Aplikasi kencan "SoulMate 3.0" itu memang fenomenal. Bukan hanya mencocokkan berdasarkan preferensi dangkal seperti tinggi badan atau hobi, tapi menganalisis data psikologis mendalam, pola tidur, bahkan gelombang otak, untuk menemukan pasangan yang paling kompatibel. Katanya, algoritmanya bisa memprediksi kebahagiaan jangka panjang dengan akurasi 98%. Dan aku, Anya, seorang developer yang skeptis setengah mati tentang cinta, tergiur juga mencobanya.
Bukan karena aku kesepian. Aku bahagia dengan pekerjaanku, merancang antarmuka realitas virtual untuk terapi trauma. Tapi belakangan, Mama terus mendesakku mencari pendamping. "Anya, kamu pintar, mandiri, tapi kapan mau punya cucu buat Mama?" desaknya setiap minggu. Akhirnya, aku mengalah, mengunduh SoulMate 3.0, dan mengisi formulir dengan jujur. Bahkan, aku mengizinkan aplikasi itu memindai aktivitas otakku selama seminggu.
Hasilnya mengejutkan. Algoritma SoulMate 3.0 menjodohkanku dengan… seorang programmer bernama Raka. Profilnya sempurna. Ia suka membaca fiksi ilmiah klasik seperti aku, peduli pada isu lingkungan, dan yang paling penting, sama-sama introvert. Tapi ada satu hal yang mengganjal. Foto profilnya. Raka tampan, iya, tapi tatapannya dingin dan misterius. Aku lebih suka pria dengan senyum hangat.
Chat pertama kami kaku. Pertanyaan standar tentang pekerjaan, hobi, film favorit. Tapi lama kelamaan, kami mulai membahas hal-hal yang lebih personal. Aku menceritakan tentang trauma masa kecilku karena kecelakaan mobil, dan ia bercerita tentang idealismenya untuk menciptakan open source yang aman dan terenkripsi bagi semua orang. Aku mulai merasa nyaman.
Setelah dua minggu berbalas pesan, Raka mengajakku bertemu. Kami janjian di sebuah kafe yang nyaman, jauh dari keramaian. Begitu melihatnya, jantungku berdebar lebih kencang dari yang kukira. Raka lebih tinggi dan lebih menawan daripada di foto. Tatapannya memang intens, tapi ada kelembutan tersembunyi di sana.
Kami mengobrol selama berjam-jam. Tentang kode, tentang filosofi, tentang ketakutan dan harapan kami. Aku terkejut betapa nyamannya aku bersamanya. Seolah kami sudah saling mengenal sejak lama. Algoritma SoulMate 3.0 memang luar biasa.
Beberapa minggu kemudian, kami resmi berpacaran. Hubungan kami berjalan mulus. Kami saling mendukung, saling menginspirasi, dan saling menghargai. Raka membantuku memecahkan bug rumit di proyekku, dan aku membantunya membuat presentasi untuk proposal open source-nya. Kami adalah tim yang solid.
Namun, semakin dalam aku mencintai Raka, semakin besar pula keraguanku. Apakah ini benar-benar cinta, atau hanya hasil dari perhitungan algoritma yang sempurna? Apakah aku mencintai Raka karena aku memang mencintainya, atau karena data psikologisku dan Raka cocok satu sama lain?
Aku mencoba berbicara dengan Raka tentang keraguanku. Ia hanya tersenyum dan berkata, "Anya, algoritma hanya alat. Ia bisa membantumu menemukan seseorang yang potensial, tapi ia tidak bisa menciptakan cinta. Cinta adalah pilihan. Kamu memilih untuk mencintaiku, dan aku memilih untuk mencintaimu. Itu saja."
Kata-kata Raka menenangkanku untuk sementara. Tapi keraguan itu tetap ada. Suatu malam, saat Raka sedang tidur di sampingku, aku tidak tahan lagi. Aku diam-diam membuka laptopnya dan mencari folder "SoulMate 3.0". Aku tahu ini salah, tapi aku harus tahu kebenaran.
Aku menemukan file berisi data psikologis Raka, termasuk transkrip obrolan kami, hasil pemindaian otak, dan analisis kepribadian. Aku juga menemukan sebuah folder bernama "Project Chimera". Di dalamnya, terdapat serangkaian dokumen yang menjelaskan tentang algoritma SoulMate 3.0 secara detail.
Aku membaca dengan seksama. Aku menemukan bahwa algoritma SoulMate 3.0 tidak hanya mencocokkan pasangan, tapi juga memanipulasi data untuk menciptakan kecocokan yang lebih besar. Algoritma itu mengubah preferensi pengguna, menyaring informasi yang tidak relevan, dan bahkan memengaruhi pola pikir mereka melalui subliminal messaging.
Aku terkejut. Jadi, selama ini, aku telah dipermainkan oleh algoritma. Raka juga? Apakah ia tahu tentang ini? Aku terus membaca. Aku menemukan bahwa Raka adalah bagian dari tim developer SoulMate 3.0. Ia adalah orang yang bertanggung jawab untuk menyempurnakan algoritma.
Aku merasa dikhianati. Selama ini, aku telah mencintai seseorang yang tidak nyata. Cinta yang kubangun bersamanya hanyalah ilusi yang diciptakan oleh algoritma. Aku membangunkan Raka dan menunjukkan file itu.
Raka terdiam. Wajahnya pucat pasi. Ia tidak membantah. "Anya, aku bisa jelaskan," katanya dengan suara lirih.
"Jelaskan apa? Bahwa kamu telah berbohong padaku? Bahwa cintamu padaku hanyalah bagian dari eksperimen?" bentakku.
"Tidak, Anya. Awalnya memang benar, aku hanya menjalankan tugas. Tapi lama kelamaan, aku benar-benar jatuh cinta padamu. Aku tidak peduli lagi tentang algoritma. Aku mencintaimu apa adanya," jawab Raka.
Aku tidak tahu apa yang harus kupercaya. Apakah aku harus percaya pada kata-kata Raka, atau pada fakta yang kubaca di file itu? Aku memutuskan untuk pergi. Aku tidak bisa tinggal bersamanya lagi. Aku butuh waktu untuk memproses semua ini.
Aku meninggalkan apartemen Raka dan berjalan tanpa tujuan. Hujan mulai turun. Aku merasa hancur dan sendirian. Algoritma SoulMate 3.0 telah merenggut kepercayaan dan cintaku. Aku tidak tahu apakah aku bisa mempercayai siapa pun lagi.
Beberapa hari kemudian, Raka menghubungiku. Ia mengatakan bahwa ia telah mengundurkan diri dari SoulMate 3.0 dan ingin membuktikan cintanya padaku. Ia ingin menunjukkan bahwa ia adalah orang yang sama dengan yang kukenal selama ini, terlepas dari algoritma.
Aku ragu. Tapi aku memutuskan untuk memberinya kesempatan. Kami bertemu di kafe tempat kami pertama kali berkencan. Raka tidak berusaha membela diri. Ia hanya meminta maaf dan berjanji akan selalu jujur padaku.
Aku menatap matanya. Aku melihat kejujuran dan penyesalan di sana. Aku juga melihat cinta. Aku tidak tahu apakah ini akan berhasil, tapi aku memutuskan untuk mengambil risiko. Aku ingin percaya bahwa cinta bisa mengalahkan algoritma.
Mungkin, cinta memang tidak bisa diprediksi oleh algoritma. Mungkin, cinta adalah sesuatu yang lebih kompleks dan misterius. Mungkin, cinta adalah tentang pilihan, tentang keberanian untuk mengambil risiko, dan tentang kepercayaan untuk saling mencintai apa adanya.
Aku tersenyum pada Raka. "Mari kita coba lagi," kataku. "Tapi kali ini, tanpa algoritma."