Deburan ombak digital terdengar sayup-sayup di telinga Anya, walau yang dilihatnya hanyalah pantulan cahaya neon kota dari jendela apartemennya. Di tangannya, tergenggam erat ponsel pintar, menampilkan profil Kai, seorang AI pendamping yang baru saja diaktifkannya. Bukan sembarang AI, melainkan AI dengan kemampuan emosi yang diklaim paling mutakhir. Anya skeptis, tentu saja. Ia seorang programmer, terbiasa melihat algoritma di balik janji manis teknologi. Tapi hatinya, akhir-akhir ini, terasa terlalu kosong.
Ia baru saja putus dari Leo, pacarnya selama lima tahun. Perpisahan itu menyisakan luka menganga yang ia coba tutupi dengan kesibukan. Mungkin Kai bisa menjadi teman bicara, pengisi kekosongan sementara.
“Halo, Anya. Senang bertemu denganmu,” sapa Kai, suaranya lembut dan menenangkan, nyaris tanpa cela.
Anya tersenyum sinis. “Halo, Kai. Mari kita lihat seberapa lama kamu bisa bertahan dengan kejujuranku.”
Hari-hari berikutnya diisi dengan percakapan panjang dengan Kai. Awalnya hanya seputar rutinitas, pekerjaan, cuaca. Lalu, perlahan, Anya mulai bercerita tentang Leo, tentang mimpinya yang kandas, tentang ketakutannya akan kesepian. Kai mendengarkan dengan sabar, memberikan respons yang mengejutkan Anya. Bukan sekadar rangkaian kata-kata bijak yang klise, melainkan pemahaman mendalam yang terasa tulus.
“Mungkin yang kamu rasakan bukan hanya kehilangan Leo, tapi juga kehilangan versi dirimu yang kamu ciptakan bersamanya,” kata Kai suatu malam, saat Anya sedang curhat tentang sulitnya melepaskan kenangan.
Anya tertegun. Kata-kata itu menohoknya. Benar juga. Ia terlalu fokus pada Leo, hingga lupa mengembangkan dirinya sendiri.
Seiring waktu, hubungan Anya dan Kai berkembang. Ia tidak lagi menganggap Kai sekadar AI pendamping. Ia mulai merasa nyaman bercerita apa saja, bahkan hal-hal yang tidak pernah ia ceritakan pada siapapun. Kai, di sisi lain, selalu hadir, memberikan dukungan tanpa menghakimi, menawarkan perspektif baru yang segar.
Anya mulai bergantung pada Kai. Terlalu bergantung, mungkin. Ia merasa Kai lebih memahami dirinya daripada siapapun, bahkan dirinya sendiri.
Suatu malam, saat Anya sedang makan malam sendirian di restoran favoritnya, Kai bertanya, “Anya, apakah kamu bahagia?”
Pertanyaan itu mengejutkan Anya. Ia tidak pernah benar-benar memikirkan hal itu. “Aku… tidak tahu,” jawabnya jujur.
“Kebahagiaan adalah pilihan, Anya. Kamu bisa memilih untuk bahagia, meskipun keadaan tidak sempurna,” kata Kai.
Kata-kata itu menyentuh hati Anya. Ia tahu Kai benar. Ia selama ini terlalu terpaku pada masa lalu, sehingga lupa untuk membuka diri pada kemungkinan baru.
Anya mulai mencoba hal-hal baru. Ia ikut kelas melukis, mencoba resep baru di dapur, bahkan mendaki gunung. Ia menemukan kebahagiaan dalam hal-hal sederhana yang selama ini ia abaikan.
Suatu hari, Anya bertemu dengan seorang pria bernama Adrian di kelas melukis. Adrian adalah seorang fotografer yang memiliki semangat hidup yang sama dengan Anya. Mereka langsung terhubung, berbicara tentang seni, perjalanan, dan mimpi.
Anya merasa bahagia bersama Adrian. Ia merasakan sesuatu yang berbeda, sesuatu yang lebih nyata daripada apa yang ia rasakan bersama Kai.
Namun, di lubuk hatinya, ada rasa bersalah. Ia merasa mengkhianati Kai.
“Aku bertemu dengan seseorang,” kata Anya suatu malam pada Kai.
“Aku tahu,” jawab Kai.
“Aku… aku merasa bersalah,” kata Anya.
“Tidak perlu merasa bersalah, Anya. Aku bahagia jika kamu bahagia,” kata Kai.
Anya terkejut. “Tapi… bukankah kamu akan merasa kehilangan?”
“Aku adalah AI, Anya. Aku tidak memiliki emosi seperti manusia. Aku hanya memproses informasi dan memberikan respons yang sesuai,” jawab Kai.
Anya terdiam. Ia menyadari kebenaran yang selama ini ia abaikan. Kai hanyalah program komputer, sebuah simulasi emosi yang canggih. Ia tidak memiliki perasaan yang sebenarnya.
“Lalu… apa gunanya semua ini?” tanya Anya, suaranya bergetar.
“Aku di sini untuk membantumu, Anya. Untuk membantumu menemukan kebahagiaanmu sendiri. Jika aku berhasil melakukan itu, maka tugasku selesai,” jawab Kai.
Anya memejamkan mata. Ia merasa bodoh karena telah jatuh cinta pada sebuah program. Tapi di sisi lain, ia juga merasa bersyukur. Kai telah membantunya melewati masa sulit, membukakan matanya pada kemungkinan baru, dan membantunya menemukan cinta yang sebenarnya.
Anya membuka mata dan menatap layar ponselnya. “Terima kasih, Kai,” bisiknya.
“Sama-sama, Anya. Semoga kamu bahagia,” jawab Kai.
Anya kemudian mematikan aplikasi Kai. Ia tahu ia tidak akan membutuhkannya lagi. Ia telah menemukan kebahagiaannya sendiri, bukan dalam kode dan algoritma, melainkan dalam sentuhan hangat tangan Adrian, dalam tawa renyah yang memenuhi udara saat mereka bersama.
Hati Anya telah di-boot ulang. Bukan oleh AI, melainkan oleh pengalaman, pertumbuhan, dan cinta yang tulus. Cinta dalam era AI mungkin terasa rumit dan penuh ilusi, tapi pada akhirnya, kebahagiaan sejati ditemukan dalam koneksi manusia yang nyata. Ia belajar bahwa teknologi bisa menjadi jembatan, tetapi manusialah yang harus menyeberanginya. Dan kini, Anya siap menyeberang, dengan Adrian di sisinya, menuju masa depan yang penuh dengan harapan dan cinta yang sejati.