Skripsi Cinta Digital: Hati yang Ter-AI-onisasi?

Dipublikasikan pada: 29 May 2025 - 04:35:13 wib
Dibaca: 166 kali
Deru pendingin laptop bersahutan dengan degup jantung Risa. Di layar, ribuan baris kode Python menari-nari, membentuk jaringan saraf tiruan yang kompleks. Deadline skripsi semakin dekat, dan Risa terjebak dalam labirin algoritma yang diciptakannya sendiri. Judul skripsinya, "Prediksi Tingkat Keberhasilan Hubungan Romantis Berdasarkan Analisis Data Media Sosial dengan Algoritma Deep Learning," terdengar begitu ambisius di awal, kini terasa seperti kutukan.

Risa menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Tumpukan buku dan catatan bertebaran di meja, saksi bisu perjuangannya menaklukkan AI. Padahal, dulu ia begitu bersemangat. Ia ingin membuktikan bahwa data bisa memberikan wawasan baru tentang cinta, sebuah konsep yang selama ini dianggap misterius dan irasional.

Inspirasi skripsi ini datang dari pengalamannya sendiri. Ia selalu kesulitan memahami pria. Apa yang membuat mereka tertarik? Apa yang mereka inginkan? Apakah ada pola yang bisa dipelajari? Ia berharap AI bisa menjadi penerjemahnya, membantunya mendekripsi kode rumit hati manusia.

Di tengah kelelahan, Risa teringat Ardi. Ardi adalah asisten dosen di lab komputer, seorang pria yang cerdas, humoris, dan entah mengapa, selalu membuatnya gugup. Ardi membantunya mengembangkan algoritma, memberikan saran, dan terkadang, hanya sekedar menemaninya begadang di lab. Risa menyukai Ardi, sangat menyukainya. Tapi, ia terlalu takut untuk mengakuinya.

"Mungkin AI bisa membantuku," gumamnya. Ia memutuskan untuk memasukkan profil media sosial Ardi ke dalam program skripsinya. Ia tahu ini tidak etis, bahkan sedikit gila, tapi ia sudah terlalu putus asa.

Algoritma bekerja keras, memproses ribuan postingan, komentar, dan foto. Setelah beberapa menit, hasilnya keluar. Program menampilkan angka probabilitas: 78%.

"78%?" Risa terkejut. Artinya, menurut AI, ada kemungkinan besar Ardi menyukainya juga.

Risa terpaku menatap layar. Benarkah ini? Apakah ia harus mempercayai algoritma yang diciptakannya sendiri? Rasa ragu dan harapan bercampur aduk. Ia tahu bahwa cinta tidak bisa diukur dengan angka, tapi angka 78% itu seperti dorongan yang ia butuhkan.

Keesokan harinya, Risa menemukan Ardi sedang memperbaiki printer di ruang dosen. Jantungnya berdebar kencang. Ia menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri.

"Ardi," panggil Risa.

Ardi menoleh, tersenyum. "Eh, Risa. Ada apa?"

"Aku... aku mau bicara sesuatu." Risa merasa lidahnya kelu.

"Tentu. Ada masalah dengan skripsimu?"

"Bukan... bukan itu. Ini tentang... kita."

Ardi mengerutkan kening, tampak bingung. "Kita?"

Risa memberanikan diri. "Aku... aku menyukaimu, Ardi."

Keheningan menyelimuti ruangan. Ardi tampak terkejut, kemudian tersenyum lembut.

"Aku juga menyukaimu, Risa," jawab Ardi.

Risa merasa seperti mimpi. Kebahagiaan meluap-luap dalam dadanya. Ia tersenyum lebar, air mata haru menetes di pipinya.

"Tapi... bagaimana kamu tahu?" tanya Risa penasaran.

"Tahu apa?"

"Bahwa kamu menyukaiku juga."

Ardi tertawa. "Aku melihat dari caramu menatapku, dari caramu gugup ketika berbicara denganku. Aku melihatnya di matamu."

Risa terdiam. Ia merasa bodoh. Ia terlalu sibuk mencari jawaban di dalam data, hingga lupa bahwa cinta itu ada di sekitar kita, terpancar dari tatapan mata, dari senyuman, dari sentuhan.

"Lalu... angka 78% itu?" tanya Risa pelan.

Ardi mengangkat bahu. "Mungkin hanya kebetulan. Atau mungkin, AI memang bisa melihat hal-hal yang tidak kita sadari."

Risa tertawa. Ia sadar, cinta tidak bisa di-AI-onisasi. Cinta adalah sesuatu yang lebih dari sekadar data dan algoritma. Cinta adalah tentang perasaan, intuisi, dan keberanian untuk mengambil risiko.

Skripsi Risa akhirnya selesai. Ia mendapatkan nilai A. Tapi, yang lebih penting dari itu, ia menemukan cinta sejati. Ia belajar bahwa teknologi bisa membantu kita memahami dunia, tapi teknologi tidak bisa menggantikan hati. Hati yang tulus, hati yang berani, hati yang mencintai.

Beberapa bulan kemudian, Risa dan Ardi berjalan bergandengan tangan di taman kampus. Mereka tertawa, bercanda, dan saling berbagi cerita. Risa menatap Ardi dengan penuh cinta.

"Terima kasih," bisik Risa.

"Untuk apa?" tanya Ardi.

"Karena sudah membuat skripsi cintaku menjadi kenyataan."

Ardi tersenyum, kemudian mencium kening Risa. "Terima kasih juga karena sudah membuat hatiku ter-AI-onisasi."

Risa tertawa. Ia tahu, cintanya pada Ardi akan terus berkembang, melampaui batas algoritma dan data. Cintanya akan terus bersemi, seperti bunga yang mekar di musim semi. Sebuah cinta yang abadi, sebuah cinta yang sejati. Sebuah cinta yang tidak mungkin diprediksi oleh AI mana pun.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI