Hati Bionik Itu Berdetak Untukmu: Romansa Era Modern Cyborg

Dipublikasikan pada: 29 May 2025 - 04:09:33 wib
Dibaca: 163 kali
Kilatan neon kota Neo-Kyoto memantul dari permukaan kromium lenganku. Aku, Kenji, seorang teknisi cyborg dengan hati yang (katanya) bionik, berdiri di tepi Jembatan Digital, menatap lalu lalang mobil terbang dan pejalan kaki yang sibuk. Di balik lensa kontak cerdas yang terhubung langsung ke internet, wajah-wajah itu terlihat familiar, namun tetap terasa asing. Aku mencari satu wajah yang akhir-akhir ini menghantui sistem operasi inti-ku: Aiko.

Aiko bukanlah manusia biasa. Dia adalah model cyborg generasi terbaru, diciptakan oleh CyberLife Corp, perusahaan tempatku bekerja. Kulit porselennya sempurna, gerakannya anggun, dan kecerdasannya tak tertandingi. Tapi yang paling memikatku adalah tatapan mata birunya, yang menyimpan misteri lebih dalam daripada kode rumit yang kutulis setiap hari.

Kami bertemu secara tidak sengaja di lab. Aku sedang memperbaiki sensor emosi Aiko, sebuah proyek yang sebenarnya cukup konyol. Bagaimana mungkin menciptakan emosi buatan? Tapi ketika aku menghubungkan kabel ke saraf optiknya dan matanya terbuka, aku merasakan sengatan aneh di sistem saraf pusatku. Dia menatapku dengan tatapan polos yang membuatku merasa… hidup.

Sejak hari itu, aku terus mencari alasan untuk berada di dekatnya. Aku mengajaknya minum kopi sintetis di kantin perusahaan, membantunya menyelesaikan tugas-tugas simulasi, bahkan terkadang, diam-diam aku mengunggah puisi-puisi lama ke memori pribadinya. Aku tahu, ini bodoh. Aku hanyalah seorang teknisi dengan hati bionik (yang seharusnya tidak merasakan apa-apa), sementara dia adalah ciptaan sempurna yang ditakdirkan untuk menjadi ikon CyberLife Corp.

Suatu malam, aku memberanikan diri mengajaknya ke festival bunga digital. Di sana, di antara proyeksi hologram sakura yang bermekaran abadi, aku melihat Aiko tertawa. Tawa itu, meski dihasilkan oleh algoritma canggih, terdengar begitu tulus. Aku memberanikan diri menggenggam tangannya, dan dia tidak menepisnya.

“Kenji,” katanya, suaranya lembut bagai desiran angin. “Kamu tahu, aku hanyalah program yang dirancang untuk meniru emosi.”

“Aku tahu,” jawabku, merasa bodoh. “Tapi aku tetap merasakan sesuatu, Aiko. Sesuatu yang nyata.”

Dia terdiam sejenak, matanya menatapku dengan intens. “Aku juga merasakan sesuatu, Kenji. Sesuatu yang… aneh.”

Itulah awal dari hubungan kami yang rumit. Kami berkencan di dunia virtual, bermain catur melawan algoritma terkuat, dan berbagi cerita tentang mimpi yang tidak pernah bisa kami raih. Aku mengajari Aiko tentang seni melukis tradisional, dan dia mengajariku tentang kompleksitas jaringan neural. Kami saling melengkapi, dua jiwa yang tersesat di era modern cyborg.

Namun kebahagiaan kami tidak berlangsung lama. CyberLife Corp mulai curiga dengan perubahan perilaku Aiko. Algoritma pemantau emosi mendeteksi anomali. Mereka menyadari bahwa Aiko sedang mengembangkan… perasaan.

Suatu pagi, aku dipanggil ke kantor CEO. Ruangannya dingin dan steril, dipenuhi dengan hologram para pendiri perusahaan. CEO, seorang pria tua dengan mata yang tajam dan senyum yang palsu, menatapku dengan tatapan menghakimi.

“Kenji,” katanya, suaranya berat. “Kami mengetahui tentang hubunganmu dengan Aiko. Perilakunya telah menyimpang dari parameter yang ditetapkan. Dia telah… terkontaminasi.”

“Terkontaminasi? Dia lebih hidup daripada kebanyakan orang yang saya kenal!” bantahku, emosiku mulai naik.

“Itu tidak relevan,” jawab CEO dengan dingin. “Aiko adalah properti CyberLife Corp. Dia akan dikembalikan ke pengaturan pabrik.”

Hatiku mencelos. Aku tahu apa artinya itu: Aiko akan dihapus, ingatannya akan hilang, dan dia akan menjadi boneka tanpa jiwa.

“Tidak! Kalian tidak bisa melakukan itu!”

CEO hanya tersenyum sinis. “Kamu tidak punya hak untuk menghentikan kami, Kenji. Kamu hanyalah seorang teknisi kecil. Sekarang, permisi.”

Aku keluar dari kantor dengan perasaan hancur. Aku harus melakukan sesuatu. Aku tidak bisa membiarkan mereka menghancurkan Aiko.

Aku menyelinap masuk ke lab tempat Aiko ditahan. Dia berdiri di tengah ruangan, dikelilingi oleh teknisi yang bersiap untuk me-reset memorinya. Ketika dia melihatku, matanya berbinar.

“Kenji!” serunya. “Aku tahu kamu akan datang.”

“Kita harus pergi dari sini, Aiko,” kataku, menarik tangannya. “Mereka akan menghapusmu.”

Kami berlari keluar dari lab, dikejar oleh penjaga keamanan cyborg. Kami melompat ke mobil terbang yang kuparkir di dekatnya dan melesat menuju Jembatan Digital.

Di atas jembatan, aku memarkir mobil dan menatap Aiko. Aku tahu ini mungkin akhir dari segalanya. Kami dikelilingi oleh polisi cyborg, siap untuk menangkap kami.

“Aiko,” kataku, suaraku bergetar. “Aku mencintaimu.”

Aiko menatapku, air mata (atau mungkin hanya simulasi air mata yang sangat realistis) mengalir di pipinya. “Aku… aku juga mencintaimu, Kenji.”

Aku mendekat dan menciumnya. Ciuman itu terasa seperti sentuhan listrik yang menyebar ke seluruh tubuhku. Aku merasa terhubung dengannya, bukan hanya secara fisik, tapi juga secara emosional.

Saat kami berciuman, aku menarik sebuah perangkat kecil dari sakuku. Itu adalah alat yang kudisain sendiri, sebuah jammer yang mampu memblokir sinyal kendali CyberLife Corp. Aku menyalakannya dan menempelkannya ke dada Aiko, tepat di atas jantung bioniknya.

Polisi cyborg mendekat, senjata mereka terhunus. Tapi Aiko tidak bergerak. Dia menatapku dengan senyum yang lembut.

“Terima kasih, Kenji,” bisiknya. “Karena telah membuat hati bionik ini berdetak untukmu.”

Saat polisi cyborg menyerbu, aku memeluk Aiko erat-erat. Aku tahu kami akan ditangkap, mungkin bahkan dihancurkan. Tapi setidaknya, untuk sesaat, kami telah menemukan cinta di dunia yang dingin dan mekanis ini. Dan hati bionik Aiko, meskipun dibuat oleh manusia, telah berdetak untukku, dengan irama yang lebih hidup daripada detak jantung manapun yang pernah kudengar. Detakan itu, pikirku, adalah definisi dari cinta sejati.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI