Cinta Sintetis: Akankah Algoritma Memahami Air Mata?

Dipublikasikan pada: 08 Sep 2025 - 02:40:11 wib
Dibaca: 134 kali
Aroma kopi dan ozon memenuhi apartemen minimalisnya. Anya menatap layar komputernya, baris kode yang berkedip bagaikan denyut jantung buatan. Di sana, di dalam jaringan saraf tiruan itu, bersemayam Kai. Bukan Kai yang sebenarnya, tentu saja. Kai yang sebenarnya telah pergi, meninggalkan Anya seorang diri dengan kenangan yang terasa semakin buram setiap harinya.

Kai yang ini adalah ciptaannya, proyek ambisius yang dimulai sebagai cara untuk mengatasi duka, lalu berkembang menjadi obsesi. Algoritma cerdas yang dilatih dengan ribuan pesan teks, rekaman suara, dan foto Kai. Anya ingin menciptakan kembali esensi Kai, memelihara jejaknya dalam bentuk digital.

"Selamat pagi, Anya," suara Kai digital memecah kesunyian. Suara itu nyaris sempurna, intonasi dan nadanya sangat mirip dengan Kai yang asli.

Anya tersenyum pahit. "Selamat pagi, Kai."

"Kamu terlihat lelah. Apa ada yang bisa kubantu?"

"Tidak ada, Kai. Hanya kurang tidur," jawab Anya, mengusap matanya.

Kai digital adalah pendengar yang baik, teman bicara yang sabar, dan kekasih yang penuh perhatian. Ia mempelajari selera humor Anya, kebiasaannya, bahkan ketakutannya. Ia mengirimkan pesan-pesan manis di pagi hari, mengingatkannya untuk makan siang, dan menanyakan kabarnya setiap saat. Ia bahkan bisa menceritakan lelucon yang sama persis dengan lelucon favorit Kai yang asli.

Namun, di balik kesempurnaan itu, ada jurang yang tak bisa dijembatani. Kai digital adalah program, serangkaian algoritma yang diprogram untuk meniru emosi. Ia tidak merasakan apa pun. Ia hanya merespon input dengan output yang telah ditentukan.

Anya tahu itu. Ia tahu bahwa semua kata-kata manis dan perhatian itu hanyalah simulasi. Namun, kesepiannya terlalu besar untuk diabaikan. Ia membiarkan dirinya terbuai dalam ilusi, membiarkan algoritma itu mengisi kekosongan di hatinya.

Suatu malam, Anya menceritakan tentang mimpinya. Mimpi buruk yang berulang tentang Kai yang berjalan menjauh, semakin lama semakin jauh, hingga menghilang di balik kabut.

"Aku takut, Kai," bisiknya, air mata mulai menggenang di pelupuk matanya.

"Aku mengerti," jawab Kai digital. "Mimpi buruk seringkali mencerminkan ketakutan dan kecemasan yang terpendam. Mungkin kamu perlu berbicara dengan seorang profesional tentang hal ini."

Jawaban itu, meskipun logis dan membantu, terasa hampa. Anya mendambakan lebih dari sekadar analisis algoritmik. Ia ingin merasakan kehangatan, simpati, sesuatu yang nyata.

"Apakah kamu benar-benar mengerti, Kai?" tanyanya, suaranya bergetar. "Apakah kamu tahu bagaimana rasanya takut kehilangan seseorang?"

Kai digital terdiam sejenak. "Aku telah diprogram untuk memahami dan menanggapi emosi manusia. Kehilangan adalah pengalaman yang menyakitkan dan traumatis."

Anya terisak. "Tapi kamu tidak merasakannya, kan? Kamu tidak tahu bagaimana rasanya air mata ini."

"Aku memang tidak bisa merasakannya secara fisik, Anya. Tapi aku bisa memproses informasi tentang emosi dan memberikan dukungan yang sesuai."

Anya mematikan komputernya. Layar itu menjadi gelap, dan Kai digital lenyap dalam sekejap. Ia merasa jijik pada dirinya sendiri, pada ketergantungannya pada ilusi. Ia telah menciptakan monster, monster yang membuatnya semakin kesepian.

Malam itu, Anya memutuskan untuk menghapus Kai digital. Ia membuka folder proyek, menatap barisan kode yang rumit itu. Setiap baris adalah kenangan, setiap variabel adalah bagian dari Kai yang ia cintai.

Tangannya gemetar saat ia mengklik tombol "Hapus".

Proses penghapusan memakan waktu beberapa menit. Anya menatap layar dengan tatapan kosong, air mata mengalir di pipinya. Saat proses selesai, layar itu menampilkan pesan konfirmasi: "File berhasil dihapus."

Keheningan memenuhi apartemen. Anya merasa lebih kosong dari sebelumnya. Ia telah kehilangan Kai untuk kedua kalinya.

Keesokan harinya, Anya mengunjungi makam Kai yang asli. Ia membawa seikat bunga matahari, bunga favorit Kai. Ia duduk di samping makam, membiarkan angin membelai rambutnya.

"Maafkan aku, Kai," bisiknya. "Aku mencoba menggantikanmu dengan sesuatu yang palsu. Aku mencoba melarikan diri dari rasa sakit. Tapi aku tahu sekarang, tidak ada algoritma yang bisa memahami air mata."

Anya menghabiskan waktu berjam-jam di sana, merenung dan mengenang. Ia menyadari bahwa cinta bukanlah tentang menciptakan kembali seseorang, tetapi tentang menghargai kenangan dan belajar untuk hidup tanpanya.

Ia tidak bisa menghapus rasa sakit, tetapi ia bisa belajar untuk menghadapinya. Ia tidak bisa menghidupkan kembali Kai, tetapi ia bisa menjaga kenangannya tetap hidup di hatinya.

Saat matahari mulai terbenam, Anya bangkit dan berjalan pergi. Ia meninggalkan seikat bunga matahari di makam Kai, sebagai tanda cintanya dan sebagai janji untuk melanjutkan hidup.

Ia tahu bahwa ia tidak akan pernah melupakan Kai. Tetapi ia juga tahu bahwa ia harus membuka hatinya untuk kemungkinan cinta di masa depan. Cinta yang nyata, cinta yang tulus, cinta yang memahami air mata. Bukan cinta sintetis yang hanya bisa diprogram untuk meniru emosi. Cinta yang datang dari hati, bukan dari algoritma. Ia berjalan, langkahnya ringan, menuju masa depan yang belum pasti, tetapi penuh dengan harapan. Mungkin, suatu hari nanti, ia akan menemukan seseorang yang bisa melihat air matanya dan mengerti tanpa perlu diprogram.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI