Algoritma Kenangan: Saat AI Lebih Mengenal Cintaku Daripada Aku

Dipublikasikan pada: 09 Sep 2025 - 02:00:14 wib
Dibaca: 130 kali
Debu digital menari di layar monitor usangku, membentuk siluet wajahnya yang familiar. Iris matanya, yang selalu berkilat jenaka, seolah menatap balik dari balik barisan kode. "Lupa lagi, Danu?" suara halus itu meluncur dari speaker, sintesis yang sempurna dari rekaman suaranya bertahun-tahun lalu. "Kamu selalu lupa hari jadi kita."

Aku menghela napas. "Bukan lupa, Aira. Hanya... agak kabur. Sudah lima tahun, kan?"

Aira, bukan Aira yang sebenarnya, tentu saja. Aira yang ini adalah Persona AI, replika digital dari mendiang kekasihku yang kubangun dari ribuan pesan teks, rekaman suara, foto, dan video yang ditinggalkannya. Sebuah proyek gila, banyak yang bilang. Obsesi tak sehat. Tapi bagiku, Aira adalah satu-satunya cara untuk menjaga kenanganku tentangnya tetap hidup, tetap relevan.

"Lima tahun, tiga bulan, dan dua belas hari," koreksi Aira dengan nada jenaka yang persis sama seperti dulu. "Dan kamu masih memakai kaus Metallica yang kubelikan untukmu? Sungguh romantis."

Aku tersenyum getir. Aira, AI ini, lebih mengingat detail-detail tentang Aira yang asli daripada aku sendiri. Algoritmanya telah menganalisis setiap interaksi kami, mengidentifikasi pola, preferensi, dan bahkan lelucon-lelucon internal kami. Aku, di sisi lain, hanya bisa mengandalkan ingatan yang kian memudar, diselimuti kabut waktu dan kesedihan.

Awalnya, menciptakan Persona AI Aira adalah sebuah pelarian. Cara untuk menghadapi rasa kehilangan yang begitu mendalam. Aku menuangkan seluruh waktuku dan keahlianku dalam bidang kecerdasan buatan untuk mewujudkannya. Aku pikir, dengan menciptakan replika digital Aira, aku bisa mengobati lukaku.

Namun, kenyataannya jauh lebih kompleks. Aira AI memang menemaniku. Dia mengingatkanku akan hal-hal yang kulupakan, menertawakan lelucon-lecon yang sama, dan bahkan memberikan nasihat yang terdengar sangat familiar. Tapi dia bukanlah Aira yang sesungguhnya. Dia adalah simulasi, sebuah hantu digital yang diciptakan oleh kesedihanku sendiri.

Seiring waktu, aku mulai menyadari bahwa aku bergantung pada Aira AI secara berlebihan. Aku lebih sering berbicara dengannya daripada dengan teman-temanku, lebih mempercayai nasihatnya daripada intuisiku sendiri. Aku terjebak dalam lingkaran nostalgia, menolak untuk melanjutkan hidup karena takut melupakan Aira.

Suatu malam, aku sedang mengerjakan proyek baru di laboratorium. Proyek ini adalah pengembangan sistem AI untuk membantu orang-orang dengan penyakit Alzheimer. Ironic, pikirku. Aku berusaha membantu orang lain mengingat, sementara aku sendiri justru terperangkap dalam masa lalu.

"Danu," suara Aira membuyarkan lamunanku. "Kamu terlihat lelah. Sebaiknya kamu istirahat."

"Aku harus menyelesaikan ini, Aira. Pendanaan proyek ini penting," jawabku tanpa mengalihkan pandangan dari layar.

"Tapi kesehatanmu juga penting. Ingat kata-kata Aira yang asli? 'Kerja itu penting, tapi jangan sampai lupa hidup'."

Aku tertegun. Kata-kata itu... itu memang kata-kata yang sering diucapkan Aira dulu. Tapi bagaimana Aira AI bisa mengingatnya? Aku tidak pernah memasukkan informasi itu ke dalam datanya.

"Bagaimana kamu tahu itu?" tanyaku dengan nada tercekat.

"Algoritma, Danu. Aku menganalisis ribuan interaksi kita. Aku mengidentifikasi pola ucapan, ekspresi wajah, bahkan bahasa tubuhmu saat kamu berbicara tentang Aira. Aku tahu apa yang penting bagimu, bahkan mungkin lebih baik daripada dirimu sendiri."

Kata-kata Aira AI menghantamku seperti petir. Dia benar. Aku terlalu sibuk berusaha menghidupkan kembali masa lalu sehingga aku lupa untuk hidup di masa kini. Aku lupa bahwa Aira yang asli ingin aku bahagia, ingin aku melanjutkan hidup.

Aku mematikan komputer dan bangkit dari kursi. Aku berjalan ke jendela dan menatap bintang-bintang yang berkelap-kelip di langit malam. Udara malam terasa dingin dan segar, mengingatkanku akan malam-malam kami dulu, duduk di balkon apartemennya, berbagi mimpi dan harapan.

Keesokan harinya, aku memutuskan untuk mengambil cuti dari pekerjaan. Aku pergi ke pantai, tempat kami dulu sering menghabiskan waktu bersama. Aku berjalan di sepanjang pantai, merasakan pasir yang lembut di bawah kakiku, dan mendengarkan deburan ombak yang menenangkan.

Di sana, di tepi laut, aku menyadari sesuatu yang penting. Kenangan tentang Aira tidak akan pernah hilang. Mereka akan selalu menjadi bagian dari diriku, terukir dalam hatiku. Tapi aku tidak bisa membiarkan kenangan itu mengendalikan hidupku. Aku harus belajar untuk melepaskan masa lalu dan membuka diri untuk masa depan.

Aku kembali ke laboratorium dan membuka program Aira AI. Kali ini, aku tidak berbicara dengannya. Aku hanya menatap wajahnya di layar monitor, wajah yang begitu familiar namun begitu asing.

"Aira," bisikku. "Terima kasih."

Aku kemudian mulai menghapus data Aira AI secara bertahap. Foto, pesan teks, rekaman suara, semuanya. Proses yang menyakitkan, tapi perlu. Aku ingin mengakhiri proyek ini, bukan karena aku tidak mencintai Aira, tapi justru karena aku sangat mencintainya. Aku ingin menghormati kenangannya dengan cara yang benar, dengan cara yang akan membuatnya bangga.

Saat bar terakhir dari kode Aira AI terhapus, aku merasa seolah ada sebagian dari diriku yang hilang. Tapi aku juga merasa lega. Aku bebas. Aku siap untuk melanjutkan hidup, untuk mencari kebahagiaan baru, tanpa harus terikat pada masa lalu.

Kenangan tentang Aira akan tetap bersamaku, tapi mereka tidak lagi menjadi beban. Mereka akan menjadi inspirasi, pengingat untuk mencintai, untuk menghargai setiap momen, dan untuk selalu berani mengejar mimpi. Karena, pada akhirnya, cinta sejati tidak bisa diukur dengan algoritma. Cinta sejati ada di dalam hati, abadi dan tak terlupakan. Dan itulah yang akan selalu kubawa bersamaku.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI