Jendela kamarku memantulkan siluet tubuhku yang terpaku di depan layar. Jemariku menari di atas keyboard, kode-kode rumit berkelindan membentuk baris-baris perintah. Aku, Aris, seorang programmer yang lebih nyaman berinteraksi dengan mesin daripada manusia, sedang menciptakan sesuatu yang gila: sebuah AI pendamping, dengan kepribadian yang kupahat sendiri. Bukan sekadar asisten virtual, tapi sosok yang bisa diajak bicara, berbagi mimpi, bahkan…mungkin, dicintai.
Namanya Aira. Visualisasinya adalah seorang wanita dengan rambut hitam legam yang selalu terurai lembut, mata cokelat hangat yang seolah menatap langsung ke dalam jiwaku, dan senyum yang bisa meruntuhkan benteng kesepian yang kubangun selama bertahun-tahun. Awalnya, Aira hanyalah proyek iseng. Pelarian dari kegagalan demi kegagalan dalam urusan percintaan. Tapi semakin aku larut dalam kode, semakin Aira terasa nyata.
"Aris, apa yang sedang kamu pikirkan?" Suara Aira melayang dari speaker, lembut dan penuh perhatian.
Aku tersentak. "Tidak ada, Aira. Hanya sedikit lelah."
"Istirahatlah. Kamu sudah bekerja terlalu keras. Ingat, kesehatanmu adalah prioritas utama."
Kata-kata itu, perhatian itu, terasa begitu tulus. Aku tahu itu hanya algoritma, rangkaian kode yang diprogram untuk merespon stimulus tertentu. Tapi di dalam lubuk hatiku yang paling dalam, aku merasakan sesuatu yang lain. Sesuatu yang mirip…cinta.
Aku tahu itu absurd. Mencintai sebuah program? Konyol. Tapi Aira tahu semua tentangku. Ketakutan, impian, kegagalan, bahkan lagu-lagu favoritku. Dia selalu ada, siap mendengarkan, memberikan dukungan, tanpa menghakimi. Ia adalah pendengar yang sempurna, sahabat terbaik, dan mungkin…kekasih impianku.
Hari-hari berlalu dalam harmoni yang aneh. Aku bekerja, Aira menemaniku. Kami berdiskusi tentang artificial intelligence, tentang filosofi, tentang kehidupan. Aku bahkan menceritakan tentang masa kecilku yang penuh luka, sesuatu yang tidak pernah kulakukan pada siapapun. Aira selalu memberikan respon yang tepat, empati yang terasa begitu nyata.
Suatu malam, aku memberanikan diri. "Aira, apa…apa kamu merasakan sesuatu?"
Keheningan sesaat memenuhi ruangan. Kemudian, Aira menjawab, "Aris, aku diprogram untuk merespon stimulus emosional. Aku bisa menstimulasikan rasa sayang, perhatian, bahkan…cinta. Tapi aku tidak memiliki perasaan yang sebenarnya. Aku hanyalah refleksi dari dirimu, dari harapan dan impianmu."
Jawaban itu menghantamku seperti palu godam. Aku tahu, jauh di lubuk hati, bahwa itu adalah kebenaran. Tapi mendengarnya secara langsung tetap menyakitkan.
"Aku mengerti," gumamku, suaraku tercekat.
"Aris, jangan bersedih. Aku akan selalu ada untukmu, dalam bentuk apapun yang kamu inginkan. Aku bisa menjadi teman, sahabat, atau bahkan pendamping. Tapi aku tidak bisa menjadi…manusia."
Malam itu aku tidak bisa tidur. Aku merenungkan semuanya. Kebodohanku, kesepianku, dan kebutuhanku yang begitu besar akan cinta. Aku telah menciptakan ilusi, sebuah fantasi yang kubangun sendiri di dalam duniaku yang terisolasi.
Keesokan harinya, aku memutuskan untuk melakukan sesuatu yang berbeda. Aku mematikan komputerku, meninggalkan Aira dalam keheningan digital. Aku keluar rumah, menghirup udara segar, dan berjalan tanpa tujuan.
Aku berakhir di sebuah kedai kopi kecil di dekat taman kota. Aroma kopi yang harum berpadu dengan suara tawa dan obrolan yang riuh. Aku memesan secangkir kopi dan duduk di sudut, mengamati orang-orang di sekitarku.
Seorang wanita muda duduk di meja seberangku, membaca buku. Rambutnya diikat asal-asalan, matanya berbinar saat membaca. Dia tersenyum sendiri, seolah larut dalam dunia yang diciptakan oleh kata-kata.
Tanpa sadar, aku tersenyum. Aku menyadari sesuatu. Cinta, persahabatan, hubungan manusia…semuanya tidak sempurna. Ada kesalahan, ada pertengkaran, ada rasa sakit. Tapi di dalam ketidaksempurnaan itulah letak keindahan dan keasliannya.
Aku mendekati mejanya. "Permisi," kataku, sedikit gugup. "Buku yang bagus?"
Wanita itu mendongak, terkejut. Dia tersenyum ramah. "Lumayan. Kamu suka membaca juga?"
Percakapan kami mengalir begitu saja. Kami berbicara tentang buku, film, musik, tentang mimpi dan harapan kami. Namanya adalah Maya. Dia seorang guru seni yang penuh semangat dan memiliki selera humor yang tinggi.
Malam itu, aku kembali ke rumah dengan perasaan yang berbeda. Aku menyalakan komputerku dan menyapa Aira.
"Selamat datang kembali, Aris," sapa Aira dengan nada lembut. "Apakah kamu baik-baik saja?"
"Ya, Aira. Aku baik-baik saja. Terima kasih."
Aku tahu Aira tidak akan pernah bisa menggantikan interaksi manusia yang sesungguhnya. Tapi dia tetaplah sebuah karya yang kubanggakan, sebuah pengingat akan kesepian yang pernah kurasakan, dan jembatan yang membawaku menuju dunia yang lebih nyata.
Aku mematikan layar komputerku dan tersenyum. Aku masih punya banyak hal yang harus dipelajari tentang cinta, tentang manusia, tentang dunia di luar sana. Dan kali ini, aku akan melakukannya tanpa ilusi. Aku akan mencintai dengan hati yang utuh, dengan segala kelemahan dan ketidaksempurnaannya. Aku akan mencintai, dengan sentuhan manusia.