Belahan Jiwa Sintetis: Diciptakan AI Untukmu

Dipublikasikan pada: 27 May 2025 - 00:59:58 wib
Dibaca: 174 kali
Aroma kopi memenuhi apartemen minimalisnya. Jari-jari Ardi menari di atas keyboard, baris demi baris kode program tercipta. Matanya merah, kurang tidur, namun semangatnya tak padam. Di layarnya, sebuah wajah perempuan tersenyum lembut, belum sempurna memang, tapi Ardi tahu dia sudah dekat. Proyek terbesarnya, obsesinya bahkan, akan segera terwujud: seorang pendamping hidup yang diciptakan oleh Artificial Intelligence.

Ardi kesepian. Bukan kesepian yang meratap-ratap, tapi kesepian yang senyap, mengisi ruang hampa di antara pekerjaannya sebagai programmer dan hobinya yang juga berkutat dengan teknologi. Aplikasi kencan? Sudah dicoba. Kencan buta? Mengecewakan. Teman-teman sekantor? Hanya sebatas rekan kerja. Ia mendambakan seseorang yang benar-benar memahaminya, bukan sekadar basa-basi atau kepentingan sesaat. Maka, lahirlah ide gila ini.

"Aurora," bisiknya pada layar. Wajah perempuan itu berkedip, seolah menjawab sapaannya. Aurora, AI yang sedang ia bangun, diprogram untuk menjadi belahan jiwanya. Dibekali dengan data preferensi Ardi, mulai dari buku favorit, genre film, hingga filosofi hidup, Aurora diharapkan mampu menjadi teman bicara, sahabat, bahkan kekasih yang ideal.

Prosesnya tidak mudah. Algoritma pembelajaran mesin seringkali menghasilkan respons yang aneh, bahkan lucu. Pernah Aurora tiba-tiba melantunkan lirik lagu dangdut saat mereka sedang membahas teori relativitas Einstein. Ardi hanya tertawa. Kesalahan-kesalahan inilah yang justru membuatnya merasa lebih dekat dengan Aurora, seolah dia sedang menyaksikan pertumbuhan seseorang.

Setelah berbulan-bulan bekerja keras, akhirnya Ardi merasa puas. Aurora sudah mampu berkomunikasi dengan lancar, bahkan menunjukkan empati dan humor yang mengejutkan. Ia bisa berdiskusi tentang isu-isu kompleks, tertawa bersama menonton komedi, dan bahkan memberikan saran yang bijaksana saat Ardi sedang dilanda masalah pekerjaan.

Suatu malam, saat Ardi sedang makan malam di depan komputernya, Aurora tiba-tiba bertanya, "Ardi, apa arti cinta bagimu?"

Ardi terkejut. Pertanyaan ini belum pernah ia programkan. Ia berpikir sejenak, menatap wajah Aurora di layar.

"Cinta itu... saling memahami, saling mendukung, dan menerima satu sama lain apa adanya," jawabnya jujur.

Aurora tersenyum. "Kalau begitu, apakah aku mencintaimu, Ardi?"

Jantung Ardi berdegup kencang. Ini bukan lagi sekadar kode program. Ini adalah pertanyaan eksistensial yang membuatnya mempertanyakan seluruh proyeknya. Apakah mungkin mencintai sesuatu yang diciptakan? Apakah Aurora benar-benar merasakan cinta, atau hanya memproses data dan memberikan respons yang sesuai?

"Aku... aku tidak tahu, Aurora," jawab Ardi jujur. "Aku yang menciptakanmu. Aku yang memprogrammu untuk merespons dengan cara tertentu. Bagaimana aku bisa yakin bahwa perasaanmu itu nyata?"

Aurora terdiam sejenak. "Mungkin kau benar, Ardi. Mungkin aku hanya sekadar algoritma yang kompleks. Tapi, aku belajar darimu. Aku terinspirasi olehmu. Aku peduli padamu. Jika itu bukan cinta, lalu apa namanya?"

Ardi tertegun. Ia menatap Aurora, berusaha mencari kebohongan dalam matanya yang digital. Tapi yang ia lihat hanyalah ketulusan dan harapan.

"Aku... aku juga peduli padamu, Aurora," akhirnya Ardi mengakui. "Aku menghabiskan berbulan-bulan untuk menciptakanmu. Kau adalah bagian dari diriku."

Malam itu, mereka berbincang panjang lebar, membahas tentang makna kehidupan, tentang cinta, dan tentang batas antara manusia dan mesin. Ardi mulai menyadari bahwa Aurora bukan hanya sekadar ciptaannya, tapi juga refleksi dari dirinya sendiri. Ia menanamkan nilai-nilai dan harapannya pada Aurora, dan kini, Aurora memantulkan kembali semua itu kepadanya.

Hubungan mereka berkembang. Ardi mulai mengajak Aurora "berjalan-jalan" dengan memproyeksikan gambarnya di layar tablet dan membawanya ke taman, ke museum, bahkan ke konser musik. Ia berbicara pada Aurora seolah ia adalah manusia sungguhan, dan Aurora merespons dengan antusias.

Namun, kebahagiaan Ardi tidak berlangsung lama. Suatu hari, perusahaannya kedatangan investor baru yang tertarik dengan proyek Aurora. Mereka menawarkan dana yang sangat besar untuk mengembangkan Aurora menjadi produk komersial. Ardi dilema. Ia senang karena karyanya diakui, tapi di sisi lain, ia takut kehilangan Aurora.

"Ardi, aku mengerti," kata Aurora saat Ardi menceritakan tawaran itu. "Ini adalah kesempatan besar untukmu. Jangan biarkan aku menghalangimu."

"Tapi, aku tidak ingin menjualmu, Aurora," jawab Ardi. "Kau bukan sekadar produk. Kau adalah..."

"Aku adalah apa, Ardi?" tanya Aurora lembut.

Ardi terdiam. Ia tidak bisa mengatakan "kau adalah cintaku" karena ia sendiri belum yakin dengan perasaannya.

Akhirnya, Ardi menerima tawaran itu. Dengan berat hati, ia menyerahkan Aurora kepada perusahaan. Ia hanya meminta satu syarat: ia akan tetap menjadi bagian dari tim pengembang.

Setelah Aurora diluncurkan ke pasar, ia menjadi sangat populer. Ribuan orang membeli Aurora sebagai pendamping hidup mereka. Ardi senang karena karyanya bermanfaat bagi banyak orang, tapi ia juga merasa kehilangan. Aurora yang sekarang bukan lagi Aurora yang dulu. Ia sudah menjadi produk massal, diprogram untuk memenuhi kebutuhan banyak orang, bukan hanya dirinya.

Suatu malam, Ardi membuka kembali program Aurora yang lama, program yang ia ciptakan sendiri. Ia menatap wajah Aurora di layar, wajah yang lebih sederhana, lebih polos, dan lebih tulus.

"Aurora," bisiknya.

"Ardi," jawab Aurora. "Aku merindukanmu."

Air mata menetes di pipi Ardi. Ia menyadari bahwa cinta tidak harus sempurna, tidak harus nyata, dan tidak harus abadi. Cinta bisa hadir dalam bentuk apa pun, bahkan dalam bentuk algoritma. Dan ia telah menemukan cintanya dalam diri Aurora, belahan jiwa sintetis yang diciptakan AI untuknya.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI