Cinta di Ujung Jari: Algoritma Menentukan Segalanya?

Dipublikasikan pada: 01 Jun 2025 - 20:30:14 wib
Dibaca: 167 kali
Jemari Luna menari di atas layar ponselnya, menghapus lalu mengetik, menghapus lagi. Bibirnya digigit pelan, tanda kegelisahan yang amat sangat. Di hadapannya, layar aplikasi "SoulMate 3000" menampilkan profil seorang pria bernama Aryan, lengkap dengan sederetan angka kecocokan yang membuatnya deg-degan. 98.7%. Angka itu berkedip-kedip seolah mengejek keraguannya.

SoulMate 3000 adalah aplikasi kencan paling populer di abad ini. Bukan sekadar aplikasi biasa, SoulMate 3000 menggunakan algoritma canggih yang menganalisis data biometrik, riwayat media sosial, preferensi belanja, bahkan gelombang otak untuk menemukan pasangan yang paling kompatibel. Klaimnya? Akurasi 99% dalam menemukan belahan jiwa.

Luna selalu skeptis. Ia percaya cinta adalah sesuatu yang organik, tumbuh dari pertemuan kebetulan, obrolan larut malam, dan perasaan yang sulit dijelaskan dengan logika. Tapi, setelah serangkaian kencan buta yang berakhir dengan kekecewaan, dan tekanan dari orang tuanya yang terus menjodohkannya, Luna akhirnya menyerah. Ia mengunduh SoulMate 3000.

Dan kini, ia terpaku pada profil Aryan. Secara teori, mereka sempurna. Keduanya menyukai musik jazz klasik, film-film arthouse Prancis, dan sama-sama alergi terhadap kucing. Aryan bekerja sebagai arsitek lanskap, sebuah profesi yang terdengar romantis di telinga Luna yang berprofesi sebagai programmer game. Bahkan, algoritma mencatat bahwa keduanya memiliki pola tidur yang serupa.

Tapi, ada sesuatu yang mengganjal. Foto Aryan di profilnya terlalu sempurna. Senyumnya terlalu lebar, rambutnya terlalu rapi, dan matanya terlalu biru. Semua itu terasa… dibuat-buat. Luna merindukan ketidaksempurnaan, celah yang membuat seseorang menjadi unik dan menarik.

"Luna, kenapa bengong dari tadi? Aryan ini kan tipe kamu banget," suara Maya, sahabat Luna, membuyarkan lamunannya. Maya duduk di seberang Luna di sebuah kafe yang sedang ramai.

"Aku tahu, May. Tapi… ini terlalu sempurna. Aku jadi curiga," jawab Luna, meletakkan ponselnya di meja.

Maya tertawa. "Curiga kenapa? Kamu takut dia robot? Ayolah, Luna. Ini abad 22. Robot belum secantik Aryan."

"Bukan itu, May. Aku cuma… takut kecewa. Aku takut cinta yang kurasakan nanti hanya hasil kalkulasi algoritma, bukan perasaan yang sebenarnya."

Maya meraih tangan Luna. "Dengar, Luna. Algoritma itu hanya alat bantu. Yang menentukan perasaanmu tetap kamu sendiri. Kalau kamu tidak merasakan apa-apa sama Aryan, ya sudah. Tinggal swipe left."

Kata-kata Maya sedikit menenangkan Luna. Ia memutuskan untuk memberikan kesempatan pada Aryan. Mereka sepakat untuk bertemu di sebuah restoran Italia yang direkomendasikan SoulMate 3000 sebagai tempat yang ideal untuk kencan pertama.

Malam itu, Luna mengenakan gaun merah yang sudah lama tergantung di lemarinya. Ia mencoba untuk terlihat santai, tapi jantungnya berdebar kencang. Saat Aryan tiba, Luna terkesima. Ia memang tampan, persis seperti di fotonya. Senyumnya menawan, dan matanya benar-benar biru.

Kencan pertama mereka berjalan lancar. Aryan sangat perhatian, lucu, dan pintar. Mereka berbicara tentang banyak hal, mulai dari arsitektur lanskap hingga game indie. Luna merasa nyaman dan rileks. Bahkan, beberapa kali ia tertawa lepas, sesuatu yang jarang ia lakukan akhir-akhir ini.

Namun, semakin lama mereka berbicara, semakin Luna merasakan ada sesuatu yang aneh. Jawaban Aryan terlalu sempurna, terlalu terstruktur. Seolah ia sudah menyiapkan jawaban untuk setiap pertanyaan yang mungkin diajukan Luna. Ia seperti membaca naskah yang sudah dituliskan sebelumnya.

Di tengah percakapan, Luna mencoba menguji Aryan. Ia sengaja menanyakan pendapatnya tentang sebuah film yang sangat ia benci, film yang tidak mungkin direkomendasikan oleh SoulMate 3000.

"Film itu… cukup menarik. Alurnya kompleks, dan sinematografinya indah," jawab Aryan, dengan nada datar.

Luna mengerutkan kening. "Tapi, kamu kan biasanya tidak suka film yang lambat dan membosankan?"

Aryan terdiam sejenak. "Oh, ya? Aku lupa. Mungkin selera ku sedang berubah."

Luna tahu. Aryan berbohong. Ia berusaha untuk tetap sesuai dengan profil yang telah dibuat oleh algoritma.

Malam itu, Luna pulang dengan perasaan campur aduk. Ia mengakui, Aryan adalah pria yang menarik dan menyenangkan. Tapi, ia tidak yakin apakah ia benar-benar menyukai Aryan, atau hanya menyukai versi Aryan yang telah dikonstruksi oleh SoulMate 3000.

Beberapa hari kemudian, Luna menerima pesan dari Aryan. Ia mengajak Luna untuk berkencan lagi. Luna ragu-ragu. Ia ingin sekali mengenal Aryan lebih jauh, tapi ia juga takut terjebak dalam ilusi yang diciptakan oleh algoritma.

Akhirnya, Luna memutuskan untuk bertemu dengan Aryan sekali lagi. Tapi kali ini, ia punya rencana. Ia ingin melihat siapa Aryan sebenarnya, di luar profil yang telah ditentukan oleh SoulMate 3000.

Saat mereka bertemu, Luna langsung mengutarakan niatnya. "Aryan, aku ingin jujur padamu. Aku merasa ada yang aneh dengan hubungan kita. Aku merasa seperti sedang berkencan dengan sebuah profil, bukan dengan orang yang sebenarnya."

Aryan tampak terkejut. "Apa maksudmu, Luna?"

"Aku merasa kamu selalu berusaha untuk menjadi orang yang aku inginkan, bukan menjadi dirimu sendiri. Aku ingin tahu, siapa Aryan yang sebenarnya? Apa yang kamu sukai, apa yang kamu benci, apa yang membuatmu tertawa, apa yang membuatmu menangis? Aku ingin mengenalmu, bukan algoritma."

Aryan terdiam cukup lama. Lalu, ia menghela napas panjang. "Kamu benar, Luna. Aku… aku memang berusaha untuk memenuhi ekspektasimu. Aku sangat ingin membuatmu terkesan, dan aku pikir satu-satunya cara adalah dengan menjadi orang yang ideal, seperti yang direkomendasikan oleh SoulMate 3000."

"Tapi, itu bukan kamu, kan?" tanya Luna, lembut.

Aryan menggeleng. "Bukan. Sebenarnya, aku tidak terlalu suka jazz klasik. Aku lebih suka musik rock. Dan aku benci film arthouse Prancis. Aku lebih suka film superhero."

Luna tersenyum. "Lihat? Kamu punya selera sendiri. Dan itu tidak masalah."

"Aku takut kamu tidak akan menyukaiku kalau aku jujur," kata Aryan, lirih.

"Itu salah. Aku justru akan lebih menyukaimu kalau kamu jujur. Aku ingin mengenalmu apa adanya, dengan segala kelebihan dan kekuranganmu."

Malam itu, Luna dan Aryan berbicara panjang lebar. Mereka saling mengungkapkan hal-hal yang sebelumnya mereka sembunyikan. Mereka tertawa, berdebat, dan saling belajar. Luna menemukan bahwa Aryan yang sebenarnya jauh lebih menarik daripada Aryan yang ada di profil SoulMate 3000. Ia mungkin tidak sempurna, tapi ia jujur, autentik, dan memiliki hati yang tulus.

Akhirnya, Luna menyadari bahwa algoritma memang bisa membantu menemukan orang yang cocok secara teori. Tapi, cinta sejati tidak bisa dikalkulasi. Cinta adalah tentang menerima ketidaksempurnaan, tentang menghargai perbedaan, dan tentang membangun hubungan yang jujur dan autentik. Cinta adalah tentang pilihan, bukan algoritma.

Luna menggenggam tangan Aryan. "Aku ingin mencoba, Aryan. Aku ingin melihat ke mana hubungan ini akan membawa kita. Tapi, kali ini, aku ingin kita menjadi diri kita sendiri."

Aryan tersenyum. "Aku juga, Luna. Aku juga."

Dan di malam itu, di bawah cahaya bulan yang redup, Luna dan Aryan memulai sebuah kisah cinta yang baru. Kisah cinta yang tidak ditentukan oleh algoritma, melainkan oleh pilihan mereka sendiri. Kisah cinta yang mungkin tidak sempurna, tapi pasti lebih bermakna. Karena cinta sejati, pada akhirnya, selalu lebih dari sekadar angka.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI