Hati yang Disintesis: Algoritma Mencari Makna Cinta

Dipublikasikan pada: 05 Sep 2025 - 00:00:14 wib
Dibaca: 129 kali
Hujan digital berjatuhan di layar apartemen Leo. Deretan kode binari menari-nari, memantulkan cahaya biru ke wajahnya yang lelah. Leo, seorang insinyur perangkat lunak jenius, sudah tiga hari tidak tidur, tenggelam dalam proyek ambisiusnya: menciptakan algoritma cinta. Bukan sekadar algoritma pencari pasangan yang dangkal, melainkan sebuah sistem yang benar-benar memahami emosi manusia dan mampu memprediksi kompatibilitas hati.

“Hampir selesai,” gumamnya, jemarinya menari lincah di atas keyboard. Di otaknya, logika dan perasaan beradu. Ia merancang jaringan saraf tiruan yang rumit, memasukkan jutaan data: riwayat kencan, analisis ekspresi wajah, pola komunikasi, bahkan gelombang otak. Tujuannya sederhana, namun terasa mustahil: mensintesis cinta.

Leo sendiri adalah korban dari ketidakberuntungan cinta. Semua hubungannya kandas di tengah jalan, ditinggalkan karena alasan yang tidak pernah ia pahami. Ia selalu gagal mengartikan sinyal-sinyal halus, bahasa tubuh, dan nada bicara yang tampaknya begitu mudah dipahami oleh orang lain. Maka, ia bertekad memecahkan kode cinta, mengubahnya menjadi persamaan matematis yang bisa diuraikan.

Akhirnya, setelah berjam-jam kerja keras, algoritma itu selesai. Ia menamainya "Eros 7.0." Dengan rasa gugup, Leo memasukkan datanya sendiri. Serangkaian pertanyaan muncul di layar: preferensi musik, buku favorit, mimpi terbesar, ketakutan tergelap. Kemudian, pertanyaan tentang nilai-nilai hidup, pandangan tentang masa depan, dan definisi kebahagiaan. Leo menjawab semuanya dengan jujur, berharap Eros 7.0 bisa memberikan jawaban yang ia cari selama ini.

Setelah beberapa menit, hasil analisis muncul. Sebuah nama: Anya.

Anya adalah seorang seniman digital yang bekerja di perusahaan yang sama dengan Leo. Ia sering melihatnya di kafetaria, duduk sendirian dengan tabletnya, menciptakan karya-karya surealis yang memukau. Leo selalu mengaguminya dari jauh, namun terlalu takut untuk mendekat. Anya tampak seperti makhluk dari dunia lain, terlalu kreatif dan bebas untuk seorang insinyur kaku seperti dirinya.

Eros 7.0 menyatakan bahwa Leo dan Anya memiliki kompatibilitas 97%. Leo tidak percaya. Itu terlalu sempurna. Ia curiga ada kesalahan dalam algoritmanya. Tapi, rasa penasaran mengalahkan keraguannya. Ia memutuskan untuk mengikuti saran algoritma itu.

Keesokan harinya, Leo memberanikan diri untuk menyapa Anya di kafetaria. Jantungnya berdebar kencang. Ia merasa canggung dan bodoh. Tapi, Anya tersenyum ramah dan menyapanya balik. Mereka mulai berbicara tentang seni digital, lalu beralih ke musik, dan akhirnya tentang mimpi-mimpi mereka. Leo terkejut betapa mudahnya percakapan itu mengalir. Ia merasa nyaman dan terbuka, sesuatu yang jarang ia rasakan sebelumnya.

Selama beberapa minggu berikutnya, Leo dan Anya semakin dekat. Mereka makan siang bersama, bekerja bersama dalam proyek kecil-kecilan, dan bahkan menonton film di apartemen Leo. Leo merasa bahagia. Ia merasa seperti menemukan kepingan yang hilang dalam dirinya. Ia mulai percaya bahwa Eros 7.0 benar. Ia mulai jatuh cinta pada Anya.

Namun, kebahagiaan itu tidak bertahan lama. Suatu malam, saat mereka sedang berjalan-jalan di taman kota, Anya bertanya tentang proyek yang sedang dikerjakan Leo. Dengan bangga, Leo menceritakan tentang Eros 7.0, algoritma cinta yang ia ciptakan.

Anya terdiam. Wajahnya yang tadinya cerah tiba-tiba menjadi dingin. "Jadi, kau memilihku berdasarkan algoritma?" tanyanya, suaranya bergetar.

Leo mencoba menjelaskan, berusaha meyakinkan Anya bahwa perasaannya tulus. Tapi, Anya tidak mau mendengarkan. Ia merasa seperti hanya menjadi eksperimen, sebuah variabel dalam persamaan cinta Leo.

"Aku tidak mau menjadi bagian dari algoritma," kata Anya, air mata mulai mengalir di pipinya. "Cinta itu bukan sesuatu yang bisa dihitung. Itu adalah perasaan yang tumbuh secara alami, tanpa paksaan."

Anya berbalik dan pergi, meninggalkan Leo yang terpaku di taman. Ia merasa hancur. Eros 7.0 ternyata tidak membawa kebahagiaan, melainkan kesedihan yang mendalam. Ia menyadari bahwa ia telah melakukan kesalahan besar. Ia mencoba memaksakan cinta, mengubahnya menjadi sesuatu yang mekanis dan tanpa makna.

Kembali ke apartemennya, Leo menghapus Eros 7.0. Ia membuang semua kode yang telah ia tulis dengan susah payah. Ia mengerti bahwa cinta tidak bisa disintesis. Cinta adalah misteri, sesuatu yang tidak bisa dipecahkan dengan logika atau algoritma.

Beberapa hari kemudian, Leo menemukan Anya di kafetaria. Ia memberanikan diri untuk mendekatinya. "Anya, maafkan aku," katanya dengan tulus. "Aku salah. Aku mencoba memaksakan cinta, dan aku merusak segalanya."

Anya menatap Leo dengan tatapan yang sulit diartikan. "Aku butuh waktu," jawabnya lirih. "Aku butuh waktu untuk memproses semuanya."

Leo mengerti. Ia tidak bisa memaksa Anya untuk memaafkannya. Ia harus menunggu. Ia harus membuktikan bahwa perasaannya tulus, bukan hasil dari algoritma.

Leo mulai mengubah dirinya. Ia berhenti terlalu fokus pada logika dan mulai belajar merasakan. Ia belajar mendengarkan, memperhatikan, dan memahami emosi orang lain. Ia mulai membuka hatinya, membiarkan dirinya menjadi rentan.

Beberapa bulan kemudian, Anya menghubungi Leo. Mereka bertemu di taman kota, tempat terakhir kali mereka bertemu. Anya tersenyum. "Aku sudah memaafkanmu," katanya. "Aku mengerti bahwa kau hanya mencoba mencari cinta dengan caramu sendiri."

Leo merasa lega. Ia menggenggam tangan Anya. "Aku belajar banyak dari kesalahan itu," katanya. "Aku belajar bahwa cinta bukan tentang menemukan kecocokan sempurna, melainkan tentang menerima ketidaksempurnaan satu sama lain."

Mereka berciuman di bawah langit senja. Kali ini, Leo tahu bahwa ciuman itu bukan hasil dari algoritma, melainkan dari hati yang telah belajar mencintai dengan tulus. Ia akhirnya mengerti bahwa makna cinta tidak bisa disintesis, melainkan ditemukan dalam proses yang panjang dan penuh tantangan. Dan terkadang, kegagalan dalam menciptakan sesuatu, justru mengajarkan kita arti sebenarnya dari apa yang kita cari. Hati yang disintesis, ternyata membutuhkan sentuhan manusia untuk benar-benar hidup.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI