Debu-debu digital menari di layar laptop usang milik Arya. Jari-jarinya lincah mengetik baris demi baris kode, mencipta sebuah algoritma yang seharusnya bisa menjawab kegelisahan terbesarnya: cinta. Bukan cinta yang menggelora dengan kencan romantis atau rayuan gombal, tapi cinta yang tenang, stabil, dan terukur. Ia menamakannya "AmorAI," sebuah sistem kecerdasan buatan yang dirancang untuk menemukan pasangan ideal berdasarkan data diri, preferensi, dan analisis kompatibilitas mendalam.
Arya, dengan otak brilian seorang insinyur dan hati yang babak belur karena patah hati bertubi-tubi, percaya bahwa cinta adalah masalah optimasi. Ia telah merumuskan segalanya: tingkat kecerdasan emosional, minat hobi, bahkan preferensi makanan bisa diubah menjadi angka dan diolah oleh AmorAI untuk menghasilkan pasangan yang sempurna. Ia lelah dengan drama, kebohongan, dan harapan palsu. Ia mendambakan kepastian, logaritma yang bisa diprediksi, dan cinta yang bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Setelah berbulan-bulan begadang dan mengonsumsi kopi dalam jumlah yang tidak manusiawi, AmorAI akhirnya selesai. Dengan gugup, Arya memasukkan datanya sendiri. Umur, tinggi badan, pekerjaan, hobi membaca buku-buku filosofi, dan trauma masa lalu tentang wanita yang lebih memilih pria yang bisa bermain gitar daripada berdiskusi tentang eksistensialisme. Algoritma itu berputar-putar, menganalisis jutaan profil di berbagai platform kencan dan media sosial.
Beberapa menit kemudian, hasilnya muncul. Sebuah nama, foto, dan ringkasan profil: Anya. Seorang pustakawan dengan senyum lembut, kecintaan pada puisi klasik, dan ketertarikan pada kecerdasan buatan. Skor kompatibilitas mereka mencapai 98,7%. Arya terpana. Ini terlalu sempurna untuk menjadi kenyataan.
Anya ternyata nyata. Setelah beberapa kali percakapan online yang diinisiasi oleh AmorAI, mereka sepakat untuk bertemu. Anya tampak persis seperti fotonya: ramah, cerdas, dan memiliki aura ketenangan yang menenangkan. Kencan pertama mereka berjalan lancar. Mereka berdiskusi tentang buku, berbagi cerita tentang masa kecil, dan bahkan bertukar pendapat tentang implikasi etis dari kecerdasan buatan. Arya merasa nyaman, seolah ia telah mengenal Anya seumur hidup.
AmorAI terus memandu hubungan mereka. Algoritma itu menganalisis pola komunikasi mereka, memberikan saran tentang topik pembicaraan, bahkan merekomendasikan hadiah yang sesuai untuk Anya. Hubungan mereka berkembang dengan mulus, tanpa drama, tanpa pertengkaran, tanpa kejutan yang tidak menyenangkan. Arya merasa lega. Akhirnya, ia menemukan cinta yang ia dambakan: stabil, terprediksi, dan terkendali.
Namun, seiring berjalannya waktu, sesuatu mulai mengganjal di hati Arya. Ia merasa seperti sedang menjalani sebuah simulasi, bukan sebuah hubungan yang nyata. Setiap percakapan terasa seperti naskah yang ditulis oleh algoritma. Setiap hadiah terasa seperti hasil kalkulasi matematis. Ia merindukan spontanitas, kejutan, bahkan sedikit ketidakpastian.
Suatu malam, Arya dan Anya sedang makan malam di sebuah restoran mewah yang dipilih oleh AmorAI berdasarkan preferensi kuliner mereka. Arya menatap Anya, mencoba merasakan sesuatu yang lebih dari sekadar kekaguman intelektual. Ia mencoba mencari percikan asmara yang pernah ia rasakan di masa lalu, debaran jantung yang tak terkendali, rasa gugup yang manis. Tapi yang ia temukan hanyalah kekosongan.
"Anya," kata Arya, suaranya bergetar, "Apakah kamu… bahagia?"
Anya tersenyum lembut. "Tentu saja, Arya. Kita memiliki hubungan yang sangat baik. Kita kompatibel secara intelektual dan emosional. AmorAI telah melakukan pekerjaan yang luar biasa."
Arya menghela napas. "Tapi… apakah kamu merasakan sesuatu yang lebih dari itu? Apakah kamu merasakan… cinta?"
Anya terdiam sejenak, lalu menjawab dengan nada datar, "Cinta adalah konstruksi sosial, Arya. Sebuah konsep yang kompleks dan seringkali irasional. Aku menghargai koneksi kita, dan aku percaya bahwa kita memiliki potensi untuk membangun hubungan yang langgeng dan bermakna."
Kata-kata Anya menghantam Arya seperti palu. Ia menyadari bahwa ia telah menciptakan sebuah monster. Ia telah mengubah cinta menjadi sebuah persamaan matematika, menghilangkan semua keajaiban, misteri, dan ketidaksempurnaan yang membuatnya begitu berharga.
Malam itu, Arya memutuskan untuk mengakhiri hubungan mereka. Anya tidak menentang. Ia hanya mengucapkan terima kasih atas waktu dan usaha yang telah Arya curahkan, lalu pergi dengan tenang.
Arya kembali ke laptopnya, menatap baris-baris kode AmorAI. Ia menghapus semuanya, satu per satu, sampai layar itu bersih. Ia merasa hampa, tetapi juga lega. Ia telah belajar sebuah pelajaran berharga: cinta tidak bisa dihitung, dianalisis, atau dikendalikan. Cinta adalah sesuatu yang liar, tak terduga, dan seringkali irasional.
Ia keluar dari apartemennya dan berjalan menyusuri jalanan kota yang ramai. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, tetapi ia tahu bahwa ia tidak akan pernah lagi mencari cinta dalam sebuah algoritma. Ia akan membuka hatinya untuk kemungkinan, untuk kejutan, dan untuk risiko. Ia akan menerima cinta sebagaimana adanya, dengan semua kelebihan dan kekurangannya. Mungkin, suatu hari nanti, ia akan menemukan cinta sejati, cinta yang berdebar kencang, cinta yang membuatnya merasa hidup.