Terjebak Algoritma: Ketika Cinta Berupa Notifikasi?

Dipublikasikan pada: 29 May 2025 - 07:42:18 wib
Dibaca: 183 kali
Udara dingin menerobos jaket tipis yang kupakai. Di layar ponsel, sebuah notifikasi berkedip-kedip. "Kamu dan Arya cocok! Cek profilnya sekarang." Algoritma kencan daring bernama "Soulmate 2.0" itu memang agresif sekali. Aku mendengus. Arya? Entah pria keberapa yang dijodohkan sistem ini denganku dalam sebulan terakhir. Semuanya terasa sama: profil sempurna, hobi klise, dan obrolan yang dipenuhi emoji tanpa jiwa.

Aku, Maya, seorang coder yang ironisnya terjebak dalam algoritma yang kubenci. Pekerjaanku sehari-hari berkutat dengan baris kode, menciptakan sistem yang seharusnya mempermudah hidup manusia. Tapi, ketika algoritma mencoba mencarikan cinta untukku, semuanya terasa palsu, dipaksakan, dan sangat tidak organik.

Sebenarnya, aku tidak sepenuhnya menolak gagasan kencan daring. Waktu kerjaku padat, dan lingkaran pertemananku terbatas. Tapi, "Soulmate 2.0" ini terlalu mendikte. Sistemnya mengklaim bisa menemukan pasangan ideal berdasarkan data biologis, preferensi gaya hidup, dan bahkan gelombang otak. Konon, akurasinya mencapai 98%. Omong kosong.

Dengan malas, kubuka profil Arya. Tampan, memang. Foto-foto petualangannya di gunung dan pantai juga menarik. Tapi, ada sesuatu yang terasa hampa. Seperti melihat katalog, bukan melihat seseorang.

Aku memutuskan untuk keluar dari apartemen. Mungkin menghirup udara segar bisa menjernihkan pikiran. Aku berjalan menuju kedai kopi favoritku, "Binary Brew". Tempat itu tenang, nyaman, dan aroma kopinya selalu bisa membuatku rileks.

Di sana, aku melihatnya. Seorang pria duduk di sudut, fokus pada laptopnya. Rambutnya sedikit berantakan, kacamata bertengger di hidungnya, dan senyum tipis bermain di bibirnya saat mengetik. Dia terlihat... nyata. Tidak seperti profil-profil yang dipoles di "Soulmate 2.0".

Tanpa sadar, aku terus memperhatikannya. Dia sesekali menyesap kopinya, lalu kembali berkutat dengan kode di layarnya. Aku menebak dia seorang developer, sama sepertiku. Insting seorang coder, mungkin.

Aku memesan kopi latte dan mencari tempat duduk yang tidak jauh darinya. Aku mencoba mengalihkan perhatianku ke buku yang kubawa, tapi mataku terus mencuri pandang ke arahnya. Ada sesuatu yang menarik darinya, sesuatu yang tidak bisa dijelaskan oleh algoritma manapun.

Tiba-tiba, dia mendongak dan mata kami bertemu. Dia tersenyum ramah. "Hai," sapanya.

Jantungku berdegup kencang. "Hai," jawabku gugup.

"Sedang baca apa?" tanyanya.

"Buku tentang quantum computing," jawabku, sedikit malu. Aku tahu itu terdengar membosankan.

Dia tertawa kecil. "Kebetulan sekali, aku juga sedang mengerjakan proyek tentang itu."

Kami mulai mengobrol. Namanya Leo. Dia seorang freelance developer yang sedang mengembangkan aplikasi untuk membantu petani memprediksi cuaca. Obrolan kami mengalir begitu saja, dari quantum computing, kopi, hingga film favorit. Aku merasa seperti sudah mengenalnya sejak lama.

Tidak ada basa-basi klise, tidak ada pertanyaan yang dipaksakan. Semua terasa alami dan spontan. Aku menyadari bahwa inilah yang selama ini kurindukan: koneksi yang tulus, bukan hasil perhitungan algoritma.

"Soulmate 2.0" terus mengirimiku notifikasi tentang Arya. Tapi, aku mengabaikannya. Pikiranku hanya tertuju pada Leo.

Setelah beberapa jam, Leo melihat jam tangannya. "Wah, sudah larut. Aku harus pulang," katanya.

Aku merasa kecewa. Aku tidak ingin obrolan ini berakhir. "Aku juga," jawabku.

Saat kami berdiri, Leo ragu sejenak. "Mungkin... kita bisa bertemu lagi lain waktu?" tanyanya.

"Tentu saja," jawabku dengan senyum lebar.

Kami bertukar nomor telepon. Saat aku berjalan pulang, aku merasa ringan dan bahagia. Udara dingin tidak terasa lagi.

Beberapa hari kemudian, Leo mengajakku makan malam. Kami pergi ke sebuah restoran Italia kecil yang nyaman. Obrolan kami semakin mendalam. Kami berbicara tentang mimpi, ketakutan, dan harapan. Aku merasa semakin dekat dengannya.

Suatu malam, Leo mengajakku ke taman kota. Kami duduk di bangku, menikmati pemandangan kota yang gemerlap.

"Maya," kata Leo, menatapku dalam-dalam. "Aku menikmati waktu yang kuhabiskan bersamamu. Aku merasa... nyaman dan bahagia saat bersamamu."

Aku merasakan kehangatan menjalar di seluruh tubuhku. "Aku juga, Leo," jawabku.

Dia meraih tanganku. "Aku tahu ini mungkin terlalu cepat, tapi... aku ingin tahu, apakah kamu mau menjadi pacarku?"

Tanpa ragu, aku mengangguk. "Ya, Leo. Aku mau."

Kami berciuman di bawah langit malam. Ciuman itu terasa manis, hangat, dan penuh dengan harapan.

Aku akhirnya memutuskan untuk menghapus aplikasi "Soulmate 2.0". Aku tidak membutuhkannya lagi. Aku sudah menemukan cintaku, bukan melalui algoritma, tapi melalui pertemuan yang tidak disengaja, melalui obrolan yang tulus, dan melalui koneksi yang nyata.

Algoritma mungkin bisa membantu kita menemukan informasi, memesan makanan, atau bahkan merencanakan perjalanan. Tapi, cinta? Cinta tidak bisa dihitung, diprediksi, atau dipaksakan. Cinta adalah tentang perasaan, intuisi, dan keberanian untuk mengambil risiko. Cinta adalah tentang menemukan seseorang yang membuatmu merasa menjadi diri sendiri, seseorang yang membuatmu merasa lengkap. Dan aku telah menemukan orang itu, di kedai kopi "Binary Brew", jauh dari jangkauan algoritma. Notifikasi tentang Arya terus bermunculan, tetapi aku hanya tersenyum. Hatiku sudah menemukan rumahnya.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI