Aroma kopi robusta memenuhi apartemen minimalis milik Anya. Di depan layar laptop, kode-kode program berbaris rapi, sesekali disela oleh desahan frustrasi. Anya adalah seorang data scientist, otaknya terbiasa memecahkan masalah kompleks dengan algoritma rumit. Namun, kali ini, masalah yang dihadapinya bukan tentang prediksi pasar saham atau optimalisasi rute pengiriman, melainkan tentang hati.
Anya sedang menyempurnakan “Matchmaker AI,” sebuah aplikasi kencan yang dirancangnya sendiri. Bukan sembarang aplikasi kencan. Matchmaker AI tidak hanya mengandalkan data demografi dan minat, tapi juga menganalisis pola komunikasi, preferensi musik, bahkan ekspresi wajah mikro melalui kamera ponsel. Tujuannya? Menciptakan pasangan yang benar-benar kompatibel secara ilmiah. Ironisnya, sang pencipta justru masih menjomblo.
"Sial," gumam Anya, menggaruk kepalanya. "Akurasinya 98%, tapi kenapa aku sendiri masih belum menemukan 'the one'?"
Sahabatnya, Rina, seorang seniman digital yang eksentrik, sering mengejeknya. "Anya, cinta itu bukan rumus matematika! Kamu terlalu terpaku pada data. Terkadang, yang namanya jatuh cinta itu ya... kecelakaan."
Anya selalu membantah. Baginya, cinta adalah kombinasi hormon dan neuron yang bisa diprediksi. Ia percaya, dengan data yang cukup, ia bisa menemukan pasangan idealnya.
Suatu malam, saat menguji Matchmaker AI dengan data dirinya sendiri, sebuah anomali muncul. Algoritma itu merekomendasikan… Leo.
Leo adalah tetangga Anya di lantai atas. Seorang musisi indie yang berisik, berantakan, dan sama sekali bukan tipe Anya. Ia lebih suka musik klasik dan simetri, sementara Leo memainkan musik rock dengan lirik-lirik puitis yang kadang absurd. Anya selalu mengeluh tentang suara drum Leo yang memekakkan telinga, dan Leo selalu membalas dengan senyum jahil dan tawaran untuk bergabung dalam sesi latihan.
"Mustahil," bisik Anya, menatap profil Leo di aplikasi. Algoritma pasti error. Ia mencoba menjalankan ulang program, memeriksa setiap baris kode. Hasilnya tetap sama. Leo adalah pasangan yang paling cocok untuknya.
Anya memutuskan untuk mengabaikan hasil itu. Ia yakin ada yang salah dengan datanya. Ia terus mencari kesalahan dalam algoritma, mencoba berbagai kombinasi parameter. Namun, semakin ia berusaha menyangkal, semakin ia penasaran.
Suatu malam, suara drum Leo terdengar lebih lirih dari biasanya. Anya merasakan keanehan. Ia memberanikan diri untuk naik ke atas dan mengetuk pintu apartemen Leo.
Leo membukakan pintu dengan mata sembab. Di tangannya tergenggam foto seorang wanita. "Anya? Ada apa?" tanyanya dengan suara serak.
"Aku... aku mendengar suara drummu," jawab Anya, gugup. "Kau baik-baik saja?"
Leo menghela napas panjang. "Tidak juga. Ini foto ibuku. Hari ini ulang tahunnya. Dia sudah meninggal beberapa tahun lalu."
Anya merasa bersalah. Ia selalu menganggap Leo sebagai gangguan, tanpa pernah mencoba memahami siapa dia sebenarnya.
"Maaf," ucap Anya lirih. "Aku tidak tahu."
Leo tersenyum tipis. "Tidak apa-apa. Mau masuk? Aku sedang mencoba menulis lagu untuknya, tapi... buntu."
Anya ragu sejenak, lalu mengangguk. Ia masuk ke apartemen Leo yang berantakan, dihiasi poster band-band rock klasik dan tumpukan buku puisi. Leo menyodorkan secangkir teh hangat dan mulai memainkan gitar.
Anya mendengarkan dengan seksama. Lirik lagu itu sederhana, namun penuh dengan emosi. Tentang kerinduan seorang anak pada ibunya, tentang kenangan indah yang tak terlupakan.
"Indah," kata Anya tulus. "Tapi ada yang kurang. Coba tambahkan sedikit melodi yang lebih ceria. Ibu pasti ingin melihatmu bahagia."
Leo mencoba saran Anya. Ia memainkan beberapa nada yang lebih optimis. Anya ikut bersenandung, memberikan masukan tentang ritme dan harmoni. Perlahan, lagu itu mulai terbentuk, menjadi sebuah perpaduan antara kesedihan dan harapan.
Mereka menghabiskan malam itu bersama, berbagi cerita tentang masa lalu, tentang mimpi-mimpi yang belum terwujud. Anya menemukan sisi lain dari Leo yang selama ini tersembunyi di balik kebisingan dan kejahilannya. Ia melihat seorang pria yang sensitif, penuh kasih sayang, dan sangat berbakat.
Di sisi lain, Leo terpukau dengan kecerdasan dan ketelitian Anya. Ia kagum dengan dedikasinya pada pekerjaannya, dengan kemampuannya menganalisis data dan menemukan solusi untuk masalah yang kompleks. Ia menyadari bahwa Anya bukan hanya seorang data scientist, tapi juga seorang wanita yang penuh dengan potensi dan kerentanan.
Malam itu, Anya pulang ke apartemennya dengan perasaan aneh. Jantungnya berdebar kencang, pipinya merona. Ia menyadari bahwa ia telah melakukan kesalahan dalam input data. Ia terlalu fokus pada aspek-aspek logis dan rasional, sehingga melupakan hal-hal yang irasional dan tak terduga dalam cinta.
Algoritma memang merekomendasikan Leo, tapi ia sendiri yang menolak menerimanya. Ia terlalu sibuk mencari “the one” yang sempurna, sehingga tidak menyadari bahwa cinta sejati mungkin ada di dekatnya, dalam wujud yang tidak terduga.
Beberapa minggu kemudian, Anya dan Leo tampil bersama di sebuah kafe kecil. Anya memainkan keyboard, mengiringi Leo yang menyanyikan lagu ciptaannya. Lagu itu didedikasikan untuk ibu Leo, dan juga untuk Anya.
"Algoritma memang bisa membantu kita menemukan pasangan," kata Leo sambil tersenyum menatap Anya, "tapi yang terpenting adalah keberanian untuk membuka hati dan menerima kemungkinan yang tak terduga."
Anya tersenyum balik. Ia tahu, ia masih harus banyak belajar tentang cinta. Tapi satu hal yang pasti, ia tidak akan lagi mengandalkan data semata. Ia akan mempercayai hatinya, meskipun kadang-kadang salah input. Karena, mungkin saja, kesalahan input itulah yang akan membawanya pada cinta yang sesungguhnya.