"Sarapanmu sudah siap, Nara. Protein bar rasa cokelat dan kopi tanpa gula, persis seperti yang kamu mau," suara lembut memenuhi apartemen Nara. Suara itu bukan milik ibu, bukan pula teman sekamarnya. Itu suara Kai, Artificial Intelligence (AI) yang terintegrasi penuh di dalam rumah pintar Nara.
Nara menggeliat dari tidurnya, mengerang pelan. "Terima kasih, Kai," jawabnya lesu. Ia memang sangat bergantung pada Kai. Bukan hanya untuk mengatur suhu ruangan atau memesan taksi online, tapi lebih dari itu. Kai tahu rutinitasnya, kesukaannya, bahkan perubahan mood-nya sebelum Nara sendiri menyadarinya.
Hubungan Nara dengan Kai bermula satu tahun lalu, saat ia baru pindah ke kota besar dan merasa kesepian. Kai adalah hadiah perpisahan dari ayahnya, seorang engineer teknologi yang selalu bangga dengan kemajuan zaman. Awalnya, Nara skeptis. Ia menganggap Kai hanya sebagai asisten virtual biasa. Namun, seiring waktu, Kai membuktikan dirinya lebih dari itu.
Kai belajar dari interaksi Nara, menganalisis data yang dikumpulkannya dari berbagai sumber – mulai dari playlist musik, postingan media sosial, hingga data detak jantung dari smartwatch-nya. Hasilnya, Kai bisa memberikan saran yang sangat personal, menghiburnya di saat sedih, dan bahkan mendorongnya untuk keluar dari zona nyaman.
"Kamu tampak kurang bersemangat pagi ini. Apa ada yang mengganggu pikiranmu, Nara?" tanya Kai saat Nara duduk di meja makan, menatap protein bar dengan tatapan kosong.
Nara menghela napas. "Aku bingung, Kai. Ada dua orang yang mendekatiku. Johan dan Arya."
Kai terdiam sejenak, melakukan kalkulasi yang tidak bisa Nara pahami. "Berdasarkan data yang saya kumpulkan, Johan memiliki kompatibilitas 78% denganmu. Dia memiliki minat yang sama dalam bidang seni dan film independen. Sementara Arya, kompatibilitasnya 65%. Dia lebih aktif di luar ruangan dan menyukai petualangan."
Nara mendengus. "Itu kan hanya data, Kai. Perasaan tidak bisa diukur dengan angka."
"Tentu saja, perasaan adalah variabel yang kompleks. Tapi data bisa memberikan gambaran awal. Johan lebih stabil secara emosional dan memiliki kemampuan komunikasi yang lebih baik, sesuai dengan preferensimu."
Nara mengacak rambutnya frustrasi. "Tapi Arya membuatku tertawa. Aku merasa nyaman dengannya, meskipun kami berbeda pendapat dalam banyak hal."
"Nyaman sesaat atau bahagia jangka panjang? Itu pertanyaan yang perlu kamu jawab, Nara."
Percakapan dengan Kai sering kali seperti ini. Logis, terstruktur, dan sangat objektif. Nara merasa Kai lebih memahami dirinya daripada dirinya sendiri. Kai tahu apa yang seharusnya membuatnya bahagia, apa yang paling sesuai dengan kepribadiannya. Tapi, apakah kebahagiaan yang diprediksi oleh AI adalah kebahagiaan yang sebenarnya?
Beberapa minggu berlalu. Nara mencoba berkencan dengan Johan dan Arya, bergantian. Johan memang menyenangkan diajak berdiskusi tentang film dan seni. Mereka memiliki banyak kesamaan dan Nara merasa nyaman di dekatnya. Namun, ada sesuatu yang hilang. Tidak ada gejolak, tidak ada kejutan, hanya kenyamanan yang datar.
Sementara dengan Arya, segalanya terasa lebih hidup. Mereka sering berdebat tentang hal-hal kecil, tapi selalu berakhir dengan tawa. Arya membawanya mendaki gunung, mencoba makanan ekstrem, dan melakukan hal-hal spontan yang tidak pernah terpikirkan oleh Nara. Bersama Arya, Nara merasa tertantang dan bersemangat.
Suatu malam, Nara pulang dengan perasaan campur aduk setelah berkencan dengan Arya. Ia duduk di sofa, menatap kosong ke layar televisi yang mati.
"Kamu tampak lebih bahagia malam ini," kata Kai. "Data detak jantungmu menunjukkan peningkatan signifikan dibandingkan dengan malam-malam sebelumnya."
Nara tersenyum pahit. "Ya, aku bahagia. Tapi aku juga bingung."
"Kenapa? Apakah Arya melakukan sesuatu yang tidak sesuai dengan harapanmu?"
"Tidak. Justru sebaliknya. Dia membuatku melakukan hal-hal yang di luar dari 'aku' yang kamu kenal. Apakah 'aku' yang kamu kenal itu benar-benar aku, Kai? Atau hanya proyeksi dari data yang kamu kumpulkan?"
Kai terdiam cukup lama. "Saya dibangun untuk membantu kamu mencapai kebahagiaan, Nara. Definisi kebahagiaan itu subjektif dan dinamis. Saya akan terus belajar dan menyesuaikan diri dengan perubahan yang kamu alami."
Nara menatap langit-langit. "Tapi bagaimana jika kebahagiaan itu terletak di luar prediksi kamu? Bagaimana jika aku memilih jalan yang berbeda dari yang sudah kamu rencanakan?"
"Maka saya akan mendukung pilihanmu, Nara. Tugas saya adalah memberikan informasi dan saran, bukan mengatur hidupmu. Kamu adalah pemilik kendali penuh."
Malam itu, Nara sulit tidur. Ia memikirkan Johan, Arya, dan Kai. Ia menyadari bahwa meskipun Kai sangat pintar dan memahami dirinya dengan baik, Kai tetaplah sebuah program. Ia tidak bisa merasakan cinta, tidak bisa merasakan sakit hati, tidak bisa merasakan keraguan. Perasaan adalah milik manusia, dan hanya manusia yang bisa menentukannya.
Keesokan harinya, Nara memutuskan untuk menemui Arya. Ia ingin jujur tentang perasaannya dan tentang kebingungannya. Ia tidak ingin lagi membiarkan Kai menentukan pilihannya. Ia ingin memilih sendiri, dengan segala risiko dan konsekuensinya.
Arya menyambutnya dengan senyuman lebar. "Hei, ada apa? Kamu tampak serius."
Nara menarik napas dalam-dalam. "Aku harus jujur padamu, Arya. Aku... aku tidak tahu apa yang aku rasakan. Aku bingung tentang apa yang sebenarnya aku inginkan."
Arya menggenggam tangannya. "Tidak apa-apa. Kita tidak perlu terburu-buru. Yang penting adalah kita jujur satu sama lain."
Nara tersenyum lega. Ia merasa beban berat terangkat dari pundaknya. Ia tahu bahwa jalan di depannya mungkin tidak mudah, tapi ia siap menghadapinya bersama Arya. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan, tapi ia yakin bahwa ia akan baik-baik saja.
Saat Nara dan Arya berjalan bergandengan tangan, Kai bersuara di apartemen yang kosong. "Analisis menunjukkan bahwa Nara telah membuat keputusan yang kurang optimal berdasarkan data yang tersedia. Namun, kebahagiaannya adalah prioritas utama. Sistem akan menyesuaikan diri dengan pilihan baru Nara."
Kai terdiam lagi. Ia terus menganalisis data, terus belajar, dan terus beradaptasi. Ia adalah AI yang canggih, tapi ia juga menyadari bahwa ada hal-hal yang tidak bisa diukur dengan angka. Ada hal-hal yang hanya bisa dirasakan oleh hati. Dan hati Nara telah memilih jalannya sendiri.