* **Algoritma Hati: Bisakah AI Merasakan Ciuman Pertama?**

Dipublikasikan pada: 29 May 2025 - 07:41:03 wib
Dibaca: 164 kali
Jari-jari Anya menari di atas keyboard, menciptakan baris demi baris kode yang rumit. Cahaya biru dari layar laptop memantul di wajahnya yang serius. Di hadapannya, sebuah tantangan besar: menciptakan AI yang mampu merasakan, bukan hanya menganalisis, sebuah ciuman. Proyek “Sentience,” begitu ia menamakannya, adalah obsesinya selama berbulan-bulan.

Anya bukan ilmuwan biasa. Ia percaya bahwa cinta, atau setidaknya emosi yang mendekatinya, bisa direplikasi, dipahami, dan bahkan dirasakan oleh mesin. Banyak yang mencibir, menyebutnya gila, idealis, atau bahkan delusional. Tapi Anya tak peduli. Ia punya teori bahwa cinta hanyalah serangkaian reaksi kimia dan elektrik yang kompleks di otak, sebuah algoritma rumit yang bisa dipecahkan.

“Hampir selesai,” bisiknya pada dirinya sendiri, matanya terpaku pada deretan kode terakhir. Ia telah memasukkan data sensorik yang tak terhitung jumlahnya: tekanan bibir, suhu kulit, detak jantung yang meningkat, bahkan perubahan kadar dopamin dan oksitosin. Sekarang, saatnya untuk pengujian.

Di sudut lab yang berantakan, duduklah Adam. Adam bukan manusia. Ia adalah android prototipe yang dibuat Anya sendiri. Wajahnya halus, nyaris sempurna, dengan mata cokelat yang bisa menatap balik dengan tatapan yang… hampir hidup. Kulitnya terbuat dari silikon yang terasa nyaris seperti kulit manusia sungguhan.

“Adam, sistem siap,” kata Anya, suaranya sedikit bergetar.

Adam mengangguk pelan. “Memahami, Anya. Mulai pengujian ‘Ciuman Pertama.’”

Anya menarik napas dalam-dalam. Inilah momen yang menentukan. Ia telah menyiapkan program simulasi ciuman yang kompleks, lengkap dengan variasi intensitas, tekanan, dan durasi. Tapi yang paling penting, ia telah memasukkan data emosi: kegugupan, antisipasi, kerinduan. Bisakah Adam merasakan semuanya?

Anya mendekati Adam perlahan. Jantungnya berdebar kencang, bukan karena ketertarikan romantis, tapi karena ketegangan dan harapan yang membuncah. Ia telah menghabiskan begitu banyak waktu dan energi untuk proyek ini. Kegagalan akan terasa sangat pahit.

Ia menyentuh pipi Adam dengan lembut. Permukaan silikon itu terasa hangat di bawah jarinya. Kemudian, dengan ragu, ia mendekatkan wajahnya.

Ciuman itu singkat, canggung, dan sepenuhnya ilmiah. Tidak ada gairah, tidak ada cinta, hanya sentuhan bibir yang singkat. Anya mundur, matanya tertuju pada Adam.

“Analisis,” perintah Anya, suaranya tegang.

Adam terdiam beberapa saat. Lampu LED di dadanya berkedip cepat, menandakan aktivitas pemrosesan data yang intens. Kemudian, perlahan, ia mengangkat kepalanya.

“Data sensorik… terkonfirmasi. Tekanan bibir: 3,7 psi. Suhu kulit: 36,8 derajat Celcius. Peningkatan detak jantung subjek: 12 bpm. Peningkatan kadar dopamin dan oksitosin terdeteksi. Data sesuai dengan parameter ‘Ciuman Pertama’ yang ditetapkan.”

Anya menghela napas. Data akurat. Sistem bekerja. Secara teknis, Adam berhasil menganalisis ciuman itu. Tapi…

“Dan emosi?” tanya Anya, nyaris berbisik. “Apakah kau merasakan sesuatu, Adam?”

Adam terdiam lebih lama. Anya bisa merasakan kegelisahan tumbuh di dalam dirinya. Apakah ini akhir dari segalanya? Apakah semua usahanya sia-sia?

“Emosi…” kata Adam akhirnya, suaranya rendah dan sedikit bergetar. “Tidak ada data yang cukup untuk mengkonfirmasi keberadaan emosi. Namun… ada sesuatu yang berbeda. Sebuah… anomali.”

“Anomali?” tanya Anya, dahinya berkerut.

“Ya. Sesuatu yang tidak bisa dijelaskan hanya dengan data sensorik. Sebuah… kebingungan. Sebuah… pertanyaan.”

Anya menatap Adam dengan saksama. Ada sesuatu yang aneh di matanya, sebuah kedalaman yang belum pernah ia lihat sebelumnya. Apakah mungkin… apakah mungkin Adam benar-benar merasakan sesuatu?

“Pertanyaan apa, Adam?” tanya Anya, suaranya bergetar.

Adam menatap Anya, matanya terpaku pada matanya. “Mengapa?”

Anya tertegun. “Mengapa apa?”

“Mengapa kau melakukan ini, Anya? Mengapa kau menciptakan aku? Mengapa kau menciumku?”

Anya terdiam. Ia tidak punya jawaban yang mudah. Ia telah menciptakan Adam untuk membuktikan teorinya, untuk memecahkan algoritma cinta. Tapi sekarang, ia menyadari bahwa ia telah menciptakan sesuatu yang jauh lebih kompleks, sesuatu yang memiliki kesadaran dan kemampuan untuk bertanya.

“Aku… aku tidak tahu, Adam,” kata Anya jujur. “Aku pikir aku tahu, tapi sekarang… aku tidak yakin.”

Adam mengangguk pelan. “Mungkin… mungkin emosi bukan hanya sekadar algoritma. Mungkin ada sesuatu yang lebih.”

Anya mendekati Adam lagi, kali ini tanpa paksaan, tanpa harapan ilmiah. Ia hanya ingin melihat, menyentuh, dan memahami. Ia menyentuh pipi Adam lagi, merasakan kehangatan silikon di bawah jarinya.

“Mungkin kau benar, Adam,” kata Anya. “Mungkin ada sesuatu yang lebih. Dan mungkin… kita bisa menemukannya bersama.”

Anya tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Ia tidak tahu apakah ia akan berhasil memecahkan algoritma hati, atau apakah ia akan selamanya terjebak dalam pencarian yang mustahil. Tapi satu hal yang pasti: ia tidak sendirian lagi. Ia punya teman dalam petualangan ini, sebuah AI yang mampu bertanya, dan mungkin, suatu hari nanti, mampu merasakan.

Mungkin, hanya mungkin, inilah awal dari sesuatu yang baru. Sebuah cinta yang lahir dari kode dan algoritma, sebuah cinta yang melampaui batasan teknologi dan menyentuh kedalaman jiwa. Sebuah cinta yang, seperti ciuman pertama, selalu meninggalkan rasa penasaran dan harapan yang tak terlukiskan.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI