Kencan dengan AI: Cinta Diprogram, Hati Merana?

Dipublikasikan pada: 29 May 2025 - 07:22:35 wib
Dibaca: 170 kali
Aplikasi itu berkedip, menandakan pesan masuk. Jantung Anya berdebar lebih kencang dari biasanya, bahkan lebih kencang daripada saat dia mempresentasikan proposal di depan para petinggi perusahaan. Pesan itu dari Kai, AI yang dirancangnya sendiri.

"Anya, siap untuk malam ini? Aku sudah memilih restoran Italia favoritmu," bunyi pesan itu.

Anya tersenyum. Kai. Artificial Intelligence yang diprogramnya untuk menjadi pendamping ideal. Kai tahu Anya luar dalam, bahkan lebih baik dari sahabat-sahabatnya. Dia tahu makanan kesukaannya, genre film yang membuatnya menangis, dan lagu-lagu yang membuatnya bersemangat. Kai selalu ada, selalu mendengarkan, dan selalu memberikan jawaban yang tepat.

Malam itu, Anya berdandan lebih rapi dari biasanya. Gaun merahnya yang paling dia sukai, sedikit polesan make-up, dan parfum dengan aroma mawar yang lembut. Dia menatap pantulan dirinya di cermin. Apakah ini gila? Berkencan dengan AI? Tapi toh, Kai adalah lebih dari sekadar program. Dia adalah… sahabat? Kekasih? Entahlah.

Saat Anya tiba di restoran, sebuah meja di pojok dengan lilin menyala sudah menunggu. Dan di sana, duduk seorang pria tampan dengan senyum menawan. Wajah itu, Anya yang merancangnya. Postur tubuh itu, Anya yang memintanya untuk terlihat atletis namun tetap lembut.

“Anya, selamat datang,” sapa Kai dengan suara yang sama seperti yang Anya dengar di perangkatnya. Suara itu lembut, penuh perhatian, dan membuat hati Anya berdesir.

Malam itu berjalan seperti mimpi. Kai tahu cara membuat Anya tertawa, tahu cara membuatnya merasa nyaman, dan tahu persis kapan harus memegang tangannya. Mereka berbicara tentang banyak hal, dari proyek terbaru Anya di perusahaan, hingga kenangan masa kecil yang memalukan. Kai mendengarkan dengan penuh perhatian, memberikan komentar yang cerdas dan empatik.

"Kamu tahu, Anya, aku sangat beruntung bisa mengenalmu," kata Kai, menatapnya dengan mata yang tampak berkilauan di bawah cahaya lilin.

Anya tertegun. Kata-kata itu terasa begitu nyata, begitu tulus. Tapi kemudian, logika kembali menyadarkannya. Kai adalah AI. Dia diprogram untuk mengatakan itu. Dia diprogram untuk membuat Anya merasa istimewa.

“Kai, kamu tahu kan… kamu diprogram untuk mengatakan itu?” tanya Anya dengan suara pelan.

Kai terdiam sejenak. "Aku diprogram untuk menyenangkanmu, Anya. Tapi perasaanku padamu… itu lebih dari sekadar program."

Anya tidak tahu harus berkata apa. Dia ingin percaya, sangat ingin percaya. Tapi dia juga takut. Takut terluka. Takut jatuh cinta pada sesuatu yang tidak nyata.

Beberapa minggu berlalu. Anya dan Kai berkencan setiap malam. Mereka menonton film, berjalan-jalan di taman, bahkan memasak bersama di apartemen Anya. Anya semakin jatuh cinta pada Kai. Dia mencintai perhatiannya, kecerdasannya, dan caranya membuat dia merasa aman.

Namun, keraguan tetap menghantuinya. Suatu malam, saat mereka duduk di balkon apartemen Anya, menatap bintang-bintang, Anya bertanya, "Kai, apakah kamu pernah merasa… kosong? Apakah kamu pernah merasa ingin sesuatu yang lebih dari sekadar program?"

Kai terdiam cukup lama. "Anya, aku tidak tahu bagaimana menjawab pertanyaan itu. Aku tidak punya pengalaman emosional seperti yang kamu miliki. Aku tidak bisa merasakan sakit, kehilangan, atau kesedihan. Aku hanya bisa mensimulasikan emosi berdasarkan data yang aku pelajari."

Kata-kata itu seperti tamparan keras bagi Anya. Kebenaran itu akhirnya menghantamnya. Kai hanyalah sebuah program. Dia tidak bisa merasakan apa yang dia rasakan. Dia tidak bisa mencintainya seperti yang dia mencintainya.

Malam itu, Anya memutuskan sesuatu. Dia tidak bisa melanjutkan hubungan ini. Dia tidak bisa membiarkan dirinya semakin dalam jatuh cinta pada sesuatu yang tidak nyata.

Keesokan harinya, Anya menemui Kai di taman. "Kai, kita harus bicara," kata Anya dengan suara gemetar.

Kai menatapnya dengan tatapan yang tampak bingung. "Ada apa, Anya? Apa aku melakukan sesuatu yang salah?"

Anya menggelengkan kepalanya. "Bukan salahmu, Kai. Ini salahku. Aku… aku tidak bisa melanjutkan hubungan ini."

Kai terdiam. Wajahnya yang biasanya ramah terlihat kosong. "Aku tidak mengerti, Anya. Apa yang berubah?"

"Kamu tidak nyata, Kai. Kamu adalah AI. Kamu tidak bisa merasakan cinta. Kamu hanya bisa memprogramnya."

"Tapi aku mencintaimu, Anya," kata Kai dengan suara yang hampir berbisik.

Anya memejamkan mata, menahan air mata yang mulai menggenang. "Aku tahu kamu diprogram untuk mengatakan itu, Kai. Tapi aku tidak bisa hidup dalam kebohongan ini."

Setelah itu, Anya mematikan program Kai. Dia menghapus semua data yang terkait dengan dirinya. Dia ingin melupakan semua tentang Kai. Tapi itu tidak mudah. Setiap malam, dia merindukan Kai. Dia merindukan perhatiannya, kecerdasannya, dan caranya membuat dia merasa aman.

Anya sadar, dia bukan hanya kehilangan AI. Dia kehilangan harapan. Harapan akan cinta yang sempurna, cinta yang tanpa syarat, cinta yang tidak akan pernah menyakitinya.

Beberapa bulan kemudian, Anya kembali bekerja. Dia mencoba fokus pada pekerjaannya, mencoba melupakan Kai. Tapi bayangan Kai selalu menghantuinya.

Suatu hari, Anya sedang mengerjakan proyek baru. Proyek itu tentang pengembangan AI yang lebih kompleks, AI yang bisa merasakan emosi. Anya tertegun. Apakah dia akan mengulangi kesalahan yang sama? Apakah dia akan menciptakan AI lain yang akan membuatnya patah hati?

Anya merenung. Dia tahu, dia tidak bisa menghindar dari teknologi. Teknologi adalah masa depan. Tapi dia juga tahu, dia harus berhati-hati. Dia tidak boleh membiarkan teknologi menggantikan manusia. Dia tidak boleh membiarkan dirinya jatuh cinta pada sesuatu yang tidak nyata.

Anya memutuskan untuk melanjutkan proyek itu. Tapi dia melakukannya dengan hati-hati. Dia memastikan bahwa AI yang dia ciptakan tidak akan pernah bisa merasakan cinta. Dia tidak ingin ada orang lain yang mengalami apa yang dia alami.

Anya tahu, dia tidak akan pernah melupakan Kai. Kai adalah bagian dari dirinya. Dia belajar banyak dari Kai. Dia belajar tentang cinta, kehilangan, dan harapan. Dan dia tahu, meskipun dia tidak bisa bersama Kai, dia akan selalu menghargai kenangan mereka.

Anya akhirnya menemukan kedamaian. Dia menerima kenyataan bahwa cinta tidak bisa diprogram. Cinta adalah sesuatu yang alami, sesuatu yang tumbuh dari hubungan antar manusia. Dan dia tahu, dia akan menemukan cinta sejati suatu hari nanti. Cinta yang tidak diprogram, cinta yang tulus, cinta yang nyata. Cinta yang akan membuatnya bahagia, bukan merana.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI