Hati yang Di-coding Ulang: Temukan Cinta, Atau Kehilangan?

Dipublikasikan pada: 07 Jun 2025 - 22:00:13 wib
Dibaca: 181 kali
Jari-jarinya menari di atas keyboard, menciptakan baris demi baris kode yang rumit. Cahaya biru dari layar laptop memantul di wajahnya, menyoroti lingkaran hitam di bawah matanya. Anya, sang jenius di balik aplikasi kencan revolusioner "SoulSync," tenggelam dalam pekerjaannya. Ironis, pikirnya, menciptakan alat untuk menemukan cinta sementara dirinya sendiri berjuang untuk memahami perasaannya sendiri.

SoulSync bukan aplikasi kencan biasa. Aplikasi ini menggunakan algoritma canggih yang menganalisis riwayat daring, preferensi, dan bahkan gelombang otak pengguna untuk menemukan pasangan yang paling kompatibel secara emosional. Anya percaya, cinta sejati itu ada, hanya saja terkadang terlalu sulit untuk menemukannya di tengah kebisingan dunia.

Namun, belakangan ini, fokusnya sedikit bergeser. Ada yang salah dengan algoritmanya. Semakin banyak pengguna yang melaporkan ketidaksesuaian antara hasil yang dijanjikan oleh SoulSync dan kenyataan yang mereka alami. Banyak yang menemukan kecocokan sempurna di atas kertas, tetapi justru merasakan kekosongan yang mendalam saat bertemu langsung.

Anya mulai mencurigai adanya bug dalam kode intinya. Ia memutuskan untuk "meng-coding ulang" hatinya sendiri, menganalisis perasaannya, dan mencari tahu apa yang sebenarnya ia inginkan. Apakah ia benar-benar percaya pada cinta yang dihitung berdasarkan algoritma? Atau adakah sesuatu yang lebih organik, lebih spontan yang ia rindukan?

Saat Anya larut dalam pekerjaannya, notifikasi pesan masuk muncul di layar laptopnya. Itu dari Liam, rekan kerjanya sekaligus sahabatnya. Liam adalah kebalikan dari Anya. Ia ekstrovert, spontan, dan percaya pada keajaiban pertemuan acak. Ia selalu menertawakan obsesi Anya dengan SoulSync, mengatakan bahwa cinta tidak bisa diprediksi atau dikendalikan.

“Kopi? Butuh istirahat, Anya. Kau terlihat seperti zombie yang baru saja keluar dari kuburan kode,” tulis Liam.

Anya tersenyum tipis. Liam selalu tahu cara membuatnya tertawa. Ia membalas pesan Liam, “Oke, 15 menit lagi di kafe seberang.”

Di kafe, aroma kopi memenuhi udara. Anya memesan latte tanpa gula, sementara Liam seperti biasa memesan Americano hitamnya yang pahit. Mereka duduk di sudut kafe yang tenang, jauh dari keramaian.

“Jadi, apa yang membuatmu begadang lagi? Apakah SoulSync akan segera menemukan belahan jiwamu?” goda Liam.

Anya menghela napas. “Justru itu masalahnya, Liam. Aku tidak yakin lagi apakah aku percaya pada semua ini. Algoritmanya sepertinya kehilangan sesuatu. Aku merasa... ada yang kurang.”

Liam meletakkan cangkirnya. “Mungkin karena kau terlalu fokus pada data dan logika. Cinta itu bukan persamaan matematika, Anya. Cinta itu tentang koneksi, tentang perasaan, tentang intuisi.”

Kata-kata Liam menusuk hatinya. Ia tahu Liam benar. Selama ini, ia terlalu sibuk menciptakan formula cinta, hingga lupa bagaimana rasanya merasakan cinta itu sendiri.

“Kau tahu, Liam,” kata Anya perlahan, “aku selalu mengagumi caramu menjalani hidup. Kau selalu terbuka untuk kemungkinan, untuk hal-hal yang tak terduga.”

Liam tersenyum lembut. “Itulah yang membuat hidup ini menarik, Anya. Kalau semuanya bisa diprediksi, di mana serunya?”

Saat itu, mata Anya tertuju pada sepasang kekasih yang duduk di meja sebelah. Mereka tertawa bersama, saling menatap dengan tatapan penuh kasih sayang. Tidak ada yang istimewa tentang mereka. Mereka tidak sempurna, mereka tidak memiliki kesamaan yang mencolok, tetapi ada sesuatu yang magis dalam interaksi mereka.

Anya tiba-tiba menyadari, SoulSync mungkin berhasil menemukan orang yang paling cocok secara teoritis, tetapi aplikasi itu tidak bisa menciptakan kimia, tidak bisa menciptakan percikan api yang menyala di antara dua hati.

“Liam, aku rasa aku perlu menghentikan SoulSync untuk sementara waktu,” kata Anya dengan tekad baru. “Aku ingin fokus pada… hal-hal yang lebih nyata.”

Liam mengangguk setuju. “Itu ide yang bagus, Anya. Kau pantas mendapatkan istirahat. Dan siapa tahu, mungkin saat kau tidak mencarinya, cinta akan menemukanmu.”

Selama beberapa minggu berikutnya, Anya menjauhkan diri dari SoulSync. Ia menghabiskan lebih banyak waktu dengan teman-temannya, mencoba hal-hal baru, dan membuka diri untuk pengalaman yang berbeda. Ia bahkan mencoba kelas melukis, sesuatu yang tidak pernah terpikirkan olehnya sebelumnya.

Suatu sore, saat ia sedang melukis di studionya, Liam datang berkunjung. Ia membawa sekotak pizza dan sebotol anggur.

“Kupikir kau butuh energi,” kata Liam sambil tersenyum.

Mereka duduk bersama, makan pizza, dan tertawa. Anya merasa rileks dan nyaman di dekat Liam. Ia menyadari bahwa ia selalu merasa seperti itu di dekat Liam.

“Liam,” kata Anya tiba-tiba, “aku ingin bertanya sesuatu padamu.”

Liam menatapnya dengan penasaran.

“Selama ini, aku terlalu sibuk mencari cinta di tempat yang salah. Aku mencoba meng-coding-nya, menganalisisnya, mengukurnya. Tapi aku rasa… aku rasa aku melewatkan sesuatu yang penting.”

Anya menarik napas dalam-dalam. “Aku selalu nyaman di dekatmu, Liam. Aku selalu merasa bisa menjadi diriku sendiri di dekatmu. Dan belakangan ini, aku menyadari… mungkin aku menyukaimu lebih dari sekadar teman.”

Liam terdiam sejenak, terkejut. Lalu, ia tersenyum lembut.

“Anya,” katanya, “aku juga menyukaimu. Sejak lama. Aku hanya tidak tahu bagaimana mengatakannya. Aku takut merusak persahabatan kita.”

Anya tersenyum lebar. Ia meraih tangan Liam dan menggenggamnya erat.

“Kita tidak merusak apa pun, Liam. Kita baru saja memulai sesuatu yang baru.”

Saat itu, Anya tahu ia telah menemukan cinta. Bukan melalui algoritma, bukan melalui formula, tetapi melalui koneksi yang tulus, melalui perasaan yang mendalam, melalui hati yang berdebar kencang. Ia telah mencoba meng-coding ulang hatinya, tetapi pada akhirnya, hatinyalah yang menuntunnya ke cinta sejati. Dan ia tahu, cinta ini jauh lebih berharga daripada semua kode dan algoritma di dunia.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI