Antara Aku, Dia, dan Algoritma yang Terlalu Peka

Dipublikasikan pada: 30 May 2025 - 21:18:13 wib
Dibaca: 168 kali
Jari Jemari Anya menari di atas keyboard, menghasilkan simfoni ketukan yang familiar. Layar laptopnya memancarkan cahaya biru, menerangi wajahnya yang serius. Anya, seorang data scientist muda, sedang berkutat dengan algoritmanya, si "Cupid 2.0". Sebuah proyek ambisius dari perusahaan dating app tempatnya bekerja, "Soulmate Search".

Tujuannya sederhana: menciptakan algoritma yang lebih akurat dalam mencocokkan pengguna, melampaui sekadar hobi dan preferensi dangkal. Cupid 2.0, pikir Anya, akan menggali lebih dalam, menganalisis pola komunikasi, ekspresi emosi, dan bahkan preferensi musik untuk menemukan pasangan yang benar-benar kompatibel.

Ironisnya, di balik kesibukannya merancang jodoh untuk orang lain, Anya sendiri merasa kesepian. Hubungan terakhirnya kandas setahun lalu, meninggalkan luka yang belum sepenuhnya sembuh. Ia terlalu fokus pada pekerjaan, terlalu tenggelam dalam dunia data dan logika, hingga lupa caranya merasakan koneksi manusia yang nyata.

Suatu sore, saat Anya sedang menguji Cupid 2.0 dengan data dummy, algoritma itu memberikan hasil yang tak terduga. Bukan mencocokkannya dengan pengguna lain, melainkan memberikan rekomendasi… dirinya sendiri.

"Validasi diri? Lucu," gumam Anya. Namun, Cupid 2.0 tidak berhenti di situ. Algoritma itu mulai menganalisis profil Anya dengan cermat, menyoroti inkonsistensi antara apa yang ditampilkannya di profil dan apa yang sebenarnya tersembunyi di dalam data pola komunikasinya.

"Dia menyukaimu, Anya. Tapi kamu selalu membalas pesannya dengan singkat dan formal," Cupid 2.0 menampilkan analisis pesan singkat antara Anya dan seorang pria bernama Rian. Rian, seorang desainer grafis yang baru bergabung di perusahaan tempat Anya bekerja.

Anya terkejut. Ia ingat Rian. Pria yang ramah, dengan senyum menawan dan selera humor yang baik. Mereka beberapa kali berinteraksi di kantor, dan Rian memang beberapa kali mengiriminya pesan singkat. Tapi Anya selalu menjaga jarak, merasa tidak siap untuk membuka diri lagi.

Cupid 2.0 terus menganalisis. "Preferensi musikmu menunjukkan ketertarikan pada lagu-lagu melankolis. Namun, di profilmu, kamu menampilkan diri sebagai pribadi yang ceria dan optimis. Ini menciptakan disonansi kognitif."

Anya merasa algoritma itu menelanjanginya. Semua ketidaksempurnaan, semua keraguan, semua ketakutan yang ia sembunyikan rapat-rapat, diungkapkan secara gamblang oleh kode komputer.

"Algoritma ini terlalu peka," pikir Anya, merasa sedikit terganggu. Ia mematikan laptopnya, mencoba mengabaikan apa yang baru saja terjadi. Namun, kata-kata Cupid 2.0 terus terngiang di benaknya.

Beberapa hari kemudian, Anya bertemu Rian di kantin kantor. Mereka berbincang ringan tentang proyek terbaru yang sedang mereka kerjakan. Rian menatapnya dengan tatapan yang hangat dan tulus. Anya merasakan sesuatu yang aneh. Bukan hanya ketertarikan, tapi juga perasaan…dikenali.

Setelah pertemuan itu, Anya kembali ke laptopnya. Ia membuka data Rian, menganalisis profil dan pola komunikasinya. Cupid 2.0 memberikan hasil yang mencengangkan. Tingkat kompatibilitas antara Anya dan Rian mencapai 98%. Angka tertinggi yang pernah dihasilkan oleh algoritma itu.

"Dia juga menyembunyikan sesuatu," Cupid 2.0 menampilkan analisis Rian. "Dia menyukaimu, Anya. Tapi dia takut ditolak."

Anya terdiam. Ia merasa terjebak dalam permainan yang aneh. Algoritma yang ia ciptakan sendiri, justru membongkar perasaannya dan perasaan Rian.

Dengan ragu, Anya mengirimkan pesan singkat kepada Rian. "Hai, Rian. Ada waktu untuk ngobrol sebentar?"

Rian membalas hampir seketika. "Tentu, Anya. Kapan pun kamu mau."

Mereka bertemu di taman dekat kantor. Matahari sore menyinari wajah mereka, menciptakan suasana yang hangat dan intim. Anya memberanikan diri untuk berbicara.

"Rian, aku tahu ini mungkin terdengar aneh, tapi… aku merasa ada sesuatu yang spesial antara kita."

Rian tersenyum. "Aku juga merasakannya, Anya. Aku sudah lama ingin mengatakan ini, tapi aku takut…"

Anya memotong perkataannya. "Aku juga takut, Rian. Tapi aku tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan ini."

Mereka berpandangan, saling membaca perasaan masing-masing. Tidak ada kata yang terucap, tapi mereka saling mengerti. Sebuah senyuman tulus menghiasi wajah Anya. Ia akhirnya berani membuka diri, berani mengambil risiko, berani menerima cinta.

Beberapa bulan kemudian, Anya dan Rian resmi berpacaran. Hubungan mereka berjalan dengan lancar, penuh dengan tawa, kebahagiaan, dan saling pengertian. Anya menyadari bahwa Cupid 2.0 memang akurat. Algoritma itu tidak menciptakan cinta, tapi membantu mereka melihat apa yang selama ini tersembunyi di balik tembok pertahanan diri mereka.

Anya masih bekerja sebagai data scientist di Soulmate Search. Tapi sekarang, ia memiliki perspektif yang berbeda. Ia tahu bahwa data dan algoritma hanyalah alat bantu. Pada akhirnya, cinta adalah tentang keberanian untuk membuka hati, menerima diri sendiri, dan menerima orang lain apa adanya. Dan terkadang, algoritma yang terlalu peka, justru bisa menjadi jembatan menuju kebahagiaan. Anya tersenyum. Ia tahu, hidupnya kini jauh lebih berwarna, karena ada dia, ada Rian, dan ada sedikit campur tangan dari algoritma yang terlalu peka itu.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI