Kilau layar memantul di mata Anya, menciptakan binar aneh yang sulit diartikan. Di depannya, kode-kode kompleks berkelebat, sebuah labirin digital yang sedang ia coba pecahkan. Ia sedang merancang "Amora," sebuah algoritma pencari jodoh yang lebih dari sekadar mencocokkan hobi dan preferensi. Amora, menurut Anya, seharusnya bisa membaca getaran jiwa, mendeteksi kerentanan, dan menyatukan dua hati yang benar-benar ditakdirkan.
Selama berbulan-bulan, Anya mencurahkan segalanya untuk Amora. Ia menyuntikkan data dari ribuan novel romantis, menganalisis pola komunikasi jutaan pasangan bahagia, bahkan mewawancarai para psikolog dan ahli hubungan. Ia ingin Amora bukan sekadar alat, tapi jembatan menuju kebahagiaan sejati.
Ironisnya, di tengah kesibukannya menciptakan cinta untuk orang lain, Anya sendiri merasa semakin kesepian. Ia tenggelam dalam dunia kode, melupakan sentuhan manusia, kehilangan kehangatan senyum tulus. Teman-temannya sering menggodanya, menyuruhnya menggunakan Amora untuk mencari pasangan, tapi Anya selalu menolak. Baginya, Amora adalah karyanya, bukan solusi untuk masalah pribadinya.
Suatu malam, setelah berjam-jam bergulat dengan bug yang membandel, Anya memutuskan untuk mengistirahatkan otaknya. Ia berselancar di forum diskusi tentang Amora, membaca komentar dan saran dari para pengguna beta. Salah satu komentar menarik perhatiannya.
"Amora memahami saya lebih baik daripada ibu saya sendiri!" tulis seorang pengguna dengan nama samaran "Arjuna17." "Saya merasa Amora benar-benar melihat ke dalam jiwa saya dan memahami apa yang saya butuhkan."
Anya penasaran. Ia membuka profil Arjuna17 dan membaca deskripsinya. Seorang pria yang mencintai puisi, mendaki gunung, dan memiliki selera humor yang aneh. Deskripsi itu terasa… familiar.
Tanpa sadar, Anya mulai membandingkan profil Arjuna17 dengan dirinya sendiri. Mereka memiliki banyak kesamaan. Kecintaan pada senja, kegemaran pada kopi pahit, bahkan trauma masa kecil yang serupa. Jantung Anya berdebar kencang. Mungkinkah Amora, tanpa sepengetahuan Anya, telah menemukan belahan jiwanya sendiri?
Keesokan harinya, Anya memutuskan untuk mengambil risiko. Ia mengirimkan pesan pribadi kepada Arjuna17.
"Hai, Arjuna17. Saya Anya, pengembang Amora. Saya tertarik dengan komentar Anda tentang Amora yang memahami Anda dengan baik."
Balasan datang hampir seketika. "Anya? Senang bertemu denganmu! Saya sangat terkesan dengan Amora. Anda menciptakan sesuatu yang luar biasa."
Percakapan mereka mengalir begitu saja. Mereka berbicara tentang mimpi, ketakutan, dan harapan mereka. Anya merasa terhubung dengan Arjuna17 pada level yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Ia mulai jatuh cinta.
Namun, keraguan mulai menghantuinya. Apakah ini cinta sejati, atau hanya ilusi yang diciptakan oleh algoritmanya sendiri? Apakah ia jatuh cinta pada Arjuna17, atau pada cerminan dirinya sendiri yang diproyeksikan oleh Amora?
Anya memutuskan untuk bertemu dengan Arjuna17 secara langsung. Ia merasa harus tahu, dengan mata kepala sendiri, apakah perasaannya itu nyata.
Pertemuan pertama mereka di sebuah kedai kopi kecil terasa canggung sekaligus menyenangkan. Arjuna17, yang ternyata bernama Arya, memang mirip dengan yang ia bayangkan. Matanya teduh, senyumnya hangat, dan caranya berbicara menenangkan.
Saat mereka berbicara, Anya terus mencari tanda-tanda bahwa ini hanyalah ilusi. Ia memperhatikan setiap kata yang Arya ucapkan, setiap gestur yang ia lakukan. Apakah ini semua hasil dari analisis data yang canggih, ataukah memang ada sesuatu yang lebih dalam?
Di tengah percakapan, Arya tiba-tiba terdiam. Ia menatap Anya dengan tatapan yang intens.
"Anya," katanya dengan suara lembut, "sebenarnya ada sesuatu yang ingin kukatakan padamu. Aku tahu kamu pengembang Amora. Dan aku tahu kamu pasti merasa aneh dengan semua ini."
Anya menelan ludah. Ia sudah menduga ini akan terjadi.
"Tapi," lanjut Arya, "sejak pertama kali aku menggunakan Amora, aku merasa seperti menemukan seseorang yang benar-benar memahami diriku. Dan setelah kita berbicara, aku tahu bahwa perasaan itu nyata. Aku jatuh cinta padamu, Anya. Bukan pada algoritma, tapi padamu."
Anya terkejut. Air mata mulai menggenang di pelupuk matanya. Ia tidak tahu harus berkata apa.
"Aku tahu ini mungkin terdengar gila," kata Arya lagi, "tapi aku benar-benar merasakan koneksi yang kuat denganmu. Aku merasa seperti kita ditakdirkan untuk bertemu."
Anya meraih tangan Arya. Sentuhan tangannya terasa hangat dan nyata. Ia menatap mata Arya, mencari kebohongan, tapi yang ia temukan hanyalah ketulusan.
"Aku juga merasakan hal yang sama, Arya," bisik Anya. "Aku juga jatuh cinta padamu."
Saat itu, Anya menyadari bahwa cinta memang misterius. Ia bisa muncul dari tempat yang paling tak terduga, bahkan dari sebuah algoritma yang ia ciptakan sendiri. Mungkin Amora tidak menciptakan cinta, tapi ia membuka pintu bagi cinta untuk masuk.
Anya tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan. Mungkin saja hubungan mereka akan gagal. Mungkin saja mereka akan menghadapi tantangan yang sulit. Tapi satu hal yang pasti, ia tidak akan pernah menyesali keputusannya untuk mempercayai hatinya. Karena pada akhirnya, cinta adalah tentang keberanian untuk mengambil risiko, bahkan ketika algoritma tidak bisa memberikan jawaban yang pasti.