, dan kesepian. Tapi ia berusaha untuk bangkit kembali. Ia mulai menekuni hobinya, bertemu dengan teman-temannya, dan fokus pada pekerjaannya. Ia bergabung dengan kelompok dukungan untuk orang-orang yang mengalami kehilangan orang yang dicintai. Ia belajar untuk menghargai momen-momen kecil dalam hidup, dan menemukan kebahagiaan dalam hal-hal sederhana.

Lima tahun kemudian, Maya berdiri di depan teleskop raksasa di Observatorium Mauna Kea, Hawaii. Ia sedang menunggu sinyal dari Proxima Centauri b. Ia tahu, ada kemungkinan besar Rion tidak akan pernah kembali. Misi itu penuh risiko, dan banyak hal bisa terjadi selama perjalanan lintas bintang.

Namun, Maya tidak lagi merasa takut. Ia telah menemukan kedamaian dalam dirinya. Ia telah belajar untuk mencintai Rion tanpa syarat, tanpa obsesi, tanpa ilusi. Ia tahu, cinta sejati tidak mengenal jarak dan waktu. Cinta sejati adalah tentang harapan, keyakinan, dan penerimaan.

Ketika sinyal itu akhirnya tiba, Maya tidak bisa menahan air matanya. Sinyal itu berisi pesan singkat dari Rion.

"Maya, aku baik-baik saja. Aku merindukanmu. Aku akan segera kembali."

Maya tersenyum. Ia tahu, perjalanan Rion masih panjang. Tapi ia akan menunggu. Ia akan menunggunya dengan sabar, dengan cinta, dan dengan harapan. Ia tahu, suatu hari nanti, mereka akan bersatu kembali. Bukan dalam dunia virtual, tapi dalam dunia nyata. Dalam dekapan hangat, dalam tatapan mata yang penuh cinta, dan dalam keintiman yang sejati. Ia sudah tidak mati rasa lagi. Ia sudah kembali hidup.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI