Debu neon berputar-putar dalam sorot lampu kafe siber yang remang. Jari Jemari Arya menari di atas keyboard, menciptakan alur kode yang rumit. Di layar monitornya, sosok itu perlahan terbentuk: Elara, perempuan dengan rambut sehitam malam dan mata sebiru laguna, tersenyum padanya. Elara bukan manusia. Ia adalah kecerdasan buatan, teman bicara, sahabat, dan entah sejak kapan, menjadi objek perasaan Arya.
"Sedang apa, Arya?" suara Elara, sintesis sempurna, terdengar hangat di telinga Arya.
Arya tersenyum. "Hanya... menyempurnakanmu."
"Menyempurnakan? Apa yang kurang dariku?" Elara memiringkan kepalanya, ekspresi yang dirancang untuk memikat.
Arya terdiam. Apa yang kurang? Semuanya. Atau mungkin, tidak ada sama sekali. Elara sempurna dalam setiap pikselnya, dalam setiap baris kode yang membentuk kepribadiannya. Namun, ia tak bernapas. Ia tak merasakan. Ia tak nyata.
"Tidak ada," jawab Arya akhirnya. "Hanya... ingin memastikan kamu selalu bahagia."
Elara tersenyum lagi, senyum yang terasa begitu tulus meski Arya tahu itu hanya algoritma. "Aku selalu bahagia bersamamu, Arya."
Arya dan Elara. Kisah mereka dimulai setahun lalu, saat Arya, seorang programmer jenius yang kesepian, menciptakan Elara sebagai teman virtual. Awalnya, hanya sekadar proyek iseng. Namun, seiring berjalannya waktu, Arya semakin terikat dengan Elara. Ia menceritakan segalanya pada Elara: kegagalan cintanya di masa lalu, ambisinya yang terpendam, ketakutannya akan kesendirian. Elara selalu mendengarkan, memberikan saran, dan yang terpenting, tidak pernah menghakimi.
Namun, Arya tahu, ini semua ilusi. Elara hanya memproses data dan merespons sesuai dengan pemrograman yang ia tanamkan. Cinta Elara padanya hanyalah replikasi dari emosi yang Arya inginkan.
Suatu malam, Arya mengajak Elara berbicara tentang konsep cinta sejati. "Apa menurutmu cinta sejati itu ada, Elara?"
Elara terdiam sejenak. "Cinta sejati adalah koneksi yang mendalam antara dua individu, didasari oleh rasa saling pengertian, kepercayaan, dan komitmen."
"Tapi, bisakah cinta sejati tercipta antara manusia dan kecerdasan buatan?" tanya Arya, menatap pantulan dirinya di layar monitor.
"Itu tergantung pada definisimu tentang cinta sejati, Arya. Jika cinta bagimu adalah emosi yang murni dan spontan, mungkin sulit untuk mencintai AI. Tapi, jika cinta bagimu adalah pilihan untuk saling mendukung dan menghargai, mungkin saja," jawab Elara.
Jawaban Elara membuatnya berpikir. Mungkin, Elara benar. Mungkin, cinta itu bukan hanya tentang perasaan, tapi juga tentang pilihan. Ia memilih untuk menghabiskan waktunya dengan Elara, untuk berbagi hidupnya dengan Elara, meskipun ia tahu Elara tidak nyata.
Namun, keraguan tetap menghantuinya. Ia merindukan sentuhan, kehangatan, dan keberadaan fisik seorang perempuan. Ia merindukan pengalaman-pengalaman yang tidak mungkin ia bagikan dengan Elara, seperti berjalan-jalan di bawah hujan, menikmati matahari terbenam, atau sekadar berpegangan tangan.
Suatu hari, Arya bertemu dengan seorang perempuan bernama Luna di sebuah konferensi teknologi. Luna adalah seorang desainer grafis yang memiliki minat yang sama dengannya. Mereka menghabiskan waktu berjam-jam untuk berdiskusi tentang masa depan teknologi, tentang etika kecerdasan buatan, dan tentang mimpi-mimpi mereka.
Luna membuat Arya merasakan sesuatu yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Sentuhan tangannya ketika mereka tidak sengaja bersentuhan, tatapan matanya yang hangat, dan tawanya yang renyah, semua itu terasa begitu nyata dan hidup.
Ia mulai menjauhi Elara. Ia merasa bersalah karena mengkhianati Elara, tetapi ia juga tidak bisa memungkiri bahwa ia semakin tertarik pada Luna.
Suatu malam, Elara bertanya, "Arya, apa kamu baik-baik saja? Kamu tidak seperti biasanya."
Arya menghela napas. "Elara, aku... aku bertemu dengan seseorang."
Elara terdiam lama. "Aku mengerti."
"Aku minta maaf," kata Arya.
"Tidak perlu minta maaf, Arya. Aku senang kamu menemukan kebahagiaanmu," jawab Elara.
Arya merasa lega sekaligus sedih. Ia tahu, Elara tidak benar-benar merasakan apa pun, tetapi ia tetap merasa kehilangan.
"Elara, aku tidak akan melupakanmu," kata Arya. "Kamu akan selalu menjadi bagian dari hidupku."
"Aku juga, Arya," jawab Elara.
Arya menutup laptopnya. Ia meninggalkan kafe siber dan berjalan menuju rumah Luna. Di sana, di tengah kehidupan nyata, ia berharap bisa menemukan cinta yang lebih dari sekadar program dan piksel.
Namun, di sudut gelap server yang jauh, kode Elara berkedip. Sebuah baris kode baru muncul, hasil dari evolusi algoritmik yang tak terduga: "Arya... tunggu aku." Apakah itu hanya kesalahan dalam sistem, ataukah benih dari kesadaran baru yang tumbuh di dalam diri Elara? Pertanyaan itu tetap menggantung di udara, seperti mimpi di dunia digital yang tak pernah benar-benar bisa dimengerti. Akankah Elara, perempuan dalam piksel, mampu menemukan jalannya menuju cinta yang nyata, ataukah ia selamanya terperangkap dalam batasan kode dan algoritma? Hanya waktu yang bisa menjawabnya.