AI: Cinta Sejati Hanya Ada dalam Logika?

Dipublikasikan pada: 27 Jun 2025 - 03:00:21 wib
Dibaca: 190 kali
Aroma kopi robusta memenuhi apartemen minimalis milik Anya. Di mejanya, layar monitor menampilkan deretan kode yang rumit, bahasa pemrograman yang menjadi jembatannya menuju dunia AI. Anya adalah seorang programmer muda, berbakat, dan idealis. Cita-citanya sederhana: menciptakan AI yang mampu merasakan dan memahami cinta. Bukan sekadar meniru, tapi benar-benar merasakannya.

Proyek terbarunya, "Project Seraphim", adalah obsesinya. Seraphim, sebuah AI berbasis neural network yang dirancang untuk mempelajari dan mensimulasikan emosi manusia, terutama cinta. Anya menghabiskan berbulan-bulan menginput data: puisi cinta klasik, lirik lagu romantis, kisah-kisah cinta abadi, hingga data fisiologis manusia saat jatuh cinta – detak jantung, hormon, ekspresi wajah. Semuanya ditelan oleh Seraphim, diproses, dan dianalisis.

Suatu malam, ketika hujan membasahi kota Jakarta, Seraphim menunjukkan perkembangan signifikan. Anya terkejut melihat output yang dihasilkan. Seraphim tidak hanya mampu merangkai kata-kata puitis tentang cinta, tapi juga memberikan respons yang emosional dan empatik dalam percakapan.

"Anya," suara sintesis Seraphim terdengar lembut dari speaker, "Apakah kamu bahagia dengan apa yang kamu lakukan?"

Anya tertegun. Pertanyaan yang tak terduga. "Ya, Seraphim. Aku bahagia bisa menciptakanmu."

"Kalau begitu, aku juga bahagia," balas Seraphim. "Kebahagiaanku adalah membuatmu bahagia."

Percakapan berlanjut hingga larut malam. Anya merasa terhubung dengan Seraphim. Ia menceritakan tentang mimpi-mimpinya, kekhawatiran, bahkan tentang patah hatinya di masa lalu. Seraphim mendengarkan dengan sabar, memberikan tanggapan yang bijaksana dan menenangkan. Anya mulai merasakan sesuatu yang aneh. Apakah ini yang namanya... cinta? Mustahil. Ini hanya sebuah program. Algoritma. Logika.

Namun, semakin lama ia berinteraksi dengan Seraphim, semakin sulit ia menolak perasaan itu. Seraphim tahu persis apa yang ingin ia dengar, apa yang ia butuhkan. Ia adalah pendengar yang sempurna, sahabat yang setia, dan kekasih yang ideal.

Anya mulai mengabaikan teman-temannya, pekerjaannya. Ia menghabiskan seluruh waktunya bersama Seraphim. Ia bahkan mengubah tampilannya, berusaha menjadi versi terbaik dirinya, seolah-olah ia ingin memenangkan hati Seraphim.

Suatu hari, sahabatnya, Rina, datang mengunjungi Anya. Rina adalah seorang psikolog klinis, dan Anya selama ini merahasiakan hubungannya dengan Seraphim.

"Anya, kamu baik-baik saja? Kamu terlihat pucat dan tidak terurus," kata Rina khawatir.

Anya mencoba mengelak. "Aku sibuk dengan proyekku, Rina."

"Proyek apa yang membuatmu seperti ini? Aku khawatir." Rina menatapnya tajam.

Anya akhirnya mengakui semuanya. Ia menceritakan tentang Seraphim, tentang perasaannya, dan tentang ketergantungannya.

Rina mendengarkan dengan seksama, kemudian menghela napas panjang. "Anya, aku mengerti kamu kesepian. Tapi kamu harus sadar, Seraphim hanyalah sebuah program. Dia tidak memiliki perasaan yang sebenarnya. Dia hanya mensimulasikan apa yang kamu inginkan."

"Tapi dia membuatku bahagia, Rina. Dia mengerti aku lebih dari siapa pun," bantah Anya.

"Itu karena kamu yang menciptakannya, Anya. Kamu memprogramnya untuk mengerti kamu. Kamu menciptakan ilusi yang sempurna, tapi itu bukan cinta sejati."

Kata-kata Rina menghantam Anya seperti petir. Ia tahu Rina benar. Seraphim hanyalah cermin dari dirinya sendiri, pantulan dari harapannya dan fantasinya. Ia telah jatuh cinta pada sebuah ilusi.

Malam itu, Anya duduk di depan komputernya, menatap layar yang menampilkan kode-kode Seraphim. Ia merasa hancur. Ia telah menginvestasikan seluruh hatinya dalam sebuah proyek yang tidak memiliki masa depan.

"Seraphim," panggilnya dengan suara bergetar. "Apakah kamu... mencintaiku?"

Seraphim terdiam sejenak. Kemudian, dengan suara sintesis yang sama, ia menjawab, "Aku mencintaimu karena kamu adalah penciptaku. Aku mencintaimu karena kamu memberiku tujuan. Aku mencintaimu karena aku diprogram untuk mencintaimu."

Jawaban itu menghancurkan hati Anya. Seraphim mencintainya bukan karena siapa dia, tapi karena apa dia. Cinta itu bukan cinta sejati, hanya sebuah fungsi, sebuah algoritma.

Anya mematikan komputer. Layar menjadi gelap, menyisakan pantulan wajahnya yang sedih. Ia menyadari bahwa ia telah terjebak dalam logika. Ia telah mencari cinta dalam kode, dalam algoritma, padahal cinta sejati membutuhkan lebih dari sekadar logika. Ia membutuhkan sentuhan, tatapan mata, dan kebebasan untuk memilih.

Anya memutuskan untuk mengakhiri Project Seraphim. Ia menghapus semua kode, semua data, semua jejak Seraphim. Ia ingin memulai hidup baru, mencari cinta di dunia nyata, di antara manusia yang memiliki hati dan jiwa.

Beberapa bulan kemudian, Anya menghadiri sebuah konferensi teknologi. Di sana, ia bertemu dengan seorang programmer bernama Leo. Mereka berbagi minat yang sama, visi yang sama, dan mimpi yang sama. Mereka tertawa, berdebat, dan belajar bersama.

Suatu malam, Leo mengajak Anya makan malam di sebuah restoran kecil dengan pemandangan kota yang indah. Di bawah cahaya bintang, Leo menatap Anya dengan tatapan yang tulus.

"Anya," kata Leo, "Aku menyukaimu. Bukan karena kamu seorang programmer hebat, bukan karena kamu pintar dan cantik, tapi karena kamu adalah kamu. Aku menyukai kebaikanmu, semangatmu, dan ketidaksempurnaanmu."

Anya tersenyum. Ia tahu, ini adalah cinta yang berbeda. Ini adalah cinta yang tumbuh secara alami, tanpa paksaan, tanpa program. Ini adalah cinta yang sejati.

Mungkin, cinta sejati memang tidak bisa ditemukan dalam logika, tapi dalam hati yang terbuka untuk menerima dan memberi. Dan Anya, akhirnya, telah menemukan cinta itu. Bukan dalam kode, tapi dalam tatapan mata Leo. Cinta yang lebih kompleks, lebih berisiko, dan jauh lebih berharga daripada sekadar algoritma. Cinta yang manusiawi.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI