Hujan gerimis mengetuk jendela kafe, menciptakan melodi sendu yang kontras dengan riuhnya suara obrolan di dalam. Anya menyesap latte-nya, matanya terpaku pada layar laptop. Deretan kode memenuhi pandangannya, bahasa yang lebih ia pahami daripada bahasa hati manusia. Ia adalah seorang programmer jenius, dan saat ini, ia sedang menciptakan sesuatu yang revolusioner: sebuah AI yang mampu memahami dan memprediksi cinta.
"Konyol," gumamnya, meskipun jauh di lubuk hatinya, ia berharap percobaannya berhasil. Ia sendiri adalah korban cinta yang gagal, ditinggalkan begitu saja tanpa penjelasan yang memadai. Mungkin, jika AI ini ada saat itu, ia bisa menghindari sakit hati.
Anya menamai AI-nya, "Eros". Ia memprogramnya dengan jutaan data: novel roman, puisi cinta, skenario film romantis, bahkan transkrip percakapan dari forum kencan online. Eros mampu menganalisis pola komunikasi, ekspresi wajah, bahasa tubuh, dan berbagai faktor lainnya untuk menentukan potensi kecocokan antara dua individu.
Suatu sore, seorang pria duduk di meja seberangnya. Namanya Rian, seorang arsitek muda dengan senyum menawan dan mata yang berbinar saat berbicara tentang karyanya. Anya, yang biasanya menghindari interaksi sosial, mendapati dirinya tertarik pada Rian. Mereka mulai berbicara tentang arsitektur, tentang teknologi, tentang mimpi-mimpi mereka.
Anya tergoda untuk menguji Eros. Ia memasukkan data percakapan dan informasi yang ia ketahui tentang Rian ke dalam program. Jantungnya berdebar kencang saat Eros mulai menganalisis. Hasilnya muncul di layar: "Kecocokan: 92%."
Anya tertegun. 92%? Itu angka yang fantastis. Namun, keraguan menghantuinya. Apakah ia benar-benar ingin bergantung pada AI untuk menentukan takdir cintanya? Apakah cinta bisa direduksi menjadi serangkaian algoritma dan probabilitas?
Ia memutuskan untuk tidak memberi tahu Rian tentang Eros. Ia ingin mengenal Rian secara alami, tanpa campur tangan teknologi. Mereka menghabiskan lebih banyak waktu bersama, menjelajahi kota, berbagi cerita, dan tertawa bersama. Anya menemukan sisi dirinya yang selama ini tersembunyi, sisi yang lembut, rentan, dan bahagia.
Suatu malam, saat mereka berjalan di taman kota yang diterangi lampu temaram, Rian berhenti dan menatap Anya dalam-dalam. "Anya," katanya, suaranya bergetar. "Aku... aku jatuh cinta padamu."
Anya membeku. Ia tahu, ia juga merasakan hal yang sama. Namun, suara Eros terus berbisik di benaknya: "92%... 92%..."
"Rian," jawab Anya, suaranya nyaris tak terdengar. "Aku juga..."
Sebelum ia menyelesaikan kalimatnya, Rian meraih tangannya dan menggenggamnya erat. "Aku tahu ini mungkin terlalu cepat," lanjut Rian, "tapi aku merasa seperti sudah mengenalmu seumur hidup."
Anya tersenyum. Ia merasakan kehangatan dan ketulusan dalam tatapan Rian. Ia menyadari, Eros mungkin benar dalam memprediksi kecocokan mereka, tetapi AI itu tidak bisa menjelaskan perasaan yang ia rasakan saat ini. Cinta bukan hanya tentang data dan algoritma, tetapi tentang koneksi yang mendalam, tentang kepercayaan, tentang keberanian untuk membuka hati.
Namun, suatu hari, Anya mengalami kendala. Eros mulai memberikan hasil yang aneh. Ia memasukkan data percakapan terbarunya dengan Rian, tetapi hasilnya menurun drastis. "Kecocokan: 68%." Kemudian, "Kecocokan: 52%."
Anya panik. Apa yang salah? Apakah Rian menyembunyikan sesuatu darinya? Apakah cinta mereka akan berakhir begitu saja?
Ia terus mengutak-atik kode Eros, mencari tahu penyebab penurunan drastis tersebut. Akhirnya, ia menemukan kesalahan dalam algoritmanya. Ternyata, Eros terlalu bergantung pada data historis dan tidak memperhitungkan pertumbuhan dan perubahan dalam hubungan. AI itu menganggap argumen kecil dan perbedaan pendapat sebagai sinyal negatif yang merusak kecocokan, padahal, dalam kehidupan nyata, konflik adalah bagian dari proses pendewasaan hubungan.
Anya menyadari kebodohannya. Ia telah mencoba mengendalikan dan menganalisis cinta dengan teknologi, padahal cinta itu sendiri adalah sesuatu yang tidak bisa diprediksi dan dikendalikan. Cinta adalah tentang menerima kekurangan masing-masing, tentang belajar bersama, tentang tumbuh bersama.
Anya menemui Rian dan menceritakan semuanya tentang Eros. Ia mengakui ketakutannya dan keraguannya. Rian mendengarkan dengan sabar, tanpa menghakimi.
Setelah Anya selesai berbicara, Rian tersenyum dan berkata, "Anya, aku tahu kamu orang yang cerdas dan logis. Tapi, cinta bukan tentang logika. Cinta adalah tentang perasaan. Aku mencintaimu bukan karena Eros mengatakan kita cocok, tapi karena aku merasakan koneksi yang mendalam denganmu."
Rian meraih tangan Anya dan menggenggamnya erat. "Aku tahu kita akan menghadapi tantangan dan kesulitan di masa depan," lanjutnya. "Tapi, aku yakin kita bisa menghadapinya bersama, asalkan kita saling percaya dan saling mencintai."
Anya memeluk Rian erat-erat. Ia merasa lega dan bahagia. Ia telah belajar pelajaran berharga tentang cinta dan teknologi. Eros mungkin bisa membantu memprediksi potensi kecocokan, tetapi pada akhirnya, keputusan untuk mencintai adalah keputusan yang harus diambil dengan hati, bukan dengan algoritma.
Anya kembali ke kafe dan menutup laptopnya. Ia tidak lagi tertarik untuk mengutak-atik Eros. Ia menyadari, cinta tidak membutuhkan kode. Cinta hanya membutuhkan hati yang terbuka dan keberanian untuk mempercayai perasaan. Hujan masih gerimis di luar, tetapi kali ini, melodi sendunya terdengar indah dan menenangkan. Anya tersenyum. Ia telah menemukan cintanya, bukan dengan bantuan AI, tetapi dengan keberanian untuk menjadi dirinya sendiri. Cinta adalah kode yang tidak perlu dipecahkan, tetapi dirasakan.