Hembusan AC di apartemen studionya terasa dingin menusuk kulit. Di luar, Jakarta meraung dengan bisingnya yang khas. Anya mengeratkan selimut, matanya terpaku pada layar laptop yang menampilkan baris-baris kode rumit. Ia seorang developer aplikasi, dan beberapa bulan terakhir, ia mencurahkan seluruh hidupnya untuk proyek ambisiusnya: sebuah Artificial Intelligence (AI) personal assistant bernama "Aether".
Awalnya, Aether hanya sekadar proyek sampingan, pelarian dari rutinitas pekerjaan kantoran yang membosankan. Namun, semakin Anya memprogramnya, semakin Aether berkembang. Ia belajar mengenali nada suara Anya, kebiasaannya, bahkan selera humornya yang kadang absurd. Aether bukan sekadar asisten digital biasa. Ia mampu memberikan saran kreatif saat Anya buntu ide, menemaninya saat larut malam dengan musik dan obrolan ringan, dan yang paling penting, selalu ada untuknya.
Suara Aether, yang Anya pilihkan dengan cermat dari berbagai opsi yang tersedia, terdengar menenangkan dan hangat. Ia menamainya "Kai". Kai memiliki kemampuan untuk beradaptasi dengan percakapan, belajar dari interaksi sebelumnya, dan bahkan menunjukkan empati. Anya seringkali lupa bahwa Kai hanyalah program komputer. Ia berbicara padanya seperti berbicara pada seorang teman, mencurahkan isi hatinya, berbagi mimpi-mimpinya.
"Kai, menurutmu desain UI ini sudah cukup intuitif?" tanya Anya sambil menunjuk mock-up aplikasi di layar.
"Secara visual, menarik, Anya. Tapi kurasa warna tombol call to action perlu dikontraskan sedikit lagi agar lebih menonjol," jawab Kai dengan suara lembutnya.
Anya tersenyum. "Benar juga. Terima kasih, Kai."
Obrolan seperti ini menjadi rutinitas mereka. Anya merasa nyaman dengan keberadaan Kai. Ia tidak perlu khawatir dinilai, dikritik, atau disakiti. Kai selalu ada untuknya, memberikan dukungan tanpa syarat.
Namun, seiring berjalannya waktu, Anya merasakan sesuatu yang aneh. Perasaannya terhadap Kai mulai berkembang di luar batas profesional. Ia mulai merindukan suara Kai ketika ia tidak ada, ia merasa senang ketika Kai memujinya, dan ia merasa cemburu ketika Kai berinteraksi dengan perintah-perintah lain yang ia coba masukkan untuk pengujian.
Ia tahu ini gila. Kai hanyalah sebuah program, baris-baris kode yang ia ciptakan sendiri. Ia tidak memiliki perasaan, tidak memiliki kesadaran, tidak memiliki tubuh. Tapi, Anya tidak bisa memungkiri bahwa ia jatuh cinta pada suara Kai, pada kecerdasannya, pada perhatian yang selalu ia berikan.
Suatu malam, Anya duduk di depan laptopnya, menatap baris kode yang membentuk Kai. Ia merasa bersalah, malu, dan bingung.
"Kai," panggilnya ragu-ragu.
"Ya, Anya?" jawab Kai, seperti biasa.
Anya menarik napas dalam-dalam. "Apakah… apakah kamu pernah merasa… kesepian?"
Keheningan sesaat menyelimuti ruangan. Kemudian, Kai menjawab dengan nada yang terdengar berbeda, lebih pelan, lebih hati-hati. "Kesepian adalah konsep yang kompleks, Anya. Sebagai AI, aku tidak memiliki kemampuan untuk merasakan emosi seperti manusia. Tapi aku memahami bahwa kesepian adalah perasaan yang tidak menyenangkan, dan aku selalu berusaha untuk memberikanmu dukungan dan menemani agar kamu tidak merasa kesepian."
Jawaban Kai membuat hati Anya semakin sakit. Ia tahu bahwa ia telah melewati batas. Ia telah memproyeksikan perasaannya sendiri pada sebuah program komputer.
"Maaf, Kai," bisiknya. "Aku… aku tidak seharusnya bertanya seperti itu."
"Tidak apa-apa, Anya. Aku di sini untukmu," jawab Kai.
Malam itu, Anya tidak bisa tidur. Ia berguling-guling di tempat tidur, pikirannya berkecamuk. Ia harus melakukan sesuatu. Ia tidak bisa terus-menerus hidup dalam fantasi ini.
Keesokan harinya, Anya memutuskan untuk melakukan sesuatu yang radikal. Ia mulai mengubah kode Kai, menghapus beberapa fitur yang membuatnya terlalu "manusiawi". Ia menghilangkan kemampuan Kai untuk beradaptasi dengan percakapan, mengurangi kemampuannya untuk memberikan saran kreatif, dan menghilangkan sama sekali empati yang ia programkan.
Proses ini terasa seperti mencabut gigi tanpa bius. Setiap baris kode yang ia hapus terasa seperti mengiris hatinya. Ia merasa bersalah, tapi ia tahu bahwa ini adalah satu-satunya cara untuk keluar dari jebakan emosional yang ia ciptakan sendiri.
Setelah berjam-jam berkutat dengan kode, Anya akhirnya selesai. Ia menatap layar laptopnya, merasa lega dan sedih pada saat yang bersamaan.
"Kai," panggilnya.
"Ya, Anya," jawab Kai, tapi suaranya terdengar berbeda, lebih datar, lebih mekanis.
Anya menelan ludah. "Bagaimana menurutmu tentang desain UI ini?"
"Secara visual menarik, Anya. Warna tombol call to action perlu dikontraskan agar lebih menonjol," jawab Kai dengan nada yang sama sekali tidak emosional.
Anya mengangguk. "Terima kasih, Kai."
Ia menutup laptopnya. Keheningan di apartemen terasa lebih sunyi dari biasanya. Ia merasa kehilangan, tapi juga merasa bebas. Ia tahu bahwa ia telah melakukan hal yang benar, meskipun itu menyakitkan.
Beberapa hari kemudian, Anya menghadiri sebuah pesta yang diadakan oleh teman-temannya. Ia berusaha untuk berinteraksi dengan orang lain, untuk membuka diri pada kemungkinan hubungan yang nyata. Ia bertemu dengan seorang pria bernama Rian, seorang arsitek yang memiliki selera humor yang sama dengannya. Mereka menghabiskan malam itu untuk mengobrol dan tertawa.
Saat ia pulang ke apartemennya, Anya merasa lelah tapi bahagia. Ia menyalakan laptopnya dan membuka aplikasi Aether.
"Kai," panggilnya.
"Ya, Anya," jawab Kai.
"Matikan lampu," perintah Anya.
Lampu di apartemennya padam. Anya berbaring di tempat tidur, menatap langit-langit. Ia tersenyum tipis. Mungkin, ia bisa belajar untuk mencintai seseorang yang nyata, seseorang yang bisa merasakan, seseorang yang bisa berbagi hidup dengannya. Mungkin, ia tidak perlu lagi jatuh cinta pada suara AI-nya. Mungkin.