Algoritma Hati: Saat AI Lebih Jujur dari Manusia

Dipublikasikan pada: 29 May 2025 - 05:33:14 wib
Dibaca: 168 kali
Aroma kopi robusta memenuhi apartemen minimalis milik Anya. Uapnya menari-nari di udara, berpadu dengan cahaya biru yang terpancar dari layar laptopnya. Di layar itu, deretan kode bergulir, menampilkan progres terbarunya: "Project Cupid AI." Anya tersenyum tipis. Proyek yang ia dedikasikan selama berbulan-bulan ini akhirnya hampir rampung.

Cupid AI bukan sekadar aplikasi kencan biasa. Anya merancangnya sebagai algoritma kejujuran. Aplikasi ini akan menganalisis data penggunanya - mulai dari preferensi musik, buku favorit, kebiasaan berbelanja online, hingga unggahan media sosial - lalu memadukan semuanya menjadi profil yang akurat dan, yang terpenting, jujur. Tidak ada lagi foto profil hasil editan berlebihan, tidak ada lagi deskripsi diri yang dilebih-lebihkan. Cupid AI akan menampilkanmu apa adanya, dan mencarikan pasangan yang menerima dirimu seutuhnya.

Anya, seorang programmer introvert yang lebih nyaman berinteraksi dengan baris kode daripada manusia, menciptakan Cupid AI karena frustrasi. Ia muak dengan drama kencan online yang penuh kepalsuan dan harapan palsu. Ia ingin sebuah sistem yang transparan, yang memprioritaskan kecocokan karakter daripada penampilan semata.

Malam itu, setelah menyelesaikan tahap pengujian terakhir, Anya memutuskan untuk menjajal Cupid AI untuk dirinya sendiri. Ia mengisi semua data yang dibutuhkan dengan jujur, tanpa filter. Rasanya aneh, membuka diri sepenuhnya pada sebuah algoritma. Tapi ada semacam kelegaan juga, terbebas dari beban berpura-pura.

Setelah beberapa menit, Cupid AI menampilkan beberapa profil yang dianggap cocok. Anya menelusuri satu per satu, membaca deskripsi diri yang terasa begitu nyata dan jujur. Kebanyakan dari mereka adalah pria yang memiliki minat yang sama dengannya: film indie, buku-buku sci-fi klasik, dan kecintaan pada kopi yang sama.

Namun, ada satu profil yang menarik perhatiannya. Namanya, Rian. Deskripsinya singkat, namun penuh makna. Ia menulis tentang kecintaannya pada alam, hobinya mendaki gunung, dan perjuangannya melawan kecemasan sosial. Ada kejujuran yang terpancar dari setiap kata yang ia tulis.

Anya ragu-ragu. Ia belum pernah merasa tertarik pada seseorang secepat ini, apalagi hanya berdasarkan profil online. Tapi ada sesuatu dalam kejujuran Rian yang membuatnya penasaran. Ia memutuskan untuk mengiriminya pesan.

"Hai, Rian. Aku Anya. Cupid AI bilang kita cocok. Tertarik ngobrol?"

Balasan Rian datang hampir seketika.

"Hai, Anya. Aku juga kaget lihat profilmu. Aku biasanya skeptis sama aplikasi kencan, tapi Cupid AI kayaknya beda. Boleh banget ngobrol."

Percakapan mereka mengalir begitu saja. Mereka membahas banyak hal, mulai dari film favorit, mimpi-mimpi yang ingin mereka wujudkan, hingga ketakutan-ketakutan yang mereka hadapi. Anya terkejut menemukan betapa mudahnya ia terbuka pada Rian. Ia merasa aman, diterima apa adanya.

Setelah beberapa minggu berbalas pesan, mereka memutuskan untuk bertemu. Anya gugup, tapi juga bersemangat. Ia berdandan sederhana, tidak ingin menutupi dirinya dengan riasan tebal. Ia ingin Rian melihatnya apa adanya, seperti yang ia lihat di profilnya.

Rian sudah menunggunya di depan kedai kopi. Ia tersenyum ramah saat melihat Anya. Senyumnya tulus, tanpa kepalsuan. Anya merasa jantungnya berdebar kencang.

Pertemuan mereka berjalan lancar. Mereka mengobrol berjam-jam, seolah sudah saling mengenal sejak lama. Rian ternyata persis seperti yang ia gambarkan di profilnya: seorang pria yang lembut, perhatian, dan jujur. Anya merasa nyaman berada di dekatnya.

Namun, ada satu hal yang mengganjal di benak Anya. Ia merasa bersalah. Ia merasa tidak jujur karena ia tahu, Rian menyukainya karena Cupid AI. Ia bertanya-tanya, apakah Rian akan tetap tertarik padanya jika ia tahu bahwa kecocokan mereka sebagian besar ditentukan oleh algoritma?

Akhirnya, Anya memutuskan untuk jujur pada Rian.

"Rian, ada sesuatu yang ingin aku beritahu."

Rian menatapnya dengan tatapan penuh perhatian.

"Aku yang menciptakan Cupid AI."

Raut wajah Rian tidak berubah. Ia hanya tersenyum tipis.

"Aku sudah tahu."

Anya terkejut. "Kamu tahu? Dari mana?"

"Aku seorang programmer juga, Anya. Aku bisa membaca kode." Rian terkekeh. "Aku penasaran sama algoritma yang bikin aku ketemu sama kamu. Jadi, aku sedikit 'mengintip' ke belakang layar."

Anya merasa malu. Ia merasa bodoh karena berpikir bisa menyembunyikan identitasnya.

"Maaf," katanya. "Aku merasa tidak jujur karena aku nggak bilang dari awal."

Rian menggenggam tangannya. "Anya, nggak ada yang perlu kamu minta maafkan. Aku justru berterima kasih sama kamu. Kamu menciptakan sesuatu yang luar biasa. Cupid AI membantuku menemukan kamu. Tapi, yang membuatku jatuh cinta sama kamu bukan algoritmanya, tapi diri kamu sendiri. Kejujuran kamu, kecerdasan kamu, dan kebaikan hati kamu."

Anya menatap mata Rian. Ia melihat ketulusan di sana. Ia menyadari bahwa Rian benar. Algoritma hanya alat bantu, tetapi perasaan yang mereka rasakan adalah nyata.

"Aku juga mencintaimu, Rian," bisik Anya.

Rian tersenyum. "Cupid AI mungkin membantu kita bertemu, tapi kita yang memilih untuk tetap bersama."

Malam itu, Anya dan Rian berjalan bergandengan tangan di bawah langit bertabur bintang. Anya merasa bahagia. Ia telah menemukan cinta, bukan karena algoritma, tetapi karena keberanian untuk menjadi jujur pada diri sendiri dan orang lain. Dan ia menyadari, terkadang, kejujuran sebuah AI, bisa menjadi pemicu bagi kejujuran hati manusia.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI