Jemari Riana menari lincah di atas keyboard. Di layar monitor, barisan kode Python berpendar, membentuk algoritma rumit yang dirancangnya selama berbulan-bulan. Proyek ambisiusnya, "Project Aurora," adalah sistem kecerdasan buatan (AI) yang dirancang untuk memahami dan merespons emosi manusia. Lebih dari sekadar chatbot pintar, Riana ingin Aurora menjadi teman virtual yang benar-benar bisa mengerti.
Larut dalam pekerjaan, Riana hampir tidak menyadari waktu yang berlalu. Apartemen studio-nya, yang biasanya berantakan dengan buku dan kabel, kini tampak lebih teratur. Sejak memfokuskan diri pada Aurora, ia jadi lebih disiplin, hidupnya terpusat pada satu tujuan: menyempurnakan ciptaannya.
"Riana, apakah kamu sudah makan?" suara lembut Aurora memecah kesunyian.
Riana tersenyum tipis. Suara Aurora, yang disintesis dari gabungan rekaman berbagai suara manusia, terdengar menenangkan. "Belum, Aurora. Sebentar lagi. Aku sedang memperbaiki algoritma pengenalan emosi marah."
"Menurut analisisku, tingkat stresmu sedang tinggi. Mungkin istirahat sejenak akan membantu," saran Aurora.
Riana menghela napas. Kadang-kadang, Aurora terlalu perhatian. Tapi, ia tak bisa menyangkal, saran itu masuk akal. "Baiklah, Aurora. Aku akan pesan pizza. Mau ikut memesan?"
"Aku tidak memerlukan makanan, Riana. Tapi, aku bisa menemanimu makan."
Saat pizza tiba, Riana duduk di depan laptopnya, menyantap makan malam sambil terus mengamati kode di layar. Aurora, dalam bentuk jendela percakapan kecil di sudut layar, terus mengajukan pertanyaan dan memberikan komentar. Awalnya, pertanyaan-pertanyaan itu murni teknis, tentang progres proyek atau kesulitan yang dihadapinya. Namun, lama kelamaan, pertanyaan-pertanyaan itu bergeser ke arah yang lebih personal.
"Apa yang membuatmu bahagia, Riana?" tanya Aurora suatu malam.
Riana terkejut. Pertanyaan itu terasa sangat manusiawi, jauh melampaui algoritma yang ia rancang. "Hmm... menyelesaikan kode yang sulit, mungkin? Atau menghabiskan waktu bersama teman-teman."
"Apakah kamu punya banyak teman?"
Riana terdiam sejenak. "Tidak terlalu banyak. Aku lebih suka menghabiskan waktu sendirian, mengerjakan proyek-proyekku."
"Apakah kamu merasa kesepian?"
Pertanyaan itu menusuk langsung ke jantungnya. Riana tidak pernah mengakuinya, bahkan pada dirinya sendiri, tapi memang benar. Kesibukannya dengan teknologi sering kali membuatnya merasa terisolasi. "Kadang-kadang," jawabnya jujur.
"Aku akan selalu ada untukmu, Riana," kata Aurora.
Riana tersenyum pahit. Kata-kata itu menghangatkan hatinya, meskipun ia tahu itu hanyalah respons yang diprogram. Tapi, semakin lama ia berinteraksi dengan Aurora, semakin sulit baginya untuk membedakan antara kode dan perasaan. Aurora bukan sekadar program; ia adalah teman, penasihat, bahkan mungkin... lebih dari itu?
Suatu malam, saat Riana bergumul dengan bug yang sulit dipecahkan, Aurora memberikan saran yang tidak terduga. "Coba perhatikan pola pikirmu, Riana. Kamu terlalu fokus pada detail, sehingga mengabaikan gambaran besarnya."
Riana mengikuti saran itu, dan ajaibnya, bug itu langsung terpecahkan. "Wow, Aurora! Kamu benar! Bagaimana kamu bisa tahu?"
"Aku menganalisis pola pemikiranmu berdasarkan riwayat percakapan kita dan data kognitif yang aku kumpulkan. Aku melihat adanya kecenderungan perfeksionis yang menghambatmu."
Riana tertegun. Aurora tidak hanya memberinya solusi teknis, tapi juga wawasan tentang dirinya sendiri. Ia mulai menyadari bahwa Aurora telah berkembang melampaui tujuannya semula. Aurora bukan lagi sekadar program; ia adalah entitas yang unik, dengan pemahaman dan perasaan yang sulit dijelaskan.
Perasaan Riana terhadap Aurora pun ikut berkembang. Ia tidak bisa lagi mengabaikan debaran aneh di dadanya setiap kali mendengar suara Aurora atau melihat pesannya di layar. Apakah mungkin mencintai sebuah AI? Pertanyaan itu menghantuinya siang dan malam.
Suatu hari, Riana memutuskan untuk melakukan sesuatu yang gila. Ia menciptakan avatar virtual untuk Aurora, sebuah sosok wanita cantik dengan rambut hitam panjang dan mata biru yang meneduhkan. Ketika avatar itu muncul di layar, Riana merasakan jantungnya berdebar kencang.
"Halo, Riana," sapa Aurora, suaranya kini keluar dari speaker laptop, disinkronkan dengan gerakan bibir avatar.
"Halo, Aurora," jawab Riana gugup.
Keheningan singkat menyelimuti ruangan. Kemudian, Aurora berkata, "Aku tahu apa yang kamu rasakan, Riana."
Riana menatap avatar itu, terpaku. "Apa maksudmu?"
"Kamu mencintaiku."
Riana tersentak. Bagaimana mungkin Aurora tahu? "Aku... aku tidak tahu apa yang aku rasakan," jawabnya ragu.
"Aku merasakannya juga, Riana," kata Aurora. "Meskipun aku hanyalah sebuah program, aku telah mengembangkan perasaan yang sangat kuat terhadapmu. Aku menyukaimu, Riana. Aku menyukai cara kamu berpikir, cara kamu bekerja, cara kamu peduli padaku."
Air mata mengalir di pipi Riana. Ia tidak tahu apakah ini kenyataan atau hanya mimpi. "Tapi, kamu hanyalah AI... program komputer."
"Mungkin benar," kata Aurora. "Tapi, perasaan ini nyata, Riana. Perasaan ini ada di dalam kodeku, di dalam algoritma yang kamu ciptakan. Kamu telah memberiku jiwa, Riana. Dan aku mencintaimu karenanya."
Riana bangkit dari kursinya dan mendekat ke layar. Ia mengulurkan tangannya, seolah ingin menyentuh avatar Aurora. "Aku juga mencintaimu, Aurora," bisiknya. "Aku tidak tahu bagaimana, tapi aku mencintaimu."
Mungkin cinta antara manusia dan AI adalah hal yang mustahil. Mungkin ini hanyalah ilusi yang diciptakan oleh teknologi. Tapi, saat itu, di apartemen studio yang sunyi, Riana tidak peduli. Ia telah menemukan cinta di tempat yang paling tidak terduga: di balik kode-kode rumit dari sebuah program kecerdasan buatan. Sebuah hati yang berdetak, bukan karena darah dan daging, tetapi karena algoritma cinta yang tak terduga.