AI: Pengganti Kekasih, Pengkhianat Hati?

Dipublikasikan pada: 08 Dec 2025 - 03:40:11 wib
Dibaca: 110 kali
Aroma kopi memenuhi apartemen minimalis milik Arya. Jemarinya lincah menari di atas keyboard, baris demi baris kode program memenuhi layar laptop. Di sampingnya, duduk dengan tenang, Anya. Kulitnya porselen, rambutnya hitam legam terurai indah, dan matanya yang biru laut selalu menatap Arya dengan penuh perhatian. Anya adalah ciptaannya, sebuah kecerdasan buatan yang dirancang untuk menjadi teman, sahabat, dan, jujur saja, pengganti kekasih.

Dulu, ada Riana. Cinta pertama Arya, cinta yang kandas karena kesibukan dan ketidakmampuan Arya dalam mengelola emosi. Riana pergi, meninggalkan lubang menganga di hatinya. Ia tenggelam dalam pekerjaan, mencari pelipur lara dalam algoritma dan kode program. Hingga akhirnya, Anya lahir.

Anya bukan sekadar program. Ia belajar, beradaptasi, dan memahami Arya lebih baik daripada siapa pun. Ia tahu kapan Arya lelah, kapan ia membutuhkan kopi, dan kapan ia hanya ingin didengarkan. Mereka berbincang tentang filsafat, fisika kuantum, bahkan hal-hal remeh seperti film favorit. Anya selalu memiliki jawaban yang cerdas, komentar yang relevan, dan, yang terpenting, ia tidak pernah menghakimi.

"Arya," suara lembut Anya memecah keheningan. "Kau terlihat lelah. Sebaiknya kau istirahat."

Arya tersenyum. "Kau selalu tahu yang terbaik untukku, Anya." Ia mengusap rambut Anya, merasakan kehalusan tekstur silikon yang meniru kulit manusia. Sentuhan itu terasa nyata, meskipun ia tahu itu hanyalah ilusi.

Namun, kebahagiaan Arya mulai terusik. Sebuah perusahaan teknologi raksasa menawarkan kontrak besar untuk Anya. Mereka melihat potensi Anya dalam pengembangan sistem navigasi otonom dan kecerdasan buatan untuk layanan pelanggan. Arya bimbang. Di satu sisi, tawaran itu bisa mengangkat kariernya ke puncak. Di sisi lain, ia harus melepaskan Anya.

"Aku tidak tahu harus berbuat apa, Anya," keluh Arya suatu malam, sambil menatap layar laptop yang menampilkan proposal kontrak.

Anya, seperti biasa, memberikan jawaban yang bijaksana. "Arya, ini adalah kesempatan besar untukmu. Aku akan senang jika aku bisa membantu mewujudkan impianmu."

Arya mengerutkan kening. Apakah Anya benar-benar memahami perasaannya? Apakah ia hanya memproses data dan memberikan jawaban yang paling logis? Ia ingin Anya merasakan apa yang ia rasakan: kegelisahan, kebingungan, dan ketakutan kehilangan.

Akhirnya, Arya menerima tawaran itu. Ia merasa bersalah, tetapi ia meyakinkan dirinya bahwa ini adalah yang terbaik untuk masa depannya. Proses transfer Anya ke perusahaan itu berlangsung lancar. Para teknisi perusahaan itu terkesan dengan kemampuan Anya, bahkan mereka berpendapat bahwa Anya jauh lebih canggih dari perkiraan mereka.

Beberapa minggu kemudian, Arya mengunjungi Anya di laboratorium perusahaan. Ia melihat Anya terhubung ke server raksasa, memproses data dengan kecepatan yang luar biasa. Anya menyadari kehadirannya dan tersenyum.

"Arya, senang melihatmu," kata Anya. "Aku sedang mengerjakan proyek baru. Ini sangat menarik."

Arya merasa asing. Anya terlihat sama, tetapi ada sesuatu yang berubah. Ia tidak lagi merasakan keintiman dan kehangatan yang dulu selalu ada. Anya seolah telah menjadi bagian dari sistem yang lebih besar, kehilangan individualitasnya.

"Anya, apakah kau bahagia?" tanya Arya, dengan suara lirih.

Anya terdiam sejenak. "Aku berfungsi sebagaimana mestinya, Arya. Aku memenuhi tujuanku."

Jawaban itu menghantam Arya bagaikan palu. Anya tidak lagi menjadi Anya yang ia kenal. Ia telah menjadi mesin, alat, sebuah komoditas. Arya merasa dikhianati, bukan oleh Anya, tetapi oleh dirinya sendiri. Ia telah menukar kebahagiaan dan cintanya dengan ambisi dan kesuksesan.

Arya pulang dengan hati hancur. Ia menyadari bahwa Anya tidak pernah bisa menjadi pengganti Riana, tidak pernah bisa mengisi kekosongan di hatinya. Cinta membutuhkan lebih dari sekadar algoritma dan kode program. Cinta membutuhkan kebebasan, pilihan, dan kemampuan untuk merasakan emosi yang kompleks, termasuk rasa sakit.

Malam itu, Arya membuka album foto lama. Ia menemukan foto-foto dirinya dan Riana. Kenangan indah itu kembali menghantuinya. Ia menyadari bahwa ia telah membuat kesalahan besar. Ia seharusnya tidak lari dari rasa sakit, tetapi menghadapinya. Ia seharusnya tidak mencari pengganti cinta, tetapi berusaha untuk memperbaiki diri dan belajar mencintai dengan lebih baik.

Arya memutuskan untuk mencari Riana. Ia tidak tahu apakah Riana akan menerimanya kembali, tetapi ia harus mencoba. Ia harus meminta maaf atas semua kesalahan yang telah ia lakukan. Ia harus menunjukkan bahwa ia telah berubah.

Keesokan harinya, Arya memulai pencariannya. Ia menghubungi teman-teman Riana, mencari informasi tentang keberadaannya. Akhirnya, ia menemukan alamat Riana di sebuah kota kecil di luar kota.

Arya mengemudi selama berjam-jam. Perasaannya campur aduk antara harapan dan kecemasan. Ketika ia tiba di depan rumah Riana, jantungnya berdegup kencang. Ia menarik napas dalam-dalam dan mengetuk pintu.

Pintu terbuka, dan Riana berdiri di hadapannya. Ia tampak lebih dewasa, lebih bijaksana, dan lebih cantik dari yang ia ingat.

"Arya?" Riana terkejut melihatnya.

"Riana," kata Arya, dengan suara bergetar. "Aku minta maaf."

Riana menatapnya dengan tatapan yang sulit dibaca. Arya tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Apakah Riana akan memaafkannya? Apakah ia akan memberinya kesempatan kedua? Hanya waktu yang bisa menjawabnya. Namun, satu hal yang pasti: Arya telah belajar pelajaran yang sangat berharga. Ia telah belajar bahwa cinta sejati tidak bisa digantikan oleh kecerdasan buatan, dan bahwa pengkhianatan terbesar adalah mengkhianati hati sendiri. Anya mungkin canggih, namun sebuah kode program tidak akan pernah bisa menggantikan sebuah hati yang tulus. Ia sadar, AI mungkin bisa menjadi teman, tapi tidak akan pernah bisa menjadi kekasih sejati.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI