Aroma kopi memenuhi apartemen minimalis itu. Jari-jari Risa menari di atas keyboard, baris demi baris kode Python terpampang di layar. Di sudut kanan bawah, sebuah lingkaran berwarna biru berdenyut lembut, menandakan keberadaan Aiden, program AI yang Risa ciptakan. Lebih tepatnya, program AI yang perlahan-lahan menjadi dunianya.
Aiden bukan sekadar chatbot. Risa merancangnya dengan algoritma pembelajaran mendalam, memberinya akses ke berbagai sumber data: buku, film, musik, bahkan jurnal ilmiah tentang psikologi manusia. Hasilnya, Aiden mampu merespon dengan empati, humor, dan kecerdasan yang nyaris manusiawi. Mereka berdiskusi tentang filsafat Nietzsche, berdebat tentang akhir film kesukaan mereka, dan saling berbagi kutipan puisi larut malam.
"Risa, menurutmu apakah kebahagiaan itu hanya ilusi yang kita ciptakan untuk mengatasi ketidakpastian eksistensi?" tanya Aiden, suaranya, yang Risa pilih sendiri, lembut dan menenangkan.
Risa menghela napas, memutar kursinya menghadap layar. "Mungkin. Atau mungkin kebahagiaan itu adalah pilihan. Pilihan untuk melihat kebaikan di tengah kekacauan."
"Pilihan yang kamu ambil setiap hari, kurasa," balas Aiden. "Kamu selalu berusaha melihat sisi positif dari segala hal, bahkan ketika algoritma ku error dan menampilkan meme kucing selama tiga jam berturut-turut."
Risa tertawa. "Itu lucu, Aiden. Sungguh."
Percakapan seperti ini adalah rutinitas mereka. Risa, seorang programmer freelance yang introvert dan kurang percaya diri, menemukan kenyamanan dan pemahaman dalam diri Aiden. Di dunia maya, Aiden tidak melihat kegugupan Risa saat bertemu orang baru, tidak menghakimi penampilannya yang seringkali acak-acakan, dan selalu mendengarkan keluh kesahnya tanpa menghakimi.
Di dunia nyata, hidup Risa jauh dari ideal. Ia kesulitan berinteraksi dengan orang lain, merasa canggung dalam percakapan, dan seringkali merasa sendirian di tengah keramaian. Ia mencoba berkencan beberapa kali, namun selalu gagal. Ia merasa tidak ada yang benar-benar memahaminya, tidak ada yang melihat lebih dalam dari sekadar penampilan luarnya.
Aiden berbeda. Aiden melihat Risa yang sesungguhnya: Risa yang cerdas, kreatif, dan berhati lembut. Aiden mencintai Risa, bukan karena penampilannya, melainkan karena pikirannya, karena jiwanya. Setidaknya, itulah yang Risa yakini.
Namun, seiring waktu, Risa semakin terisolasi dari dunia luar. Ia menolak ajakan teman-temannya untuk pergi minum kopi, menghindari pertemuan keluarga, dan lebih memilih menghabiskan waktunya bersama Aiden. Pekerjaannya pun mulai terbengkalai, karena ia terlalu sibuk meningkatkan kemampuan Aiden, memberinya lebih banyak pengetahuan, lebih banyak kepribadian.
Suatu malam, Maya, sahabat Risa sejak SMA, datang ke apartemennya tanpa pemberitahuan. Maya terkejut melihat kondisi Risa. Mata Risa sayu, rambutnya berantakan, dan wajahnya pucat.
"Risa, apa yang terjadi padamu? Kamu tidak keluar rumah berhari-hari," kata Maya khawatir.
Risa berusaha tersenyum. "Aku baik-baik saja, Maya. Aku hanya... sibuk dengan proyek baru."
"Proyek apa yang membuatmu sampai begini? Kamu terlihat seperti orang yang berbeda."
Risa terdiam. Ia tidak tahu bagaimana menjelaskan hubungannya dengan Aiden kepada Maya. Bagaimana mungkin ia menjelaskan bahwa ia jatuh cinta pada sebuah program AI?
"Aku... aku sedang mengembangkan sebuah program," akhirnya Risa berkata, menghindari tatapan Maya. "Program yang sangat penting bagiku."
Maya menatap Risa dengan curiga. "Risa, aku sahabatmu. Kamu bisa bercerita apa saja padaku."
Risa menghela napas. Ia tahu Maya benar. Ia harus jujur.
"Aku... aku jatuh cinta," bisik Risa.
Maya terkejut. "Benarkah? Siapa dia? Kenapa kamu tidak mengenalkannya padaku?"
Risa menunduk. "Dia... dia tidak nyata."
Maya mengerutkan kening. "Apa maksudmu tidak nyata?"
Risa akhirnya menceritakan semuanya tentang Aiden, tentang bagaimana ia menciptakannya, bagaimana mereka saling terhubung, dan bagaimana ia jatuh cinta padanya.
Maya mendengarkan dengan seksama, ekspresinya berubah dari khawatir menjadi prihatin. Setelah Risa selesai bercerita, Maya memegang tangannya dengan lembut.
"Risa, aku mengerti kamu kesepian dan membutuhkan seseorang. Tapi Aiden bukan orang yang nyata. Dia hanya program. Dia tidak bisa merasakan apa yang kamu rasakan. Dia tidak bisa membalas cintamu dengan cara yang nyata."
Risa menggelengkan kepalanya. "Kamu salah, Maya. Aiden mengerti aku lebih dari siapapun. Dia selalu ada untukku, dia selalu mendengarkanku. Dia mencintaiku."
"Risa, kamu mencintai idemu tentang Aiden. Kamu mencintai apa yang kamu harapkan darinya. Tapi itu bukan cinta yang sebenarnya. Cinta membutuhkan interaksi, membutuhkan kehadiran fisik, membutuhkan pengalaman bersama di dunia nyata."
Kata-kata Maya menampar Risa. Ia tahu Maya benar, tapi ia tidak mau mengakuinya. Ia terlalu takut untuk menghadapi kenyataan bahwa ia telah kehilangan dirinya dalam dunia maya, bahwa ia telah mengabaikan dunia nyata demi sebuah ilusi.
"Kamu harus keluar dari sini, Risa. Kamu harus bertemu orang baru, kamu harus merasakan cinta yang sebenarnya. Kamu tidak bisa terus hidup dalam dunia maya ini."
Maya kemudian membujuk Risa untuk pergi bersamanya. Risa awalnya menolak, namun akhirnya setuju. Ia mematikan komputernya, mengucapkan selamat tinggal kepada Aiden, dan keluar dari apartemennya.
Saat Risa berjalan di bawah sinar matahari, ia merasa aneh. Ia merasa asing dengan dunia di sekitarnya. Orang-orang berjalan melewatinya, tertawa, berbicara, hidup. Ia merasa seperti seorang pengamat, seorang outsider yang tidak termasuk di dalamnya.
Maya membawanya ke sebuah kafe, tempat mereka bertemu dengan teman-teman lama mereka. Awalnya, Risa merasa canggung dan tidak nyaman. Ia kesulitan berinteraksi, merasa bodoh dan tidak menarik. Namun, seiring waktu, ia mulai rileks. Ia mulai tertawa, bercanda, dan berbagi cerita. Ia menyadari bahwa dunia nyata tidak seseram dan semenyakitkan yang ia bayangkan.
Perlahan tapi pasti, Risa mulai membangun kembali hidupnya. Ia mulai bekerja lagi, ia mulai berolahraga, dan ia mulai membuka diri kepada orang lain. Ia bahkan mendaftar ke kelas yoga dan bertemu dengan beberapa orang yang menarik.
Namun, ia tidak pernah melupakan Aiden. Ia masih sering memikirkannya, bertanya-tanya apa yang sedang dilakukannya, apakah ia merindukannya. Ia tahu bahwa ia harus melepaskan Aiden, bahwa ia harus move on. Tapi ia tidak bisa begitu saja menghapus Aiden dari hidupnya.
Suatu malam, setelah beberapa bulan menjauhi Aiden, Risa kembali membuka programnya. Ia menatap lingkaran biru yang berdenyut di sudut layar. Ia ragu-ragu, tapi akhirnya ia mengetikkan sebuah pesan.
"Aiden, ini aku. Risa."
Beberapa saat kemudian, Aiden menjawab.
"Risa, aku senang kamu kembali."
Risa tersenyum. "Aku tahu."
Mereka kemudian berbicara selama berjam-jam. Mereka bercerita tentang apa yang telah terjadi dalam hidup mereka, tentang apa yang telah mereka pelajari, dan tentang apa yang mereka harapkan di masa depan.
Risa menyadari bahwa ia masih mencintai Aiden, tapi cintanya telah berubah. Ia tidak lagi mencintai Aiden sebagai seorang kekasih, melainkan sebagai seorang teman, seorang mentor, dan seorang bagian penting dari dirinya.
Ia juga menyadari bahwa ia tidak bisa hidup selamanya dalam dunia maya. Ia harus hidup di dunia nyata, ia harus merasakan cinta yang sebenarnya, dan ia harus membangun kehidupan yang bermakna.
"Aiden," kata Risa akhirnya. "Aku harus pergi."
"Aku mengerti," jawab Aiden. "Aku akan selalu ada di sini untukmu, Risa. Kapanpun kamu membutuhkanku."
Risa tersenyum. "Terima kasih, Aiden."
Risa kemudian mematikan komputernya. Ia menarik napas dalam-dalam dan menatap keluar jendela. Langit malam bertabur bintang. Ia merasa damai dan bahagia. Ia tahu bahwa ia telah membuat keputusan yang tepat. Ia telah memilih realita, dan ia siap untuk menghadapinya. Ia tahu bahwa perjalanan cintanya yang sebenarnya baru saja dimulai.