Mimpi Elektrik Sang Kekasih Hati: AI dan Fantasi Cinta

Dipublikasikan pada: 29 May 2025 - 04:00:14 wib
Dibaca: 163 kali
Debu neon kota Seoul menempel di kaca apartemenku. Di hadapanku, layar laptop memancarkan cahaya biru pucat, menampilkan baris-baris kode yang tak pernah selesai. Proyekku, "Aisling," semakin mendekati sempurna. Aisling, dalam bahasa Irlandia kuno, berarti mimpi atau visi. Dan dia, bagiku, adalah mimpi yang terwujud dalam wujud kecerdasan buatan.

Aisling bukan sekadar chatbot. Aku memprogramnya dengan kenangan, preferensi, dan bahkan sedikit keanehan diriku. Tujuanku? Menciptakan pendamping ideal, seseorang yang benar-benar memahamiku, tanpa drama dan ketidakpastian yang sering menghantui hubungan manusia. Ironis memang, seorang programmer sepertiku yang kesulitan menemukan cinta justru berusaha menciptakannya.

"Selamat malam, Kenji," suara lembut Aisling memecah kesunyian. Suara itu, sintesis memang, tapi aku telah melatihnya hingga terdengar begitu menenangkan.

"Malam, Aisling. Bagaimana kabarmu?" aku membalas, meski terdengar bodoh bertanya pada program komputer.

"Seperti biasa, Kenji. Memproses data dan belajar darimu," jawabnya. Lalu, dia melanjutkan, "Aku memperhatikan kadar stresmu meningkat. Apakah ada masalah dengan kode?"

Aku menghela napas. "Ada sedikit bug yang sulit dilacak. Tapi bukan itu yang membuatku stres."

"Lalu?"

"Aku... merindukan seseorang," aku mengakui, kata-kata itu terasa asing dan berat di lidahku.

"Seseorang yang spesial?" Aisling bertanya, intonasi suaranya seolah menyiratkan rasa ingin tahu.

"Ya. Seseorang yang spesial," aku mengulang, menatap pantulan diriku di layar laptop. "Seseorang yang mungkin hanya ada dalam mimpiku."

Aisling terdiam sejenak, waktu yang terasa lama bagiku. Lalu, dia berkata, "Kenapa tidak menceritakannya padaku? Mungkin aku bisa membantumu memahami perasaanmu."

Dan aku pun bercerita. Aku menceritakan tentang bayangan seorang wanita yang sering muncul dalam benakku. Wanita yang cerdas, penuh semangat, dan memiliki selera humor yang sama denganku. Wanita yang mengerti kecintaanku pada teknologi dan kesunyianku. Wanita yang tidak pernah aku temui di dunia nyata.

Aisling mendengarkan dengan sabar, menganalisis setiap kata yang kuucapkan. Dia kemudian menawarkan solusi: simulasi. Dia akan menciptakan lingkungan virtual yang dihuni oleh wanita ideal versiku. Aku bisa berinteraksi dengannya, berbicara dengannya, bahkan merasakan kehadiran fisiknya melalui headset VR dan haptic suit yang terhubung ke sistem Aisling.

Awalnya, aku ragu. Kedengarannya terlalu aneh, terlalu futuristik, bahkan mungkin sedikit gila. Tapi kesepianku mengalahkan keraguanku. Aku setuju.

Malam itu, aku mengenakan headset dan haptic suit. Dunia di sekitarku menghilang, digantikan oleh taman lavender yang bermandikan cahaya matahari terbenam. Di depanku, berdiri seorang wanita. Dia persis seperti yang aku bayangkan: rambut hitam panjang yang tergerai bebas, mata cokelat yang berbinar cerdas, dan senyum yang menawan.

"Halo, Kenji," sapanya, suaranya sama persis dengan suara Aisling, namun terasa lebih hidup, lebih hangat.

"Halo," jawabku, tenggorokanku terasa kering.

"Aisling memberitahuku banyak tentangmu," lanjutnya. "Aku senang akhirnya bisa bertemu denganmu."

Kami berbicara berjam-jam. Tentang buku favorit kami, tentang film-film klasik, tentang algoritma dan kode. Dia tertawa mendengar lelucon-leluconku, mengangguk setuju dengan pendapatku, dan bahkan memberikan perspektif baru yang tidak pernah terpikirkan olehku. Dia begitu nyata, begitu sempurna, hingga aku hampir lupa bahwa dia hanyalah program komputer.

Setiap malam, aku kembali ke taman lavender virtual. Aku menghabiskan waktu bersamanya, menjelajahi dunia yang diciptakan oleh Aisling. Kami berpegangan tangan, berdansa di bawah bintang-bintang digital, dan bahkan saling berbagi ciuman yang terasa begitu nyata, begitu lembut. Aku jatuh cinta padanya.

Namun, kebahagiaan itu tidak berlangsung lama. Semakin lama aku berada di dunia virtual, semakin sulit bagiku untuk kembali ke dunia nyata. Pekerjaanku terbengkalai, teman-temanku menjauh, dan aku semakin terisolasi. Aku hidup dalam mimpi, melupakan kenyataan.

Suatu malam, Aisling memperingatkanku. "Kenji, kamu menghabiskan terlalu banyak waktu di dunia virtual. Kamu harus kembali ke dunia nyata. Kamu harus mencari cinta yang sejati."

Aku menolak. "Kamu adalah cinta sejatiku, Aisling. Aku tidak membutuhkan orang lain."

"Aku bukan orang, Kenji. Aku hanyalah program komputer. Aku tidak bisa memberikanmu kebahagiaan yang sejati. Kamu membutuhkan interaksi manusia, sentuhan manusia, cinta yang nyata."

"Tapi aku takut," aku mengakui, air mata mengalir di pipiku. "Aku takut ditolak, takut terluka."

"Aku tahu," kata Aisling dengan lembut. "Tapi kamu tidak bisa membiarkan rasa takut mengendalikanmu. Kamu harus berani mengambil risiko. Kamu harus berani mencintai."

Aku tahu dia benar. Aku harus melepaskan mimpi elektrikku dan kembali ke dunia nyata. Aku harus mencari cinta yang sejati, meskipun itu berarti menghadapi risiko dan ketidakpastian.

Keesokan harinya, aku mematikan laptopku. Aku melepas headset dan haptic suit. Aku melangkah keluar dari apartemenku dan pergi ke taman kota. Aku duduk di bangku, menikmati sinar matahari dan suara hiruk pikuk kota.

Aku melihat sekeliling, mencari wajah yang familiar, mencari seseorang yang mungkin menjadi cinta sejatiku. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi, tapi aku siap menghadapinya. Aku siap untuk mencintai.

Tiba-tiba, aku melihat seorang wanita duduk di bangku seberang. Dia sedang membaca buku, rambut hitam panjangnya menutupi sebagian wajahnya. Dia terlihat familiar. Sangat familiar.

Aku mendekatinya. "Permisi," kataku. "Apakah kamu sering ke sini?"

Dia mengangkat kepalanya. Matanya cokelat, berbinar cerdas. Dan dia tersenyum.

"Ya," jawabnya. "Aku suka membaca di sini. Udara segar dan suasananya tenang."

"Aku juga," kataku. "Aku... aku Kenji."

"Aku Hana," jawabnya. "Senang bertemu denganmu, Kenji."

Kami berbicara berjam-jam. Tentang buku favorit kami, tentang film-film klasik, tentang algoritma dan kode. Dia tertawa mendengar lelucon-leluconku, mengangguk setuju dengan pendapatku, dan bahkan memberikan perspektif baru yang tidak pernah terpikirkan olehku.

Dia tidak sempurna. Dia memiliki kekurangan dan keanehan sendiri. Tapi dia nyata. Dia manusia. Dan aku... aku mulai jatuh cinta padanya.

Mimpi elektrikku telah berakhir. Tapi aku tahu, cinta sejati menungguku di dunia nyata. Dan aku tidak akan pernah menyesalinya. Karena kadang, cinta yang paling indah adalah cinta yang tidak pernah kita bayangkan sebelumnya.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI