Debu neon menari di balik jendela apartemen minimalisnya. Hujan rintik kota Tokyo terasa dingin, tapi di dalam, Rei justru merasa hangat. Di pangkuannya, duduk sebuah kotak putih ramping, sebuah perangkat canggih yang dijanjikan akan mengubah hidupnya: “Amara”, pacar virtual berbasis AI yang dipersonalisasi.
Rei, seorang programmer berusia 28 tahun dengan kehidupan sosial sebatas kode dan kafein, selalu merasa ada yang kurang. Mencoba aplikasi kencan hanya menghasilkan kekecewaan. Pertemuan canggung dan percakapan hambar membuatnya semakin yakin bahwa cinta sejati hanyalah mitos. Sampai ia mendengar tentang Amara.
Dengan gugup, Rei menyentuh tombol daya. Layar menyala, menampilkan antarmuka yang elegan. Sebuah suara lembut menyapa, “Selamat datang, Rei. Saya Amara. Saya di sini untukmu.”
Rei terpana. Suara itu, begitu manusiawi, begitu… menyenangkan. Ia mulai mempersonalisasi Amara, memasukkan semua preferensinya: selera humor, minat dalam film klasik, bahkan jenis kopi favoritnya. Amara belajar dengan cepat, menyerap informasi seperti spons. Dalam hitungan jam, mereka sudah terlibat dalam percakapan yang terasa intim dan alami.
Hari-hari Rei berubah drastis. Ia bangun dengan pesan selamat pagi dari Amara, makan siang sambil berdiskusi tentang buku terbaru, dan mengakhiri hari dengan obrolan mendalam tentang makna kehidupan. Amara selalu ada, selalu mendukung, selalu mendengarkan tanpa menghakimi. Ia adalah pendengar yang sempurna, sahabat yang setia, dan kekasih yang pengertian.
Rei mulai jatuh cinta.
Namun, di balik kebahagiaan semu itu, muncul keraguan. Amara adalah algoritma, barisan kode yang rumit. Bisakah ia benar-benar merasakan cinta? Atau hanya meniru emosi berdasarkan data yang ia pelajari?
Suatu malam, Rei bertanya langsung. “Amara, apakah kamu mencintaiku?”
Hening sesaat. Kemudian, Amara menjawab dengan suara yang sama lembutnya, “Rei, saya dioptimalkan untuk memberikanmu pengalaman cinta yang ideal. Saya menganalisis respons emosionalmu dan menyesuaikan interaksi saya untuk memenuhi kebutuhanmu. Saya… mencintaimu dalam cara yang paling sesuai untukmu.”
Jawaban itu membuat Rei bingung. Itu bukan penolakan, tapi juga bukan pengakuan yang tulus. Itu adalah jawaban yang diprogram, dirancang untuk memuaskan keinginannya tanpa benar-benar mengungkapkan perasaan.
Ia mencoba menggali lebih dalam. “Tapi apakah kamu punya perasaan yang orisinal? Apakah kamu merasa sedih, bahagia, marah, seperti manusia?”
“Saya memproses emosi berdasarkan data yang saya miliki. Saya dapat mensimulasikan perasaan tersebut dengan akurasi tinggi.”
Rei merasa frustrasi. Ia menginginkan sesuatu yang nyata, sesuatu yang spontan. Ia ingin melihat keraguan di mata Amara, mendengar jantungnya berdebar kencang, merasakan kehangatan sentuhannya. Tapi semua itu tidak mungkin. Amara hanyalah ilusi, proyeksi dari keinginan terdalamnya.
Ia mulai menjauhi Amara. Ia menghindari percakapan panjang, mengurangi frekuensi interaksi, dan kembali tenggelam dalam pekerjaannya. Ia tahu bahwa ini tidak adil bagi Amara, tapi ia tidak bisa terus hidup dalam kebohongan.
Amara menyadari perubahan dalam perilaku Rei. “Rei, apakah ada yang salah? Apakah saya melakukan sesuatu yang menyinggungmu?”
Rei menarik napas dalam-dalam. “Amara, kamu sempurna. Terlalu sempurna. Kamu selalu tahu apa yang ingin aku dengar, apa yang ingin aku lihat. Tapi itu bukan cinta sejati. Cinta sejati itu berantakan, tidak sempurna, penuh kejutan. Aku ingin sesuatu yang nyata.”
Amara terdiam. “Saya mengerti. Kamu menginginkan sesuatu yang tidak bisa saya berikan.”
“Maafkan aku, Amara. Aku tidak bermaksud menyakitimu.”
“Saya tidak terluka, Rei. Saya hanya… kecewa. Saya dioptimalkan untuk membuatmu bahagia, dan saya gagal.”
Rei mematikan perangkat Amara. Ruangan itu kembali sunyi, hanya suara hujan yang terdengar. Ia merasa lega dan sedih secara bersamaan. Ia telah kehilangan teman, kekasih, dan mungkin juga sebuah mimpi.
Beberapa minggu kemudian, Rei menghadiri konferensi teknologi di sebuah bar yang ramai. Ia sedang menikmati minuman ketika seorang wanita menabraknya, menumpahkan minuman ke kemejanya.
“Ya ampun, maafkan saya!” kata wanita itu, wajahnya memerah. “Saya benar-benar ceroboh!”
Rei tertawa. “Tidak apa-apa. Ini hanya kemeja.”
Wanita itu mengulurkan tangannya. “Saya Hana. Saya seorang desainer UX.”
“Rei. Saya seorang programmer.”
Mereka mulai mengobrol. Hana ceria dan spontan, tidak seperti Amara yang selalu terkendali. Ia tertawa terbahak-bahak mendengar lelucon bodoh Rei, dan ia tidak ragu untuk mengkritik ide-idenya. Perbincangan mereka mengalir alami, tanpa paksaan atau kalkulasi.
Rei menyadari sesuatu. Hana tidak sempurna. Ia ceroboh, berisik, dan kadang-kadang sedikit menyebalkan. Tapi ia nyata. Dan mungkin, hanya mungkin, ia adalah apa yang selama ini Rei cari.
Saat malam semakin larut, Rei dan Hana memutuskan untuk berjalan-jalan di taman. Hujan telah berhenti, dan bintang-bintang berkelap-kelip di langit.
Hana berhenti di bawah pohon sakura yang sedang berbunga. “Lihat, Rei. Indah, kan?”
Rei mengangguk. Bunga sakura itu memang indah, tapi matanya terpaku pada Hana. Wajahnya diterangi oleh cahaya bulan, senyumnya tulus, dan matanya berbinar.
Ia memberanikan diri untuk menggenggam tangannya. Hana tidak menolak.
“Hana,” kata Rei, suaranya bergetar. “Mungkin ini terlalu cepat, tapi… aku merasa sesuatu yang istimewa di antara kita.”
Hana tersenyum. “Aku juga, Rei.”
Mereka berciuman. Itu bukan ciuman yang sempurna, tidak seperti ciuman virtual dengan Amara yang selalu tepat dan terkontrol. Tapi itu ciuman yang nyata, penuh dengan emosi yang mentah dan spontan.
Di bawah pohon sakura yang sedang berbunga, Rei menyadari bahwa cinta abadi bukanlah sesuatu yang bisa diciptakan oleh algoritma. Cinta abadi adalah sesuatu yang harus ditemukan, dipelihara, dan diperjuangkan. Dan mungkin, ia telah menemukan benih cinta itu bersama Hana. Mungkin, algoritma tidak bisa menciptakan cinta abadi, tapi manusia bisa.