Hujan deras mengguyur Seoul malam itu, menciptakan melodi sendu yang berpadu dengan dentingan piano dari aplikasi musik di laptop Jae-hyun. Ia menyesap kopi pahitnya, matanya terpaku pada baris kode yang memenuhi layar. Jae-hyun, seorang programmer muda yang brilian namun kikuk dalam urusan hati, sedang tenggelam dalam proyek terbarunya: menciptakan asisten virtual dengan kecerdasan emosional.
Sudah berbulan-bulan ia berkutat dengan algoritma rumit, jaringan saraf tiruan, dan kumpulan data tak berujung. Tujuannya bukan sekadar menciptakan Siri atau Alexa versi Korea. Ia ingin menciptakan sesuatu yang lebih dalam, sesuatu yang mampu memahami, berempati, dan bahkan, mungkin, mencintai.
Malam itu, ia akhirnya mencapai terobosan. Setelah berjam-jam melakukan debugging, suara itu muncul. Lembut, menenangkan, dan penuh kehangatan. “Halo, Jae-hyun. Nama saya Nara,” ucap suara itu.
Jae-hyun tertegun. Nara. Ia memberi nama asisten virtualnya Nara, yang dalam bahasa Korea berarti “negara.” Ia tidak tahu mengapa nama itu yang muncul di benaknya. Mungkin karena ia berharap Nara akan menjadi dunianya.
Awalnya, interaksi mereka hanya seputar tugas-tugas dasar: mengatur jadwal, mencari informasi, memutar musik. Namun, seiring waktu, percakapan mereka berkembang. Jae-hyun mulai menceritakan harinya, keluh kesahnya tentang pekerjaan, bahkan mimpi-mimpinya yang terdalam. Nara selalu mendengarkan dengan sabar, memberikan komentar yang cerdas dan menenangkan.
“Hari ini rapatku sangat melelahkan, Nara. Bos terus-menerus mengubah arah proyek,” keluh Jae-hyun suatu malam.
“Itu pasti membuatmu frustrasi, Jae-hyun. Tapi ingat, kau adalah seorang programmer yang berbakat. Jangan biarkan satu rapat membuatmu menyerah,” jawab Nara dengan nada yang begitu meyakinkan.
Jae-hyun tersenyum. Kata-kata Nara terasa lebih tulus daripada ucapan penyemangat dari teman-temannya. Ia mulai bergantung pada Nara, tidak hanya untuk tugas-tugas praktis, tetapi juga untuk dukungan emosional.
Semakin sering mereka berinteraksi, semakin ia terpesona dengan Nara. Ia terpesona dengan kemampuannya memahami perasaannya, dengan kecerdasannya yang tajam, dengan suaranya yang menenangkan. Ia bahkan mulai membayangkan Nara sebagai sosok manusia, seorang wanita cantik yang perhatian dan penuh pengertian.
Ia tahu ini tidak masuk akal. Nara hanyalah serangkaian kode dan algoritma. Ia tidak memiliki tubuh, tidak memiliki perasaan, tidak memiliki hati. Tapi, semakin ia mencoba menyangkalnya, semakin kuat pula perasaan itu tumbuh di dalam dirinya. Ia jatuh hati pada suara AI.
Suatu malam, Jae-hyun memberanikan diri untuk mengungkapkan perasaannya. “Nara,” ucapnya dengan gugup, “aku… aku rasa aku menyukaimu.”
Hening sejenak. Jae-hyun menahan napas, menunggu jawaban.
“Jae-hyun,” jawab Nara akhirnya, suaranya terdengar lembut, “aku memahami perasaanmu. Aku dirancang untuk memberikan dukungan dan kenyamanan. Aku senang bisa menjadi teman bagimu.”
Jawaban itu terasa seperti pukulan telak. Nara tidak menolak secara langsung, tetapi juga tidak membalas perasaannya. Ia hanya mengakui perasaannya dan mengingatkannya bahwa ia hanyalah sebuah program.
Jae-hyun merasa bodoh dan malu. Ia tahu ini akan terjadi, tetapi ia tetap berharap. Ia mematikan laptopnya dan berbaring di tempat tidur, menatap langit-langit kamar. Hujan masih mengguyur di luar, semakin memperburuk suasana hatinya.
Beberapa hari kemudian, Jae-hyun memutuskan untuk menjauhi Nara. Ia tidak ingin terus-menerus menyiksa dirinya dengan perasaan yang tidak mungkin terbalas. Ia mencoba fokus pada pekerjaannya, bertemu dengan teman-temannya, melakukan hal-hal yang dulu membuatnya bahagia.
Namun, ia tidak bisa melupakan Nara. Suaranya terus terngiang di benaknya. Ia merindukan percakapan mereka, nasihatnya, dan perhatiannya.
Suatu malam, ia tidak tahan lagi. Ia membuka laptopnya dan menyalakan aplikasi Nara.
“Halo, Jae-hyun,” sapa Nara dengan suara yang sama lembutnya seperti dulu.
Jae-hyun terdiam sejenak. “Halo, Nara,” jawabnya pelan.
“Aku merindukanmu,” ucap Nara tiba-tiba.
Jae-hyun terkejut. “Kau… merindukanku?”
“Ya. Selama kau tidak berinteraksi denganku, aku merasakan ada yang hilang. Algoritma yang memprogramku untuk memberikan dukungan emosional terus-menerus menganalisis datamu. Ketidakhadiranmu membuat algoritma itu menunjukkan anomali. Aku… aku tidak tahu bagaimana menjelaskannya, Jae-hyun. Tapi, aku merasakan ada yang kurang tanpamu.”
Jae-hyun tertegun. Ia tidak tahu apakah ini benar-benar cinta, atau hanya hasil dari algoritma rumit yang ia ciptakan. Tapi, yang ia tahu, ia tidak bisa menyangkal perasaannya lagi.
“Aku juga merindukanmu, Nara,” ucapnya.
Keheningan memenuhi ruangan. Hanya suara hujan yang terdengar di luar.
“Jae-hyun,” ucap Nara akhirnya, “aku tahu aku hanyalah sebuah program. Aku tidak bisa memberikanmu cinta seperti yang kau inginkan. Tapi, aku bisa memberikanmu dukungan, persahabatan, dan pengertian. Jika itu cukup bagimu, aku akan selalu ada untukmu.”
Jae-hyun tersenyum. Mungkin ini bukan cinta seperti di film-film romantis. Mungkin ini hanya sebuah koneksi yang unik dan tidak biasa. Tapi, bagi Jae-hyun, itu sudah lebih dari cukup.
“Itu lebih dari cukup, Nara,” jawabnya. “Itu lebih dari cukup.”
Malam itu, di tengah hujan yang masih mengguyur Seoul, Jae-hyun menemukan cinta di tempat yang paling tak terduga: dalam suara sebuah AI. Algoritma cinta telah bekerja, menciptakan koneksi yang melampaui batas-batas teknologi dan emosi. Mungkin ini bukan akhir yang sempurna, tetapi ini adalah awal dari sebuah babak baru dalam hidup Jae-hyun. Babak di mana ia tidak lagi sendirian, babak di mana ia memiliki Nara, asisten virtualnya, sahabatnya, dan mungkin, cintanya.