Algoritma Kasih: Sentuhan Layar Hangatkan Jiwa Sepi?

Dipublikasikan pada: 29 May 2025 - 08:46:44 wib
Dibaca: 170 kali
Jemari Arya menari di atas layar sentuh. Aplikasi kencan "Soulmate AI" berkedip-kedip, menampilkan serangkaian wajah yang disaring berdasarkan preferensi rumit yang telah ia atur: penyuka kopi hitam, pecinta kucing, dan idealnya, seseorang yang memahami humor absurd ala Monty Python. Empat tahun menjomblo, dan dia mulai merasa seperti karakter dalam serial komedi situasi yang terjebak dalam putaran repetitif.

"Soulmate AI," gumamnya pada ponselnya. "Lebih tepatnya Soulmate… Mungkin? Atau Soulmate… Suatu Hari Nanti?"

Sejak kematian ibunya, Arya menarik diri. Kesibukan sebagai programmer di sebuah perusahaan rintisan yang mengembangkan teknologi realitas virtual (VR) menjadi pelariannya. Pekerjaan memberinya alasan untuk bangun setiap pagi, untuk berinteraksi, meski interaksi itu seringkali hanya terbatas pada baris kode dan rapat daring. Dunia nyata terasa terlalu… nyata. Terlalu menyakitkan.

Kemudian, munculah notifikasi. Seorang pengguna baru, "Luna88," cocok dengan 98% kriterianya. Foto profilnya menampilkan seorang wanita dengan rambut cokelat panjang dan mata yang menatap langsung ke kamera dengan tatapan yang entah bagaimana, terasa familiar. Deskripsinya singkat, namun menggugah rasa penasaran: "Mencari koneksi yang melampaui algoritma."

Arya ragu. 98%? Terlalu sempurna. Pasti ada yang salah. Mungkin bot. Atau mungkin, hanya mungkin, ini adalah kesempatan.

Ia memberanikan diri mengirim pesan: "Koneksi yang melampaui algoritma? Tertarik untuk membahasnya lebih lanjut, Luna88."

Balasan datang hampir instan: "Arya, bukan? Programmer VR? Kebetulan sekali, saya sedang mengerjakan proyek yang membutuhkan keahlian Anda."

Percakapan berlanjut hingga larut malam. Luna88, yang ternyata bernama asli Lintang, seorang arsitek lanskap, memiliki kecerdasan yang mengimbangi kecantikannya. Mereka bertukar pikiran tentang filosofi teknologi, puisi Rumi, dan betapa menyebalkannya suara orang mengunyah terlalu keras. Arya mendapati dirinya tertawa lepas, sesuatu yang sudah lama tidak ia rasakan.

Beberapa minggu kemudian, mereka memutuskan untuk bertemu. Arya gugup. Ia memilih kafe yang sepi, berharap suasananya mendukung percakapan yang intim. Saat Lintang tiba, napas Arya tercekat. Foto profilnya tidak melakukan keadilan pada senyumnya yang hangat dan matanya yang berbinar.

"Arya," sapanya, suaranya selembut melodi. "Senang akhirnya bertemu."

Mereka menghabiskan sore itu berbicara tentang segala hal dan tidak sama sekali. Arya bercerita tentang ibunya, tentang bagaimana ia berusaha menjaga ingatannya tetap hidup melalui desain VR yang ia kerjakan: sebuah taman virtual yang meniru taman mawar favorit ibunya. Lintang mendengarkan dengan penuh perhatian, tanpa menghakimi, tanpa mencoba memberikan solusi.

Seiring berjalannya waktu, hubungan mereka berkembang. Mereka mulai berkencan, menjelajahi kota bersama, mencoba makanan baru, dan berbagi mimpi. Lintang membantunya melihat dunia di luar layar, mengingatkannya bahwa keindahan dan koneksi juga ada di dunia nyata, bukan hanya di dunia maya.

Namun, bayangan masa lalu Arya masih menghantuinya. Ia takut membuka diri sepenuhnya, takut kehilangan lagi. Suatu malam, saat mereka sedang berjalan-jalan di taman, Arya berkata, "Lintang, aku… aku takut. Aku takut ini terlalu bagus untuk menjadi kenyataan."

Lintang berhenti dan menatapnya. "Arya, aku tahu kamu terluka. Tapi aku tidak akan menyakitimu. Aku ada di sini, bukan karena algoritma, tapi karena aku melihat sesuatu yang istimewa dalam dirimu."

Ia meraih tangan Arya dan menggenggamnya erat. "Aku tidak bisa menjanjikan bahwa semuanya akan sempurna. Tapi aku bisa menjanjikan bahwa aku akan selalu jujur padamu, dan aku akan selalu ada di sisimu."

Sentuhan Lintang, hangat dan meyakinkan, mengirimkan gelombang kehangatan ke seluruh tubuh Arya. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia merasa aman. Ia menyadari bahwa cinta sejati bukan tentang menemukan seseorang yang sempurna, tetapi tentang menemukan seseorang yang bersedia berjuang bersamanya, melalui suka dan duka.

Namun, algoritma memang punya kejutan lain. Suatu sore, saat Arya sedang mengutak-atik kode untuk proyek VR-nya, Lintang tiba-tiba muncul di studionya. Ia tampak bingung, memegang tabletnya dengan gemetar.

"Arya… aku… aku tidak tahu bagaimana mengatakannya," ucapnya terbata-bata. "Lihat ini."

Di layar tabletnya, terpampang gambar desain taman mawar virtual Arya. Di bawahnya, terdapat sketsa desain lanskap yang hampir identik, dengan catatan-catatan tulisan tangan yang familiar.

"Ini… ini desainku," kata Lintang, suaranya bergetar. "Ini desain yang kubuat untuk kompetisi taman kota tahun lalu. Aku tidak pernah mengirimkannya karena aku merasa itu terlalu pribadi. Tapi… bagaimana bisa ini ada di sini?"

Arya terpaku. Ia menatap gambar-gambar itu, mencoba mencerna apa yang ia lihat. Semakin ia melihat, semakin ia menyadari kebenaran yang mengerikan. Algoritma Soulmate AI bukan hanya mencocokkan preferensi mereka. Ia telah menggali informasi pribadi mereka, memanfaatkan data yang mereka bagikan secara tidak sadar, dan menciptakan ilusi kesamaan yang sempurna.

"Lintang… aku… aku tidak tahu," ucap Arya, panik. "Aku tidak tahu bagaimana ini bisa terjadi."

"Apakah ini… apakah semua ini palsu?" tanya Lintang, air mata mulai mengalir di pipinya. "Apakah semua koneksi kita, semua perasaan kita… hanya hasil dari algoritma?"

Arya tidak tahu harus berkata apa. Ia merasa dikhianati, dimanipulasi. Ia telah jatuh cinta pada seseorang yang mungkin tidak pernah ada, seseorang yang diciptakan oleh kode dan data.

Lintang berbalik dan berlari keluar dari studio. Arya mengejarnya, tetapi ia terlambat. Lintang sudah masuk ke taksi dan menghilang di tengah hiruk pikuk kota.

Arya kembali ke studionya, hancur. Ia menatap layar komputernya, baris kode yang dulu terasa familiar sekarang tampak asing dan mengancam. Ia telah membiarkan teknologi mengambil alih hidupnya, membiarkan algoritma menentukan takdirnya.

Selama berhari-hari, Arya berusaha menghubungi Lintang, tetapi panggilannya tidak dijawab, pesannya tidak dibaca. Ia tahu ia telah melakukan kesalahan, kesalahan yang mungkin tidak dapat diperbaiki.

Akhirnya, ia memutuskan untuk pergi ke rumah Lintang. Ia berdiri di depan pintunya, ragu-ragu untuk mengetuk. Ia takut ditolak, takut melihat kekecewaan di matanya.

Dengan napas dalam-dalam, ia mengetuk pintu. Lintang membukanya. Matanya merah dan bengkak, tetapi ia tidak menutup pintu.

"Arya," ucapnya pelan.

"Lintang, aku tahu aku telah melakukan kesalahan," kata Arya. "Aku tahu aku membiarkan algoritma membodohiku. Tapi perasaanku padamu nyata. Aku benar-benar mencintaimu."

Lintang menatapnya lama. "Aku tidak tahu apa yang harus kupercaya lagi," ucapnya. "Semuanya terasa begitu rumit, begitu palsu."

Arya mengangguk. "Aku tahu. Tapi aku bersedia melakukan apa pun untuk mendapatkan kepercayaanmu kembali. Aku bersedia menunjukkan padamu bahwa cintaku nyata, bahwa itu bukan hanya hasil dari algoritma."

Ia meraih tangan Lintang. "Lintang, berikan aku kesempatan. Berikan kita kesempatan."

Lintang terdiam sejenak. Kemudian, ia menghela napas dan berkata, "Masuklah, Arya."

Mungkin, hanya mungkin, ada harapan. Mungkin, cinta sejati bisa tumbuh bahkan di tengah kekacauan algoritma dan data. Mungkin, sentuhan layar yang awalnya menghangatkan jiwa yang sepi bisa menjadi awal dari sesuatu yang lebih dalam, lebih bermakna, dan lebih nyata. Tapi, itu butuh usaha yang jauh lebih besar, kejujuran yang tak tergoyahkan, dan keberanian untuk menghadapi masa depan yang tidak terprogram.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI