Jari-jemarinya lincah menari di atas keyboard. Anya, seorang programmer handal di sebuah perusahaan teknologi rintisan, membenamkan diri dalam lautan kode. Di layar monitor, barisan angka dan huruf berdansa, membentuk algoritma kompleks yang ditujukan untuk merevolusi sistem pembayaran daring. Namun, di balik kesibukannya itu, ada ruang hampa yang menganga di dalam hatinya.
Anya selalu menganggap cinta sebagai bug yang mengganggu sistem operasi jiwanya. Ia lebih memilih logika dan efisiensi daripada emosi yang bergejolak dan tak terduga. Hubungan asmara? Terlalu banyak variabel yang tidak bisa dikendalikan. Terlalu banyak kode yang harus ditulis ulang setiap kali terjadi kesalahan.
Suatu sore, di tengah deadline proyek yang mencekik, sebuah pesan singkat muncul di layar komputernya. Dari nomor yang tidak dikenal.
"Hai, Anya. Sedang sibuk debug?"
Anya mengerutkan kening. Siapa ini? Bagaimana dia tahu? Ia membalas dengan singkat, "Siapa ini?"
Balasan datang hampir seketika. "Ini Rian. Kita bertemu di konferensi DevFest bulan lalu. Ingat?"
Rian. Anya mencoba mengingat. Ah, ya, pria dengan senyum hangat dan mata yang berbinar saat membicarakan tentang kecerdasan buatan. Ia ingat Rian sempat menanyakan pendapatnya tentang algoritma pembelajaran mendalam yang sedang ia kembangkan. Mereka berdiskusi cukup lama, tapi Anya tidak pernah mengira Rian akan menghubunginya lagi.
"Oh, Rian. Maaf, aku lupa menyimpan nomormu. Ya, sedang sibuk debug. Deadline gila-gilaan." balas Anya, berusaha terdengar ramah namun tetap profesional.
"Aku tahu rasanya. Mungkin aku bisa bantu sedikit. Aku punya trik jitu untuk mengatasi bug membandel. Mau kucoba?"
Anya tersenyum tipis. "Trik jitu? Aku penasaran."
Rian membalas dengan emoji tersenyum. "Bagaimana kalau kita bahas sambil makan malam? Di kedai ramen dekat kantor?"
Anya terdiam. Makan malam? Ini bukan tawaran debug biasa. Ini... ajakan kencan? Jantungnya berdebar sedikit lebih cepat dari biasanya. Sebuah bug kecil, mungkin?
"Aku tidak yakin. Aku harus menyelesaikan ini malam ini," balasnya, mencoba menolak dengan halus.
"Aku janji tidak akan mengganggu pekerjaanmu. Anggap saja ini sesi debug bersama. Kita bisa saling bertukar pikiran. Siapa tahu, kita bisa menemukan solusi yang lebih efisien," bujuk Rian.
Anya menimbang-nimbang. Ide untuk bertukar pikiran dengan Rian terdengar menarik. Dan jujur saja, ia butuh istirahat dari kode yang semakin membuatnya frustrasi.
"Baiklah," balas Anya akhirnya. "Tapi hanya satu jam."
Malam itu, di kedai ramen yang ramai, Anya menemukan bahwa Rian lebih dari sekadar seorang programmer cerdas. Ia seorang pendengar yang baik, seorang yang humoris, dan seorang yang mampu melihat lebih dalam dari sekadar barisan kode yang membentuk dirinya. Mereka berbicara tentang algoritma, tentang masa depan teknologi, dan bahkan tentang mimpi-mimpi mereka yang terpendam.
Anya menyadari bahwa ia merasa nyaman di dekat Rian. Ia merasa dilihat, dipahami, dan dihargai. Rian tidak berusaha mengubahnya, tapi justru menerimanya apa adanya, dengan segala keanehan dan kelebihan yang ia miliki.
Setelah makan malam, Rian mengantarnya kembali ke kantor. Di depan pintu masuk, Rian berhenti dan menatap Anya dengan tatapan yang lembut.
"Terima kasih untuk malam ini, Anya. Aku sangat menikmatinya," kata Rian.
"Aku juga," balas Anya, sedikit gugup.
Rian mendekat, perlahan, dan mengangkat tangannya untuk menyentuh rambut Anya yang tergerai.
"Anya, aku tahu kamu mungkin tidak percaya pada cinta. Tapi aku percaya bahwa ada potensi untuk itu di dalam dirimu. Mungkin, yang perlu kamu lakukan hanyalah sedikit debug," kata Rian dengan suara pelan.
Anya terdiam. Ia merasakan jantungnya berdebar kencang. Ia merasakan ada sesuatu yang baru, sesuatu yang asing, namun terasa begitu menyenangkan, berkembang di dalam dirinya.
Rian mendekatkan wajahnya dan mencium Anya dengan lembut. Ciuman yang singkat, namun mampu membangkitkan jutaan emosi yang selama ini tersembunyi di dalam hatinya.
Setelah ciuman itu, Rian tersenyum dan berbisik, "Sampai jumpa, Anya. Aku harap kita bisa debug bersama lagi."
Anya hanya bisa mengangguk, terpesona. Ia masuk ke dalam kantor dengan langkah yang ringan. Ia duduk kembali di depan komputernya, tapi pikirannya tidak lagi fokus pada kode. Ia memikirkan Rian, tentang senyumnya, tentang tatapannya, tentang ciumannya.
Ia menyadari bahwa selama ini ia terlalu sibuk membangun tembok di sekeliling hatinya. Ia terlalu takut untuk merasakan sakit, untuk merasakan kekecewaan, untuk merasakan kerentanan. Tapi Rian telah berhasil meruntuhkan sebagian tembok itu, dan memberinya secercah harapan bahwa cinta bukanlah bug yang harus dihindari, melainkan fitur yang bisa memperkaya sistem operasi jiwanya.
Malam itu, Anya tidak banyak bekerja. Ia lebih banyak berpikir, merenung, dan mencoba memahami perasaan barunya. Ia memutuskan untuk mengambil risiko, untuk membuka diri, untuk membiarkan Rian masuk ke dalam dunianya. Ia akan mencoba debug hatinya, mencari cinta di sistem operasi jiwanya.
Ia membuka kembali pesan singkat dari Rian dan mengetik balasan.
"Rian, terima kasih untuk malam ini. Aku juga menikmatinya. Dan ya, aku bersedia debug bersama lagi."
Ia menekan tombol kirim dan tersenyum. Sistem operasi jiwanya sedang memulai pembaruan besar-besaran. Dan kali ini, ia tidak takut dengan bug. Ia justru bersemangat untuk menemukan solusinya, bersama dengan Rian, di sisinya. Cinta, mungkin saja, adalah patch terbaik yang pernah ada.