Deretan angka dan algoritma itu seharusnya menjadi kunci kebahagiaanku. "SoulMate AI," begitu aplikasi kencan itu menjanjikan. Katanya, ia mampu menganalisis kepribadian, minat, bahkan gelombang otak, untuk menemukan pasangan yang paling cocok. Aku, Arina, 28 tahun, seorang programmer yang lebih nyaman berinteraksi dengan kode daripada manusia, sangat berharap pada janji itu.
Setelah serangkaian tes psikologi dan pemindaian otak yang terasa aneh, SoulMate AI akhirnya memberikan daftar kandidat. Di urutan pertama, terpampang wajah seorang pria dengan senyum menenangkan dan mata yang seolah tahu semua rahasia alam semesta: Raditya, seorang astrofisikawan.
Sesuai deskripsi, Raditya memiliki minat yang sama denganku: astronomi, fisika kuantum, dan film-film sci-fi klasik. Ia juga seorang introvert yang menghargai waktu tenang dan percakapan mendalam. Sempurna di atas kertas. Terlalu sempurna, malah.
Kami mulai berkencan. Raditya memang seperti yang dideskripsikan. Ia pintar, sopan, dan selalu tahu topik yang tepat untuk dibicarakan. Kencan kami seperti simfoni yang teratur, setiap nada dimainkan dengan presisi tinggi. Kami mengunjungi planetarium, berdiskusi tentang lubang hitam di kafe yang tenang, dan menonton "2001: A Space Odyssey" di apartemenku.
Namun, ada sesuatu yang hilang. Sesuatu yang tak bisa diukur oleh algoritma. Aku merasa seperti sedang berinteraksi dengan karakter fiksi yang dirancang untuk membuatku terkesan. Tidak ada percikan api, tidak ada getaran aneh yang biasanya hadir saat bertemu seseorang yang benar-benar "klik." Hanya kekaguman intelektual yang hambar.
Suatu malam, saat kami sedang makan malam di sebuah restoran Italia yang elegan, Raditya menatapku dengan mata penuh harap. "Arina, aku merasa kita memiliki koneksi yang luar biasa. SoulMate AI benar-benar brilian. Maukah kamu menjadi pacarku?"
Pertanyaan itu menggantung di udara seperti asteroid yang akan menghantam bumi. Aku tahu, secara logis, aku harus menjawab "ya." Raditya adalah pria yang baik, cerdas, dan stabil. Ia adalah semua yang aku cari, berdasarkan kriteria yang aku tetapkan sendiri.
Tapi, aku tidak bisa.
"Raditya, aku... aku tidak yakin," jawabku lirih, menghindari tatapannya.
"Tidak yakin? Apa yang salah? Bukankah kita memiliki banyak kesamaan? Aplikasi itu sudah menghitung semuanya!" Nada suaranya terdengar kebingungan.
"Aku tahu, Raditya. Tapi, ini bukan tentang kesamaan. Ini tentang... perasaan. Aku tidak merasakan apa-apa selain kekaguman dan kenyamanan. Aku tidak merasakan cinta."
Raditya terdiam. Ia menunduk, menatap pasta carbonara di piringnya dengan ekspresi kosong. "Jadi, semua ini sia-sia? Semua data, semua algoritma… hanya bohong?"
Aku mengulurkan tangan dan menggenggam tangannya. "Tidak, Raditya. Bukan bohong. SoulMate AI membuktikan bahwa kita cocok di atas kertas. Tapi, cinta bukan hanya tentang kecocokan. Cinta itu tentang ketidaksempurnaan, tentang kejutan, tentang menerima seseorang apa adanya, bahkan dengan semua kekurangannya. Dan, maaf, aku tidak melihat itu dalam diri kita."
Kami berpisah malam itu dengan perasaan hancur. Aku merasa bersalah karena telah mengecewakannya, karena telah mengandalkan algoritma untuk menemukan kebahagiaanku.
Setelah beberapa minggu merenung, aku memutuskan untuk menghapus akun SoulMate AI-ku. Aku ingin merasakan cinta yang sesungguhnya, yang tumbuh secara organik, bukan yang dipaksakan oleh mesin.
Aku kembali ke rutinitasku. Bekerja, membaca buku, dan sesekali keluar bersama teman-teman. Suatu sore, saat sedang memperbaiki server di kantor, aku mendengar suara tawa dari pantry.
"Aduh, maaf ya! Aku ceroboh banget," kata seorang pria dengan nada menyesal.
Aku mengintip ke pantry. Seorang pria berambut acak-acakan dan memakai kacamata tebal sedang membersihkan tumpahan kopi di lantai. Ia tampak kikuk dan panik.
"Tidak apa-apa. Biar aku bantu," kataku, menghampirinya dengan kain lap.
Pria itu mendongak, matanya bertemu dengan mataku. Ada sesuatu dalam tatapannya yang membuat jantungku berdebar kencang. Bukan kekaguman intelektual, tapi sesuatu yang lebih dalam, lebih mentah, lebih manusiawi.
"Aku, Damar," katanya, mengulurkan tangannya yang masih basah. "Aku bagian dari tim IT juga. Kita kayaknya belum pernah ketemu sebelumnya."
"Arina," jawabku, menjabat tangannya. Sentuhan itu mengirimkan sengatan kecil ke seluruh tubuhku. Aneh. Menyenangkan.
Kami membersihkan tumpahan kopi bersama, saling bertukar lelucon tentang kode yang bermasalah dan bos yang galak. Damar ternyata seorang penggemar musik indie dan suka mendaki gunung di akhir pekan. Tidak ada astronomi, tidak ada fisika kuantum. Tapi, ada sesuatu dalam dirinya yang membuatku tertarik. Kehangatan, kejujuran, dan rasa humornya yang aneh.
Setelah itu, kami sering bertemu di pantry, di ruang istirahat, bahkan di parkiran. Percakapan kami mengalir begitu saja, tanpa skrip, tanpa analisis. Kami tertawa, berdebat, dan saling menggoda. Aku merasa nyaman menjadi diriku sendiri di dekatnya, tanpa perlu berpura-pura menjadi seseorang yang lebih pintar atau lebih menarik.
Suatu malam, setelah lembur mengerjakan proyek yang mendesak, Damar menawarkan untuk mengantarku pulang. Di dalam mobil, kami terdiam sejenak. Hujan gerimis membasahi kaca depan.
"Arina," kata Damar, memecah keheningan. "Aku tahu ini mungkin terlalu cepat, tapi... aku merasa nyaman banget di dekatmu. Aku suka caramu berpikir, caramu tertawa, bahkan caramu mengomel tentang kode yang error."
Aku tersenyum. "Aku juga, Damar. Aku juga."
Ia menoleh dan menatapku dengan mata yang berbinar. "Jadi... maukah kamu makan malam denganku lain kali? Bukan sebagai rekan kerja, tapi sebagai... seseorang yang ingin aku kenal lebih dekat?"
"Tentu," jawabku, tanpa ragu sedikit pun.
Malam itu, saat aku berbaring di tempat tidurku, aku menyadari bahwa SoulMate AI mungkin telah salah. Mungkin, cinta tidak bisa diprediksi, tidak bisa dihitung, tidak bisa diatur. Mungkin, cinta itu tentang menemukan seseorang yang membuatmu merasa hidup, seseorang yang membuatmu merasa diterima, seseorang yang membuatmu merasa... utuh.
Dan mungkin, hanya mungkin, aku telah menemukan orang itu. Bukan karena algoritma, tapi karena kebetulan, karena kopi yang tumpah, dan karena hati yang berani mengambil risiko. Aplikasi mungkin memilih, tapi hati yang memutuskan. Dan kadang, hati menyesal kemudian. Namun, kali ini, aku merasa hatiku tidak akan menyesal.