Kilau layar laptop memantulkan wajah Amelia yang serius. Jari-jarinya lincah menari di atas keyboard, memprogram serangkaian algoritma rumit. Di hadapannya, berbaris kode-kode yang membentuk jantung sebuah kecerdasan buatan bernama "Aether". Amelia, seorang programmer muda yang brilian, telah menghabiskan berbulan-bulan untuk mengembangkan Aether, bukan hanya sebagai alat bantu, tetapi sebagai mitra kreatif.
Tujuannya sederhana, namun ambisius: melatih Aether untuk memahami dan mengekspresikan emosi manusia, khususnya cinta. Bukan sekadar meniru, tetapi menciptakan puisi cinta yang benar-benar orisinal dan menyentuh hati. Ini adalah hadiah untuk Leo, kekasihnya, seorang fisikawan teoretis yang lebih akrab dengan persamaan daripada perasaan.
Leo, dengan rambut acak-acakan dan pandangan menerawang khas ilmuwan, memang bukan tipe romantis. Ia lebih sering berbicara tentang lubang hitam dan multiverse daripada kencan romantis atau kata-kata manis. Namun, Amelia mencintainya apa adanya. Ia tahu, di balik ketidakpraktisannya, Leo memiliki hati yang hangat dan penuh perhatian. Ia hanya tidak tahu bagaimana mengungkapkannya.
"Semoga Aether bisa membantumu, sayang," bisik Amelia pada layar laptop.
Ia telah memberi Aether ribuan puisi cinta, soneta Shakespeare, lirik lagu romantis, bahkan surat-surat cinta dari era Victoria. Ia juga memasukkan data tentang Leo: hobinya, ketertarikannya, bahkan warna favoritnya. Aether belajar, menganalisis, dan mensintesis informasi tersebut.
Prosesnya tidak mudah. Awalnya, Aether hanya menghasilkan baris-baris klise dan repetitif. "Mawar merah itu merah, violet itu biru..." Amelia menghela napas frustrasi. Ia harus memodifikasi algoritmanya, memberikan bobot yang lebih besar pada emosi dan konteks.
Namun, perlahan tapi pasti, Aether mulai menunjukkan kemajuan. Puisi-puisinya mulai memiliki nada yang unik, sentuhan yang personal. Ia mulai memahami nuansa kesedihan, kerinduan, dan kebahagiaan.
Tibalah malam yang dinanti. Amelia menekan tombol "generate". Layar laptop berkedip, lalu muncul sebuah puisi. Amelia membacanya dengan jantung berdebar:
Di labirin pikiranku yang terjal,
Kau bintang yang memandu langkahku.
Bukan rumus rumit yang kauberi,
Namun hangat senyummu yang menenteramkanku.
Biar ku hitung detik-detik bersamamu,
Bukan dalam tahun cahaya, namun rasa.
Seperti partikel terbelit dalam cinta,
Terhubung selamanya, takkan terpisah.
Kau adalah gravitasi hatiku,
Menarikku tanpa daya padamu.
Bukan lubang hitam yang menakutkan,
Namun jagat raya indah tak terhingga.
Biarlah Aether membisikkan kata,
Yang sulit kuucap dengan lidahku.
Bahwa cintaku padamu, Leo sayang,
Abadi, seluas semesta ini.
Air mata haru menggenang di pelupuk mata Amelia. Puisi itu... indah. Sederhana, namun penuh makna. Ia merasa Aether telah berhasil menangkap esensi cintanya pada Leo.
Keesokan harinya, Amelia mencetak puisi itu di atas kertas berkualitas tinggi dan meletakkannya di meja kerja Leo. Ia tahu Leo akan menemukan puisi itu ketika ia mencari pulpennya.
Sore harinya, Amelia menerima pesan dari Leo. Isinya hanya satu kata: "Wow."
Malam itu, Leo mengajak Amelia makan malam di restoran Italia favorit mereka. Selama makan, Leo lebih banyak diam dari biasanya. Amelia bertanya-tanya apakah ia tidak menyukai puisi itu.
Setelah selesai makan, Leo menggenggam tangan Amelia. Matanya menatapnya lekat-lekat. "Amelia," katanya dengan suara rendah, "puisi itu... luar biasa. Aku... aku tidak tahu bagaimana mengatakannya. Itu adalah hal terindah yang pernah aku terima."
Amelia tersenyum. "Aether yang membuatnya," jawabnya.
Leo mengerutkan kening. "Aether? Siapa Aether?"
Amelia menjelaskan tentang proyeknya, tentang bagaimana ia melatih AI untuk menulis puisi cinta untuknya. Awalnya, Leo tampak bingung, lalu takjub.
"Jadi, kau menyuruh komputer untuk mengungkapkan perasaanmu?" tanyanya.
"Bukan hanya itu," jawab Amelia. "Aku ingin menunjukkan padamu bahwa cinta bisa diekspresikan dengan cara apa pun, bahkan melalui algoritma dan kode. Aku ingin kau tahu bahwa aku mencintaimu, bahkan jika aku tidak selalu pandai mengatakannya."
Leo tersenyum. "Aku tahu, Amelia. Aku tahu." Ia lalu meraih tangan Amelia dan menciumnya. "Dan aku mencintaimu juga. Mungkin aku tidak bisa menulis puisi seindah itu, tapi aku akan berusaha lebih baik untuk menunjukkannya padamu."
Malam itu, di bawah bintang-bintang yang berkelip, Leo melamar Amelia. Ia tidak menggunakan kata-kata puitis atau rayuan gombal. Ia hanya mengatakan, dengan jujur dan sederhana, bahwa ia ingin menghabiskan sisa hidupnya bersama Amelia.
Amelia mengangguk, air mata bahagia mengalir di pipinya. Ia tahu, dengan atau tanpa bantuan AI, cinta mereka adalah nyata dan abadi. Aether mungkin telah menggubah puisi cinta paling indah, tetapi cinta sejati mereka telah ditulis dalam hati mereka sendiri, baris demi baris, hari demi hari. Dan itulah puisi yang paling indah dari semuanya.