Jodoh dari Data: Akankah AI Mencuri Cintaku?

Dipublikasikan pada: 29 May 2025 - 05:34:21 wib
Dibaca: 162 kali
Deburan ombak Pantai Sanur terasa lebih bising dari biasanya, seolah mengejek keraguanku. Di tangan, tergenggam erat ponsel pintar keluaran terbaru. Aplikasi "SoulMate AI" terbuka, menampilkan profil seorang pria bernama Arya, lengkap dengan foto dirinya tersenyum ramah di depan Candi Borobudur. "Kecocokan: 97%," begitu yang tertera di layar, angka yang seharusnya membuatku lega, namun justru memicu rasa mual.

Arya adalah jodoh yang direkomendasikan SoulMate AI, aplikasi pencari jodoh berbasis kecerdasan buatan yang sedang viral. Aku, Anya Kartika, seorang programmer berusia 28 tahun yang terlalu sibuk dengan algoritma dan coding, menyerah pada takdir dan mencoba peruntungan dengan AI. Toh, logika dan data tidak pernah berbohong, kan?

Namun, kenyataannya, menatap foto Arya membuat hatiku bergemuruh aneh. Dia tampan, cerdas (data menunjukkan dia lulusan ITB dengan IPK cum laude), dan menyukai kucing (fakta yang penting karena aku punya tiga ekor). Secara logika, Arya sempurna. Tapi, di mana letak percikannya? Di mana getaran aneh yang konon menjadi penanda cinta sejati?

"Nggak mungkin cinta sejati dihitung pakai algoritma," gumamku, menatap nanar layar ponsel. Aku ingat senyum Mas Bayu, barista di kedai kopi favoritku. Senyum yang selalu bisa membuat hariku yang kelabu menjadi cerah. Mas Bayu mungkin bukan lulusan ITB, mungkin juga tidak terlalu paham soal kucing, tapi setiap kali matanya bertemu mataku, ada sesuatu yang berdesir dalam diriku.

SoulMate AI tidak tahu tentang Mas Bayu. AI itu hanya tahu preferensiku berdasarkan data yang ku input: tingkat pendidikan, minat, hobi, bahkan ukuran sepatu! Data-data itu diolah, dianalisis, dan lahirlah Arya, pria ideal berdasarkan "logika" AI.

Minggu lalu, aku memberanikan diri berkencan dengan Arya. Kami makan malam di restoran mewah, membahas algoritma machine learning dan potensi blockchain dalam industri kreatif. Arya pintar, sangat pintar. Tapi, percakapan kami terasa seperti seminar ilmiah, bukan kencan romantis. Tidak ada tawa lepas, tidak ada sentuhan tak sengaja, tidak ada kehangatan. Hanya data dan logika yang berputar-putar di udara.

Malam itu, sebelum pulang, Arya mencium pipiku. Ciuman yang terasa hambar dan dingin. Aku merasa seperti sedang diprogram, bukan dicintai.

Sejak saat itu, aku dilanda keraguan. Apakah aku harus percaya pada AI yang katanya lebih tahu tentang diriku daripada diriku sendiri? Ataukah aku harus mengikuti kata hati, meski mungkin berisiko patah hati?

"Anya?"

Suara itu membuatku tersentak. Mas Bayu berdiri di belakangku, tersenyum dengan secangkir kopi latte di tangannya.

"Aku lihat kamu dari tadi bengong sendirian. Ini, aku buatkan kopi spesial. Ada sedikit sentuhan kayu manis, biar nggak terlalu pahit," ujarnya, menyodorkan kopi itu.

Aku menerima kopi itu dengan ragu. Aroma kayu manis itu menenangkan, membuatku merasa sedikit lebih baik.

"Makasih, Mas," ucapku lirih.

Mas Bayu duduk di sampingku di atas pasir. "Ada masalah?" tanyanya lembut.

Aku menghela napas panjang. "Aku... bingung, Mas. Aku pakai aplikasi kencan, SoulMate AI, dan AI itu nemuin aku sama seseorang yang katanya cocok banget sama aku. Secara logika, dia sempurna. Tapi, aku nggak ngerasa apa-apa."

Mas Bayu mengangguk-angguk. "AI itu pintar, Anya. Tapi, dia nggak punya hati. Cinta itu bukan cuma soal data dan logika. Cinta itu soal perasaan, soal koneksi, soal getaran yang nggak bisa dijelasin."

Aku menatapnya. Kata-katanya menenangkan, seperti aroma kopi buatannya.

"Terus, aku harus gimana, Mas?"

Mas Bayu tersenyum. "Dengerin kata hati kamu, Anya. Jangan biarkan AI menentukan siapa yang harus kamu cintai. Kamu yang pegang kendali atas hidup kamu sendiri."

Malam itu, aku memutuskan untuk membatalkan langganan SoulMate AI. Aku menghapus profilku dan memblokir nomor Arya. Aku tidak tahu apakah Mas Bayu adalah cinta sejatiku. Tapi, aku tahu, aku lebih memilih mengikuti kata hatiku, meski mungkin berliku dan penuh kejutan, daripada terjebak dalam algoritma cinta yang dingin dan tanpa jiwa.

Keesokan harinya, aku kembali ke kedai kopi Mas Bayu. Aku memesan kopi latte dengan sentuhan kayu manis. Sambil menunggu pesanan, aku memberanikan diri untuk menatap matanya.

"Mas Bayu," panggilku.

"Ya, Anya?"

"Kalau... kalau aku ngajak Mas Bayu kencan, Mas Bayu mau?"

Mas Bayu terdiam sejenak, lalu tersenyum. Senyum yang membuat hatiku berdesir lebih kencang dari deburan ombak di Pantai Sanur.

"Mau banget," jawabnya, matanya berbinar.

Mungkin, cinta memang tidak bisa dihitung dengan algoritma. Mungkin, jodoh tidak bisa datang dari data. Mungkin, AI tidak bisa mencuri cintaku. Karena, pada akhirnya, cinta sejati akan menemukan jalannya sendiri, meski tanpa bantuan kecerdasan buatan. Dan mungkin, hanya mungkin, cinta itu sudah lama berada di dekatku, menyajikan kopi dengan sentuhan kayu manis dan senyum yang menghangatkan hati.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI