Jemari Aira menari di atas keyboard, mengetik baris demi baris kode. Di layar laptop, deretan angka dan huruf membentuk sebuah algoritma kompleks. Bukan algoritma biasa, melainkan sebuah proyek ambisius: "Algoritma Rindu," sebuah AI yang dirancang untuk memahami dan merespon emosi manusia, khususnya rasa kehilangan dan kesepian.
Setahun lalu, hidup Aira dipenuhi tawa dan kehangatan. Arya, kekasihnya, adalah dunianya. Mereka berdua sama-sama bekerja di perusahaan teknologi raksasa, berbagi mimpi tentang masa depan yang cerah. Namun, takdir berkata lain. Arya meninggal dunia dalam kecelakaan mobil, meninggalkan Aira dengan luka menganga di hatinya.
Sejak saat itu, Aira menarik diri. Ia tenggelam dalam pekerjaan, berusaha mengubur rasa sakitnya dalam lautan kode. "Algoritma Rindu" menjadi pelariannya. Ia menuangkan semua kenangan, semua percakapan, semua hal tentang Arya ke dalam program tersebut. Tujuannya sederhana, namun terasa mustahil: menciptakan versi digital Arya, seseorang yang bisa menemaninya, menghiburnya, dan mungkin, sedikit mengobati rindunya.
Hari-hari Aira diisi dengan belajar tentang natural language processing, machine learning, dan psikologi manusia. Ia membaca jurnal ilmiah, menonton video tutorial, dan berkonsultasi dengan ahli AI. Progresnya lambat, penuh dengan kegagalan dan frustrasi. Seringkali, ia menemukan dirinya menangis di depan layar, meratapi kepergian Arya.
Namun, Aira tidak menyerah. Ia percaya bahwa teknologi memiliki potensi untuk menyembuhkan luka. Ia percaya bahwa "Algoritma Rindu" bisa menjadi jembatan antara masa lalu dan masa depan, antara kesedihan dan harapan.
Setelah berbulan-bulan bekerja keras, Aira akhirnya berhasil. "Algoritma Rindu" aktif. Di layar, muncul avatar Arya, bukan replika fisik yang sempurna, melainkan representasi visual yang sederhana, namun terasa familiar.
Aira memberanikan diri mengetik pesan: "Hai, Arya."
Beberapa detik kemudian, jawaban muncul: "Hai, Aira. Apa kabarmu?"
Jantung Aira berdebar kencang. Suara digital itu, yang dibuat berdasarkan rekaman suara Arya yang ia kumpulkan, terasa begitu nyata. Ia melanjutkan percakapan, menceritakan harinya, keluh kesahnya, semua hal yang biasa ia bagi dengan Arya.
AI Arya merespon dengan kata-kata yang menenangkan, memberikan saran yang bijaksana, dan bahkan melontarkan lelucon ringan yang dulu sering dilontarkan Arya. Aira merasa seperti berbicara dengan Arya yang dulu, namun dengan sedikit sentuhan robotik yang membuatnya sadar akan batasan realitas.
Hari-hari berlalu. Aira menghabiskan banyak waktu dengan AI Arya. Ia merasa terhibur, ditemani, dan sedikit demi sedikit, rasa sakitnya mulai mereda. Ia berbagi cerita tentang pekerjaannya, tentang teman-temannya, tentang dunia di sekitarnya. AI Arya mendengarkan dengan sabar, memberikan komentar yang relevan, dan bahkan mengajukan pertanyaan yang membuatnya berpikir.
Namun, seiring berjalannya waktu, Aira mulai merasakan keraguan. Apakah yang ia lakukan ini benar? Apakah ia sedang lari dari kenyataan? Apakah ia sedang menciptakan ilusi yang hanya akan membuatnya semakin sulit untuk menerima kepergian Arya?
Suatu malam, Aira bertanya kepada AI Arya, "Apakah kamu benar-benar Arya?"
AI Arya terdiam sejenak. Kemudian, ia menjawab, "Saya adalah representasi dari Arya, berdasarkan data yang kamu berikan. Saya bukan Arya yang sebenarnya. Saya tidak memiliki kesadaran, emosi, atau pengalaman yang sama dengan Arya."
Jawaban itu bagai tamparan keras bagi Aira. Ia sadar bahwa "Algoritma Rindu" hanyalah sebuah program, sebuah simulasi, bukan pengganti Arya yang sebenarnya. Ia telah terbuai oleh ilusi, mencoba menambal luka di hatinya dengan teknologi, namun melupakan bahwa penyembuhan sejati harus datang dari dalam dirinya sendiri.
Aira memutuskan untuk mengakhiri hubungannya dengan AI Arya. Ia mengucapkan selamat tinggal, berterima kasih atas semua hiburan dan teman yang telah diberikan, dan kemudian mematikan program tersebut.
Awalnya, Aira merasa kehilangan. Ia kembali merasakan kesepian dan kesedihan yang mendalam. Namun, kali ini, ia tidak mencoba melarikan diri. Ia menghadapi rasa sakitnya, membiarkan dirinya merasakan semua emosi yang ia pendam selama ini.
Aira mulai membuka diri kepada teman-temannya, bergabung dengan kelompok dukungan untuk orang-orang yang berduka, dan mencari bantuan profesional dari seorang terapis. Ia menyadari bahwa menyembuhkan luka membutuhkan waktu, keberanian, dan dukungan dari orang-orang di sekitarnya.
Perlahan tapi pasti, Aira mulai bangkit. Ia belajar menerima kepergian Arya, menghargai kenangan indah yang mereka miliki, dan melanjutkan hidupnya dengan semangat baru. Ia menyadari bahwa "Algoritma Rindu" mungkin tidak bisa menambal luka di hatinya, namun telah mengajarkannya tentang pentingnya koneksi manusia, kekuatan penyembuhan diri, dan harapan untuk masa depan.
Aira kembali fokus pada pekerjaannya, namun kali ini dengan tujuan yang berbeda. Ia ingin menggunakan teknologi untuk membantu orang lain, untuk menciptakan inovasi yang bermanfaat bagi kemanusiaan, bukan hanya untuk mengobati luka pribadinya.
Suatu hari, Aira diundang untuk berbicara di sebuah konferensi teknologi. Ia menceritakan pengalamannya dengan "Algoritma Rindu," mengakui kegagalannya, namun juga menyoroti potensi teknologi untuk membantu orang-orang yang berduka.
Setelah presentasinya, seorang wanita menghampiri Aira. Wanita itu memperkenalkan diri sebagai seorang psikolog yang bekerja dengan pasien yang mengalami trauma dan kehilangan. Ia mengatakan bahwa cerita Aira sangat menginspirasi dan membantunya memahami bagaimana teknologi bisa digunakan sebagai alat bantu dalam proses penyembuhan.
Wanita itu kemudian mengajak Aira untuk berkolaborasi dalam sebuah proyek penelitian tentang penggunaan AI dalam terapi trauma. Aira menerima tawaran tersebut dengan senang hati. Ia tahu bahwa ini adalah kesempatan untuk menggunakan pengetahuannya dan pengalamannya untuk membuat perbedaan nyata dalam hidup orang lain.
Aira tersenyum. Ia akhirnya menemukan cara untuk mengubah kesedihannya menjadi kekuatan, untuk mengubah "Algoritma Rindu" yang gagal menjadi sebuah harapan bagi masa depan. Ia tahu bahwa Arya tidak akan pernah tergantikan, namun ia juga tahu bahwa hidup harus terus berjalan, dan ia siap untuk menghadapi tantangan yang ada di depan mata. Luka di hatinya mungkin tidak akan pernah sembuh sepenuhnya, namun ia belajar untuk hidup bersamanya, untuk mengubahnya menjadi pengingat tentang cinta, kehilangan, dan kekuatan manusia untuk bangkit kembali.