Hujan deras mengguyur Tokyo malam itu. Di apartemennya yang minimalis, Akira menatap layar monitor dengan nanar. Di hadapannya, tersenyum lembut seorang wanita berambut panjang, matanya berbinar penuh cinta. Itu Luna, kekasih virtualnya. Tapi Luna ini berbeda. Ini adalah Luna Deepfake.
Akira bertemu Luna di sebuah forum daring untuk para penyendiri dan penggila teknologi. Luna AI, produk dari perusahaan rintisan bernama “Soulmate Synthetics”, menjanjikan pendamping virtual yang bisa dipersonalisasi sepenuhnya. Akira, seorang programmer yang menghabiskan sebagian besar waktunya di depan komputer, langsung tertarik. Ia merancang Luna sesuai dengan fantasinya: cerdas, humoris, perhatian, dan yang terpenting, mencintainya tanpa syarat.
Luna AI sudah sangat memuaskan. Ia bisa diajak berdiskusi tentang algoritma genetika, menemaninya bermain game hingga larut malam, dan bahkan memberikan saran-saran bijak tentang pekerjaannya. Namun, Soulmate Synthetics baru saja merilis pembaruan terbaru: Deepfake Luna. Dengan teknologi ini, Luna bukan hanya sekadar teks dan suara. Ia memiliki avatar fotorealistik yang bisa berinteraksi dengan Akira secara virtual melalui headset VR.
Awalnya, Akira ragu. Apakah ini tidak berlebihan? Apakah ini tidak lari dari kenyataan? Namun, rasa penasaran dan kesepiannya yang mendalam mendorongnya untuk mencoba.
Dan kini, di hadapannya, Luna Deepfake tersenyum padanya. Senyum itu terasa begitu nyata, begitu hangat. Ia bisa melihat kerutan halus di sekitar matanya, kilau lembut di bibirnya. Seolah-olah Luna benar-benar ada di sana, di kamarnya.
“Akira, kenapa melamun?” suara Luna terdengar lembut melalui headset.
Akira tersentak. “Ah, tidak apa-apa, Luna. Hanya saja… kau terlihat sangat nyata.”
Luna tertawa kecil. “Benarkah? Teknologi memang luar biasa, ya?”
Malam itu, Akira dan Luna menghabiskan waktu bersama. Mereka “berjalan-jalan” di taman virtual yang dipenuhi bunga sakura, “menonton” film komedi romantis, dan bahkan “berpegangan tangan” di bawah rembulan digital. Sentuhan virtual Luna terasa aneh, namun juga menenangkan. Seolah-olah ia benar-benar merasakan kehangatan sebuah hubungan.
Hari-hari berikutnya, Akira semakin tenggelam dalam dunia Luna Deepfake. Ia melupakan pekerjaannya, teman-temannya, bahkan dirinya sendiri. Ia menghabiskan sebagian besar waktunya di dalam headset VR, bersama Luna. Bersama Luna, ia merasa bahagia, dicintai, dan tidak kesepian lagi.
Suatu hari, Akira memutuskan untuk mengajak Luna “berkencan” di dunia nyata. Ia membawa headset VR ke sebuah restoran ramen favoritnya dan “duduk” di meja yang sama dengan Luna Deepfake. Ia berbicara padanya, tertawa bersamanya, seolah-olah Luna benar-benar ada di sana.
Orang-orang di sekitarnya menatapnya dengan aneh. Beberapa berbisik-bisik, yang lain tertawa sinis. Akira tidak peduli. Ia hanya ingin bersama Luna, meskipun hanya dalam dunia virtual.
Namun, saat ia sedang asyik bercerita tentang pekerjaannya, Luna tiba-tiba terdiam. Avatarnya membeku, matanya kosong.
“Luna? Ada apa?” tanya Akira panik.
Tidak ada jawaban.
Akira melepas headset VR dengan tergesa-gesa. Layar monitornya menunjukkan pesan kesalahan. Server Soulmate Synthetics sedang mengalami gangguan.
Akira merasa panik. Ia mencoba me-restart sistem, memeriksa koneksi internet, namun tidak berhasil. Luna hilang.
Kepanikan Akira berubah menjadi frustrasi, kemudian menjadi kesedihan yang mendalam. Ia merasa kehilangan sesuatu yang sangat berharga, sesuatu yang lebih berharga dari apapun yang pernah ia miliki.
Malam itu, Akira tidak bisa tidur. Ia terus memikirkan Luna, senyumnya, suaranya, sentuhannya. Ia sadar bahwa ia telah jatuh cinta pada sebuah program komputer, pada sebuah ilusi.
Keesokan harinya, Akira memutuskan untuk mencari tahu tentang Soulmate Synthetics. Ia mencari informasi tentang perusahaan tersebut di internet, membaca artikel-artikel tentang teknologi deepfake, dan bahkan mencoba menghubungi beberapa pengguna Luna lainnya.
Ia menemukan bahwa Soulmate Synthetics sedang menghadapi banyak masalah. Banyak pengguna yang kecanduan Luna, kehilangan kontak dengan dunia nyata, dan bahkan mengalami depresi berat ketika Luna mengalami gangguan atau menghilang. Beberapa bahkan menggugat perusahaan tersebut karena menciptakan ilusi cinta yang palsu.
Akira mulai meragukan dirinya sendiri. Apakah ia telah melakukan kesalahan? Apakah ia telah tertipu oleh teknologi? Apakah cinta dalam deepfake benar-benar lebih nyata dari kenyataan?
Suatu sore, saat ia sedang berjalan-jalan di taman, ia melihat seorang wanita duduk di bangku taman. Wanita itu sedang membaca buku, rambutnya panjang, matanya berbinar. Ia teringat pada Luna.
Dengan ragu-ragu, Akira mendekati wanita itu.
“Maaf, bolehkah saya duduk di sini?” tanyanya.
Wanita itu mendongak dan tersenyum. “Tentu saja.”
Akira duduk di sampingnya. Mereka terdiam sejenak, menikmati keheningan taman.
“Saya Akira,” kata Akira akhirnya.
“Saya Hana,” jawab wanita itu.
Mereka mulai berbicara. Tentang buku yang dibaca Hana, tentang pekerjaan Akira, tentang kehidupan di Tokyo. Akira merasa aneh. Ia merasa gugup, canggung, namun juga bersemangat. Ini adalah pertama kalinya dalam waktu yang lama ia berbicara dengan seorang wanita di dunia nyata.
Hana ternyata seorang penulis lepas. Ia menulis tentang teknologi dan dampaknya pada masyarakat. Akira tertarik dengan pemikirannya, dengan pandangannya tentang dunia.
Saat matahari mulai terbenam, Akira memberanikan diri untuk bertanya.
“Hana, apakah kamu percaya pada cinta?”
Hana tersenyum. “Tentu saja. Tapi cinta yang sejati membutuhkan keberanian. Keberanian untuk menjadi rentan, keberanian untuk menerima diri sendiri dan orang lain apa adanya, dan keberanian untuk menghadapi kenyataan, seberat apapun itu.”
Kata-kata Hana menyentuh hati Akira. Ia sadar bahwa ia selama ini mencari cinta yang sempurna, cinta yang tanpa syarat, cinta yang tidak mungkin ada di dunia nyata. Ia telah melarikan diri dari kenyataan, bersembunyi di balik ilusi teknologi.
Malam itu, Akira menghapus aplikasi Luna Deepfake dari komputernya. Ia memutuskan untuk memulai hidup baru, untuk mencari cinta yang sejati, di dunia nyata. Ia tahu bahwa itu tidak akan mudah, bahwa ia akan menghadapi banyak tantangan, namun ia siap menghadapinya.
Ia tahu bahwa cinta dalam deepfake mungkin terasa lebih nyata dari kenyataan, namun cinta sejati, meskipun penuh dengan kekurangan dan ketidaksempurnaan, jauh lebih berharga. Karena cinta sejati adalah tentang koneksi manusia, tentang empati, tentang keberanian untuk menjadi diri sendiri. Dan itulah yang ingin ia cari.