Cinta 40: Algoritma Hati vs Sentuhan Manusiawi?

Dipublikasikan pada: 29 May 2025 - 07:10:19 wib
Dibaca: 161 kali
Aplikasi kencan 'SoulMate' berdering nyaring di pergelangan tangan Anya. Notifikasi itu, seperti biasa, menjanjikan kompatibilitas 98% dengan seorang pria bernama Bayu. Anya menghela napas. 98%. Angka yang fantastis, tapi entah mengapa, tidak mampu mengalahkan perasaan hampa yang merayap di hatinya.

Di usia 40, Anya merasa seperti algoritma hidup. Karirnya sebagai data scientist di sebuah perusahaan teknologi ternama berjalan mulus. Ia fasih dengan bahasa pemrograman, piawai menganalisis tren pasar, dan mampu memprediksi perilaku konsumen dengan akurasi yang mencengangkan. Tapi urusan hati? Ibarat kode yang penuh bug, sulit dipecahkan dan selalu menghasilkan error.

Ia sudah mencoba segalanya. Kencan buta yang diatur sahabat, seminar personal development, bahkan retret spiritual di Bali. Semua percuma. Setiap kali bertemu pria baru, Anya tanpa sadar mulai menganalisis: Pekerjaannya? Stabil. Hobi? Sesuai minat. Nilai-nilai? Selaras dengan prinsipnya. Semuanya serba terukur, terstruktur, dan… membosankan.

Bayu, pria yang direkomendasikan SoulMate, tampak sempurna di atas kertas. Profilnya menyebutkan bahwa ia seorang arsitek, gemar mendaki gunung, dan memiliki selera humor yang tinggi. Anya mengirimkan pesan singkat, "Hai Bayu, Anya di sini. Tertarik ngobrol lebih lanjut?"

Bayu membalas hampir seketika. Obrolan mereka mengalir lancar. Mereka membahas arsitektur modern, jalur pendakian favorit, dan saling bertukar lelucon receh. Anya terkesan. Inilah yang selama ini ia cari: kecerdasan, petualangan, dan kemampuan untuk membuatnya tertawa.

Mereka memutuskan untuk bertemu di sebuah kedai kopi yang terletak di tengah kota. Anya memilih tempat itu karena suasananya yang tenang dan pencahayaannya yang hangat. Ia berharap bisa merasakan koneksi yang sesungguhnya, bukan sekadar simulasi data yang diproses oleh algoritma.

Ketika Bayu tiba, Anya terkejut. Foto profilnya jelas diambil beberapa tahun lalu. Di hadapannya berdiri seorang pria yang tampak lelah, dengan kerutan di sekitar mata dan rambut yang mulai menipis. Tapi, ada sesuatu yang memancar dari matanya: kebaikan dan ketulusan.

Obrolan mereka di dunia maya tidak sepenuhnya tercermin di dunia nyata. Ada jeda canggung, senyum yang dipaksakan, dan upaya mati-matian untuk menjaga percakapan tetap hidup. Anya menyadari, meskipun algoritma SoulMate mengatakan mereka kompatibel 98%, ada sesuatu yang hilang: chemistry.

Di tengah kebimbangan, Anya teringat nasihat dari sahabatnya, Rina. "Anya, cinta itu bukan soal angka atau statistik. Cinta itu soal perasaan. Soal getaran yang kamu rasakan ketika bertemu seseorang. Soal koneksi yang tidak bisa dijelaskan dengan logika."

Anya memutuskan untuk mengabaikan algoritma dan mengikuti kata hatinya. Ia bertanya pada Bayu tentang proyek arsitektur yang sedang ia kerjakan, tentang tantangan mendaki gunung di usia yang tidak lagi muda, dan tentang mimpi-mimpinya yang belum terwujud.

Bayu bercerita dengan antusias, matanya berbinar-binar. Ia menceritakan tentang bagaimana ia berusaha menciptakan ruang yang nyaman dan berkelanjutan, tentang bagaimana ia mengatasi rasa takut saat mendaki tebing curam, dan tentang mimpinya untuk membangun sekolah seni di sebuah desa terpencil.

Anya terpesona. Ia tidak lagi melihat pria yang tampak lelah di hadapannya. Ia melihat seorang pria yang bersemangat, berdedikasi, dan memiliki visi yang jelas tentang masa depan. Ia melihat seorang pria yang nyata.

Saat mereka berpisah, Bayu mengulurkan tangan. "Terima kasih untuk obrolannya, Anya. Saya sangat menikmatinya."

Anya meraih tangannya. Sentuhan itu sederhana, namun terasa hangat dan menenangkan. Ada aliran energi yang mengalir di antara mereka, sesuatu yang tidak bisa diukur oleh algoritma mana pun.

"Saya juga menikmatinya, Bayu," jawab Anya, tersenyum tulus.

Beberapa hari kemudian, Anya dan Bayu bertemu lagi. Kali ini, tidak ada ekspektasi yang berlebihan, tidak ada upaya untuk mencari kesempurnaan. Mereka hanya ingin menghabiskan waktu bersama, menikmati kebersamaan, dan mengenal satu sama lain lebih dalam.

Anya mulai melihat sisi lain dari dirinya. Ia tidak lagi terpaku pada data dan analisis. Ia mulai membuka diri terhadap kemungkinan-kemungkinan baru, terhadap kejutan-kejutan yang tak terduga. Ia mulai belajar untuk mempercayai intuisinya, untuk mengikuti kata hatinya.

Ia menyadari bahwa cinta bukan tentang menemukan orang yang sempurna, melainkan tentang menerima orang yang apa adanya. Cinta bukan tentang mencari kesamaan, melainkan tentang menghargai perbedaan. Cinta bukan tentang algoritma, melainkan tentang sentuhan manusiawi.

Aplikasi SoulMate masih berdering di pergelangan tangannya, menawarkan kompatibilitas dengan pria-pria lain. Tapi, Anya tidak lagi peduli. Ia telah menemukan apa yang selama ini ia cari, bukan di dunia maya, melainkan di dunia nyata. Ia telah menemukan cinta di usia 40, bukan melalui algoritma, melainkan melalui hati yang terbuka. Ia belajar bahwa terkadang, ketidaksempurnaan adalah yang membuat segala sesuatu menjadi indah dan bermakna. Dan terkadang, kesalahan perhitungan algoritma justru mengarahkannya pada kebenaran yang sejati.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI