Jari jemariku menari di atas layar sentuh, mengetik kode demi kode. Di hadapanku, layar laptop memancarkan cahaya biru redup, memantulkan bayangan wajahku yang lelah. Sebagai seorang programmer, hidupku memang lebih banyak dihabiskan di balik layar. Menciptakan algoritma, memperbaiki bug, dan memastikan aplikasi berjalan lancar, semua itu lebih mudah daripada memahami kompleksitas perasaan manusia. Apalagi urusan cinta.
Aku, Arya, 28 tahun, lajang, dan lebih akrab dengan bahasa pemrograman daripada bahasa cinta. Teman-temanku sering mengejekku sebagai "manusia algoritma", karena setiap kali membahas hubungan, aku selalu mencoba menganalisanya secara logis, mencari pola dan solusi seperti sedang memecahkan masalah coding.
Suatu malam, di sela-sela proyek pengembangan aplikasi kencan daring bernama "SoulMate.AI", aku iseng mencoba fitur beta-nya. Awalnya hanya untuk keperluan debugging, mencari celah yang mungkin terlewatkan. Aku mengisi profil dengan jujur, bahkan terlalu jujur. Deskripsi diri: "Programmer, introvert, cenderung kaku dalam berinteraksi sosial, mencari seseorang yang bisa mentolerir kecintaan saya pada kode dan kopi."
Tak disangka, beberapa saat kemudian, muncul notifikasi. Satu kecocokan. Namanya, Rania. Profesi: Desainer grafis. Foto profilnya menampilkan senyum menawan dengan mata yang berbinar. Rasa penasaran membuncah, sesuatu yang jarang kurasakan selain saat menemukan bug yang sulit dipecahkan.
Aku memberanikan diri mengirim pesan. "Halo, Rania. Aplikasi ini bilang kita cocok. Tertarik membuktikan teorinya?"
Balasannya datang cepat. "Halo, Arya. Teori menarik. Tapi, aku lebih tertarik membuktikan apakah teori itu bisa menjadi kenyataan."
Percakapan kami mengalir begitu saja. Kami membahas banyak hal, mulai dari desain visual, perkembangan teknologi, hingga film favorit kami. Ternyata, kami punya selera humor yang sama. Rania punya cara yang unik untuk melihat dunia, perspektif yang segar dan penuh warna. Dia membuatku tertawa, sesuatu yang jarang kulakukan akhir-akhir ini.
Beberapa hari kemudian, aku mengajak Rania kopi. Jujur saja, aku gugup bukan main. Jantungku berdegup kencang seperti sedang menjalankan program yang baru dikompilasi. Aku takut kata-kataku akan terdengar canggung, takut aku akan gagal memproses sinyal-sinyal sosial yang rumit.
Tapi, Rania membuatku merasa nyaman. Dia mendengarkan dengan penuh perhatian, tertawa pada lelucon garingku, dan bahkan tertarik dengan ceritaku tentang algoritma yang kompleks. Aku merasa seperti menemukan bahasa yang sama dengannya, bukan bahasa pemrograman, tapi bahasa hati.
Setelah beberapa kencan, aku mulai menyadari bahwa perasaanku pada Rania lebih dari sekadar ketertarikan intelektual. Aku menyukainya. Aku menyukai caranya tertawa, caranya memandang dunia, dan caranya membuatku merasa menjadi diriku sendiri.
Namun, ada satu hal yang mengganjal. Aku masih terjebak dalam pola pikir seorang programmer. Aku mencoba menganalisis perasaanku, mencari tahu apakah ini benar-benar cinta, atau hanya hasil dari algoritma kecocokan yang canggih. Aku takut salah perhitungan, takut menyakiti Rania.
Suatu malam, saat kami sedang makan malam di sebuah restoran Italia, aku memberanikan diri untuk berbicara. "Rania, aku... aku bingung."
Rania menatapku dengan lembut. "Bingung tentang apa, Arya?"
"Tentang perasaan ini. Aku... aku mencoba menganalisisnya, seperti sedang memecahkan masalah coding. Tapi, aku tidak menemukan jawabannya. Aku takut..."
"Takut apa?"
"Takut kalau ini bukan cinta yang sebenarnya. Takut kalau aku hanya terjebak dalam algoritma aplikasi kencan."
Rania tersenyum. "Arya, cinta itu bukan algoritma. Cinta itu bukan sesuatu yang bisa dianalisis secara logis. Cinta itu perasaan. Sederhana saja."
Dia meraih tanganku. "Kamu tahu, aku juga merasakan sesuatu yang spesial saat bersamamu. Aku tidak tahu apakah ini cinta atau bukan. Tapi, yang aku tahu, aku bahagia saat bersamamu. Dan itu sudah cukup bagiku."
Kata-kata Rania menyentuh hatiku. Aku tersadar, selama ini aku terlalu terpaku pada logika dan analisis. Aku lupa untuk merasakan, untuk menikmati momen-momen indah bersamanya.
Aku membalas genggaman tangannya. "Aku juga bahagia bersamamu, Rania."
Malam itu, aku memutuskan untuk meng-upgrade hatiku. Aku berhenti mencoba menganalisis perasaan, dan mulai belajar untuk merasakannya. Aku membiarkan diriku terbuka untuk cinta, tanpa takut salah perhitungan atau gagal program.
Aku mengajak Rania berjalan-jalan di taman kota. Kami duduk di bawah pohon rindang, menikmati udara malam yang sejuk. Aku menatap matanya, dan berkata, "Rania, aku tidak tahu apakah ini cinta yang sebenarnya. Tapi, yang aku tahu, aku ingin bersamamu. Aku ingin belajar mencintai bersamamu."
Rania tersenyum dan mendekatiku. Dia menyentuh pipiku dengan lembut. "Aku juga ingin bersamamu, Arya. Aku juga ingin belajar mencintai bersamamu."
Kami berciuman. Ciuman itu terasa begitu hangat, begitu tulus, begitu penuh cinta. Di bawah cahaya bulan, diiringi suara jangkrik, aku merasa seperti menemukan rumah. Rumah di hatinya.
Proyek aplikasi kencan daring "SoulMate.AI" akhirnya selesai. Aku dan timku berhasil menciptakan algoritma yang canggih, yang mampu menemukan kecocokan antar pengguna. Tapi, aku tahu, algoritma sehebat apa pun tidak akan pernah bisa menggantikan perasaan cinta yang sesungguhnya.
Aku tetap bekerja sebagai programmer, tapi aku tidak lagi "manusia algoritma". Aku sudah meng-upgrade hatiku. Aku sudah menemukan cinta, bukan di balik layar sentuh, tapi di balik senyum Rania. Dan itu, lebih dari cukup bagiku.