Layar laptop memancarkan cahaya biru lembut ke wajah Anya. Jari-jarinya lincah menari di atas keyboard, baris demi baris kode Python tercipta di hadapannya. Di usianya yang baru menginjak 24 tahun, Anya sudah menjadi seorang data scientist yang disegani di perusahaannya, sebuah startup teknologi yang berfokus pada pengembangan aplikasi kencan. Ironis, pikirnya, ia membantu orang lain menemukan cinta, sementara dirinya sendiri terjebak dalam labirin angka dan algoritma.
Malam itu, Anya sedang menyempurnakan fitur terbaru aplikasi mereka: "Soulmate AI." Fitur ini menggunakan pembelajaran mesin untuk mencocokkan pengguna berdasarkan data kepribadian, minat, bahkan analisis pola kalimat yang mereka gunakan dalam percakapan. Anya bangga dengan pekerjaannya. Ia percaya bahwa algoritma yang tepat dapat mempersempit kemungkinan kegagalan dalam mencari pasangan, meminimalkan sakit hati, dan memaksimalkan kebahagiaan. Tapi di lubuk hatinya yang paling dalam, ia meragukan asumsi itu. Bisakah cinta sejati benar-benar dikuantifikasi?
Di tengah kesibukannya, sebuah notifikasi muncul di layar. Itu dari Kai, rekan kerjanya di tim UI/UX design. Kai adalah seorang seniman digital dengan rambut gondrong yang selalu diikat asal, mata cokelat yang berbinar-binar, dan senyum yang bisa meluluhkan es. Anya diam-diam mengaguminya. Ia selalu terpesona dengan cara Kai melihat dunia, dengan perspektifnya yang unik dan kemampuannya untuk menciptakan keindahan dari hal-hal sederhana.
"Anya, bisa bantu aku sebentar? Ada masalah dengan tampilan profile yang aku buat," tulis Kai dalam pesannya.
Anya segera beranjak dari kursinya dan menuju meja Kai. Aroma kopi hitam dan cat air menyambutnya. Kai menyambutnya dengan senyum lebar, memperlihatkan deretan giginya yang putih bersih.
"Makasih ya, Anya. Aku udah nyaris frustrasi dari tadi," kata Kai sambil menunjuk ke layar komputernya.
Anya melihat tampilan profil yang dimaksud. Desainnya indah, penuh warna, dan intuitif. Namun, ia menemukan sebuah bug kecil dalam responsivitasnya. Dengan cepat, ia memberikan solusi dan menjelaskan langkah-langkah perbaikannya.
"Wah, kamu hebat banget! Aku nggak ngerti sama sekali urusan kode-kodean ini," kata Kai dengan nada kagum.
Anya tersenyum malu. "Itu kan memang bidangku," jawabnya.
Saat mereka berdua membungkuk di depan layar, bahu mereka bersentuhan. Jantung Anya berdebar kencang. Ia merasakan sengatan listrik yang aneh menjalari tubuhnya. Ia buru-buru menjauhkan diri, merasa gugup dan salah tingkah.
"Ehm, ya udah. Kalau ada apa-apa lagi, kabarin aja ya," kata Anya, lalu bergegas kembali ke mejanya.
Sepanjang malam, Anya tidak bisa fokus bekerja. Bayangan Kai terus menghantuinya. Ia mencoba menganalisis perasaannya dengan logika seorang data scientist. Apakah ini hanya reaksi kimiawi dalam otak? Apakah ini hanya bentuk kekaguman profesional? Ataukah… ini cinta?
Ia membuka aplikasi kencan yang sedang ia kembangkan. Ia mencoba memasukkan datanya sendiri, berharap Soulmate AI akan memberikan jawaban. Hasilnya, algoritma tersebut mencocokkannya dengan… dirinya sendiri. Aplikasi itu menganggap Anya adalah pasangan ideal untuk Anya. Ironis sekali.
Anya tertawa getir. Algoritma, secerdas apa pun, tidak bisa memahami kompleksitas emosi manusia. Cinta bukan sekadar data dan statistik. Cinta adalah misteri, adalah kejutan, adalah sesuatu yang tidak bisa diprediksi.
Keesokan harinya, Anya memutuskan untuk mengambil risiko. Ia mengajak Kai makan siang bersama. Mereka berbicara tentang banyak hal, mulai dari film favorit hingga mimpi-mimpi masa depan. Anya merasakan kenyamanan yang luar biasa berada di dekat Kai. Ia merasa diterima apa adanya, dengan segala keanehan dan ketidaksempurnaannya.
Di akhir makan siang, Anya memberanikan diri untuk bertanya. "Kai, apa pendapatmu tentang aplikasi kencan? Apa menurutmu algoritma bisa menemukan cinta sejati?"
Kai berpikir sejenak sebelum menjawab. "Aku rasa, algoritma bisa membantu kita menemukan orang yang memiliki kesamaan dengan kita. Tapi cinta sejati, menurutku, adalah tentang koneksi yang lebih dalam, tentang bagaimana kita saling menerima dan mendukung, bahkan ketika kita berbeda pendapat. Cinta adalah tentang keberanian untuk membuka diri, untuk menjadi rentan, untuk menerima risiko sakit hati."
Jawaban Kai membuat Anya terdiam. Ia menyadari bahwa selama ini, ia terlalu fokus pada angka dan logika, sehingga melupakan esensi dari cinta itu sendiri.
"Lalu, bagaimana menurutmu cara menemukan cinta sejati?" tanya Anya, dengan nada penasaran.
Kai menatap Anya dengan tatapan yang lembut dan penuh arti. "Mungkin… dengan berani mengatakan apa yang kita rasakan," jawabnya, sambil menggenggam tangan Anya.
Jantung Anya berdebar lagi. Kali ini, bukan karena algoritma, melainkan karena keberanian Kai, karena kehangatan tangannya, karena tatapannya yang tulus. Ia menyadari bahwa selama ini, ia telah mencari cinta di tempat yang salah. Cinta bukan sesuatu yang bisa ditemukan di dalam aplikasi, melainkan sesuatu yang tumbuh di dalam hati, yang dipupuk dengan kejujuran dan keberanian.
Anya membalas genggaman tangan Kai. "Aku rasa… aku setuju denganmu," bisiknya.
Layar laptop di mejanya masih menyala, menampilkan barisan kode yang rumit. Namun, malam itu, Anya tidak lagi fokus pada algoritma. Ia lebih tertarik untuk memahami algoritma hatinya sendiri, algoritma yang berdebar kencang saat berada di dekat Kai. Dan ia tahu, inilah awal dari perjalanan yang panjang dan penuh petualangan, perjalanan untuk menemukan cinta sejati, cinta yang tidak bisa dikuantifikasi, cinta yang bersemi di dunia digital.