Deburan ombak digital menghantam pantai kesepiannya. Anya menatap nanar layar laptop, cahayanya memantul di mata cokelatnya yang sayu. Di dunia maya ini, ia dikenal sebagai Lyra, avatar elf berambut perak dengan senyum misterius. Di dunia nyata, ia hanyalah Anya, seorang pustakawan pemalu dengan segudang mimpi yang terpendam.
Lyra adalah bintang di "Nexus", sebuah platform realitas virtual yang menjadi pelarian banyak orang. Anya menyukai Nexus karena di sana, ia bisa menjadi siapa saja yang ia inginkan. Ia bisa melupakan pekerjaan yang membosankan, apartemen studio yang sempit, dan perasaan hampa yang selalu menggerogoti hatinya.
Di Nexus, ia bertemu dengan Orion, avatar seorang ksatria angkasa dengan aura karismatik yang memikat. Orion selalu tahu cara membuatnya tertawa, selalu hadir saat ia merasa sedih, dan selalu menyemangatinya untuk mengejar mimpinya. Mereka menjelajahi dunia virtual bersama, melawan monster digital, membangun kastil di awan, dan berbagi rahasia di bawah bintang-bintang simulasi.
Anya jatuh cinta pada Orion, atau setidaknya, pada apa yang ia percayai sebagai Orion. Ia tahu itu bodoh, mencintai avatar, sebuah konstruksi digital. Tapi, percakapan mereka terasa begitu nyata, begitu intim, seolah mereka sudah saling mengenal selama bertahun-tahun. Ia sering bertanya-tanya, siapakah sosok di balik avatar Orion?
"Aku merasa seperti mengenalmu seumur hidup, Lyra," kata Orion suatu malam, saat mereka duduk di tepi danau virtual yang berkilauan.
"Aku juga," jawab Anya, jantungnya berdebar kencang. Ia memberanikan diri bertanya, "Siapa kamu, di dunia nyata?"
Orion terdiam sejenak. "Itu tidak penting," jawabnya akhirnya. "Yang penting adalah kita di sini, bersama."
Anya kecewa. Ia ingin tahu lebih banyak tentang Orion, tentang kehidupan di baliknya. Ia ingin tahu apakah perasaan mereka berdua hanya ilusi yang diciptakan oleh kode dan algoritma.
Keesokan harinya, Anya menemukan fitur baru di Nexus: "Soulmate Algorithm". Fitur ini menjanjikan untuk mencocokkan pengguna dengan avatar yang paling kompatibel berdasarkan data perilaku, preferensi, dan interaksi mereka di platform. Awalnya, Anya ragu. Ia takut algoritma akan merusak keajaiban yang telah ia bangun dengan Orion. Tapi, rasa ingin tahunya mengalahkan ketakutannya.
Ia memasukkan profil Lyra ke dalam algoritma. Beberapa saat kemudian, layar laptopnya berkedip. Hasilnya muncul: "Kompatibilitas Tertinggi: Orion."
Anya tercengang. Ia tahu algoritma itu canggih, tapi ia tidak menyangka akan menemukan jawaban yang begitu jelas. Algoritma itu membuktikan apa yang sudah ia rasakan di dalam hatinya: mereka ditakdirkan untuk bersama.
Namun, algoritma juga menampilkan data tambahan: "Pengguna Orion terdaftar dengan nama: Kai. Lokasi: Sekitar 5 km dari lokasi Anda."
Jantung Anya berdegup kencang. Kai? Tinggal tidak jauh darinya? Apakah ini berarti mereka bisa bertemu di dunia nyata? Apakah ini berarti cinta virtualnya bisa menjadi kenyataan?
Anya menghabiskan sisa hari itu dengan perasaan campur aduk. Ia senang mengetahui identitas Orion, tapi ia juga takut. Ia takut Kai tidak akan seperti yang ia bayangkan. Ia takut ia akan kecewa.
Malam itu, Anya memasuki Nexus dengan hati berdebar-debar. Ia menemukan Orion di tempat biasa, di tepi danau virtual.
"Kai?" tanya Anya, suaranya bergetar.
Orion terdiam. Avatar ksatria angkasa itu tampak membeku.
"Bagaimana kamu tahu?" tanya Orion akhirnya, suaranya terdengar berbeda dari biasanya.
"Algoritma Soulmate," jawab Anya. "Aku tahu kamu tinggal tidak jauh dariku."
Orion menghela napas. "Aku seharusnya memberitahumu dari dulu," katanya. "Tapi, aku takut."
"Takut kenapa?" tanya Anya.
"Aku... aku tidak seperti yang kamu bayangkan," jawab Orion. "Aku bukan ksatria yang gagah berani. Aku hanya seorang programmer pemalu yang menghabiskan sebagian besar waktunya di depan komputer."
Anya tersenyum. "Aku juga bukan elf berambut perak," katanya. "Aku hanya seorang pustakawan pemalu yang menyukai buku."
Orion tertawa. "Jadi, kita sama-sama menyembunyikan diri di balik avatar?"
"Mungkin," jawab Anya. "Atau mungkin, avatar kita membantu kita menemukan diri kita yang sebenarnya."
Mereka berdua terdiam, saling menatap melalui avatar mereka. Untuk pertama kalinya, Anya merasa tidak perlu menyembunyikan diri. Ia merasa nyaman dengan dirinya apa adanya, dengan segala kekurangan dan ketakutan yang ia miliki.
"Mau bertemu?" tanya Anya.
Orion ragu-ragu sejenak. "Di dunia nyata?"
"Ya," jawab Anya. "Jika kamu mau."
Orion tersenyum. "Aku mau," katanya.
Keesokan harinya, Anya berdiri di depan sebuah kafe kecil, tidak jauh dari apartemennya. Ia gugup bukan main. Ia menggigit bibirnya dan mengusap-usap tangannya yang berkeringat.
Tiba-tiba, ia melihat seorang pria berjalan mendekat. Pria itu mengenakan kemeja kotak-kotak dan celana jeans. Rambutnya berantakan, dan ia memakai kacamata berbingkai tebal. Ia tampak canggung dan pemalu, tapi ada sesuatu di matanya yang familiar.
Pria itu berhenti di depannya dan tersenyum. "Anya?" tanyanya.
Anya mengangguk. "Kai?"
Kai mengulurkan tangannya. "Senang bertemu denganmu, Lyra."
Anya meraih tangannya. Sentuhan tangannya terasa hangat dan nyata. Untuk pertama kalinya, Anya merasa seperti ia benar-benar terhubung dengan Orion, dengan Kai.
Mereka duduk di kafe dan berbicara selama berjam-jam. Mereka berbicara tentang Nexus, tentang pekerjaan mereka, tentang mimpi mereka. Mereka menemukan bahwa mereka memiliki banyak kesamaan, bahkan lebih banyak dari yang mereka bayangkan.
Anya menyadari bahwa ia tidak jatuh cinta pada avatar Orion, tapi pada jiwa di baliknya. Ia jatuh cinta pada kecerdasan Kai, pada humornya, pada kebaikan hatinya.
Di balik avatar cinta, algoritma berbisik mesra. Algoritma itu memang membantu mereka menemukan satu sama lain, tapi yang membuat mereka tetap bersama adalah koneksi yang lebih dalam, koneksi yang melampaui kode dan piksel. Koneksi yang tulus, yang dibangun di atas kepercayaan, kejujuran, dan cinta.
Dan di kafe kecil itu, Anya dan Kai memulai babak baru dalam hidup mereka, babak yang penuh dengan kemungkinan, babak yang ditulis bukan oleh algoritma, tapi oleh hati mereka sendiri. Deburan ombak digital kini terasa menenangkan, bukan lagi menghantam kesepian. Cinta, yang dimulai di dunia maya, kini bersemi di dunia nyata.