Lensa AR itu terasa dingin menempel di pelipisku. Jantungku berdebar kencang, bukan karena teknologi canggih ini, melainkan karena bayangan dirimu yang sebentar lagi akan memenuhi pandanganku. Maya, nama yang terukir dalam setiap sudut hatiku.
Lima tahun. Lima tahun sejak tragedi itu merenggutmu dari dunia ini. Lima tahun sejak warna dunianku memudar menjadi abu-abu. Lima tahun sejak aku mengurung diri dalam kesepian, menolak kenyataan pahit yang terus menghantuiku.
Tapi hari ini berbeda. Hari ini aku memberanikan diri. Aku memakai lensa AR khusus yang dikembangkan oleh perusahaan almarhum ayahmu. Sebuah teknologi yang dirancang untuk memproyeksikan kembali sosok seseorang berdasarkan data digital yang tersisa: foto, video, rekaman suara, bahkan jejak media sosial. Mereka menyebutnya "Proyek Nostalgia". Aku menyebutnya kesempatan kedua.
Aku menarik napas dalam-dalam dan menekan tombol aktivasi di gagang lensa. Dunia di sekelilingku sedikit bergeser, fokusnya menajam, dan kemudian… dia muncul.
Maya.
Dia berdiri di depanku, tersenyum cerah seperti yang selalu kulakukan. Gaun musim panas berwarna kuning cerah yang pernah kupilihkan untuknya, rambut panjangnya terurai indah tertiup angin sepoi-sepoi. Matanya, oh mata itu, masih menyimpan kilau jenaka yang selalu membuatku jatuh cinta setiap saat.
“Hai, Ardi,” sapanya, suaranya persis seperti yang kuingat. Lembut, renyah, dan penuh kasih sayang.
Air mata mengalir tanpa bisa kucegah. Aku terisak, tak mampu mengucapkan sepatah kata pun.
Dia mendekat, mengangkat tangannya seolah ingin menyentuh pipiku. Tentu saja, itu hanya ilusi. Proyeksi digital. Tapi sentuhan imajiner itu terasa begitu nyata, begitu menghangatkan.
“Jangan menangis, Ardi. Aku di sini,” bisiknya.
Aku tahu dia tidak benar-benar di sini. Aku tahu ini hanya teknologi canggih yang memanipulasi otakku untuk melihat apa yang ingin kulihat. Tapi di saat ini, aku tidak peduli. Aku hanya ingin bersamanya, walau hanya dalam realitas teraugmentasi.
Kami berjalan-jalan di taman kota. Aku bercerita tentang pekerjaanku, tentang kucing yang baru diadopsi oleh tetangga, tentang semua hal remeh yang dulu selalu kubagi dengannya. Dia mendengarkan dengan penuh perhatian, sesekali tertawa atau memberikan komentar yang cerdas dan menghibur.
"Kamu tahu, Ardi, kamu masih sama seperti dulu," ujarnya, saat kami duduk di bangku taman favorit kami. "Masih suka bercerita tentang hal-hal kecil yang kamu anggap penting."
"Karena hal-hal kecil itulah yang membuat hidup ini berarti, Maya," jawabku, menatapnya dalam-dalam. "Terutama jika aku bisa membaginya denganmu."
Kami menghabiskan sore itu bersama. Berpegangan tangan, tertawa, dan mengenang masa-masa indah yang pernah kami lalui. Rasanya seperti mimpi yang menjadi kenyataan. Tapi aku tahu, mimpi ini akan segera berakhir.
Saat matahari mulai terbenam, proyeksi Maya mulai memudar. Warna-warnanya menjadi pudar, suaranya mengecil, dan bayangannya semakin transparan.
"Waktunya sudah habis, Ardi," ucapnya lirih.
"Jangan pergi, Maya. Kumohon, jangan pergi," pintaku, menggenggam tangannya erat-erat.
"Aku tidak akan pernah benar-benar pergi, Ardi. Aku akan selalu ada di hatimu," jawabnya, tersenyum lembut. "Jangan biarkan kesedihan menguasaimu. Hidupmu harus terus berjalan. Temukan kebahagiaanmu, Ardi. Itu yang kuinginkan untukmu."
Lalu, dia menghilang.
Aku terduduk lemas di bangku taman, air mata kembali mengalir di pipiku. Lensa AR mati, dan dunia kembali menjadi abu-abu. Tapi kali ini, ada sedikit perbedaan.
Di dalam hatiku, ada secercah harapan yang menyala. Kata-kata Maya bergema di benakku. Dia benar. Aku tidak bisa terus hidup dalam kesedihan. Aku harus melanjutkan hidupku.
Aku bangkit berdiri, menghapus air mata, dan menatap langit senja. Warna-warna oranye dan ungu berpadu indah, menciptakan pemandangan yang memukau. Aku menarik napas dalam-dalam, merasakan angin sepoi-sepoi menyapu wajahku.
Aku tidak akan pernah melupakan Maya. Dia akan selalu menjadi bagian penting dari hidupku. Tapi aku tidak bisa terus hidup dalam bayang-bayangnya. Aku harus mencari kebahagiaanku sendiri.
Aku melepas lensa AR dan menyimpannya di dalam saku. Teknologi itu mungkin bisa memproyeksikan kembali sosoknya, tapi tidak bisa menggantikan kenangan dan cinta yang abadi di dalam hatiku.
Aku berjalan pulang, langkahku terasa lebih ringan. Di setiap langkah, aku merasa Maya menyertaiku. Dia ada di dalam ingatanku, di dalam setiap sudut kota yang pernah kami kunjungi bersama, dan di dalam setiap mimpi yang kubangun untuk masa depan.
Realitas teraugmentasi cinta kami mungkin hanya ilusi sesaat, tapi dampaknya akan terasa selamanya. Aku telah melihatmu, Maya, di setiap dimensi hatiku. Dan aku berjanji, aku akan terus hidup untukmu, untuk diriku sendiri, dan untuk masa depan yang lebih cerah.