Jari-jariku gemetar di atas keyboard. Layar laptop memancarkan cahaya biru yang menyilaukan, mempertegas lingkaran hitam di bawah mataku. Di depanku, barisan kode program bergulir tanpa henti. Bukan kode untuk proyek kecerdasan buatan yang biasanya aku kerjakan, tapi kode untuk sesuatu yang jauh lebih personal: skripsi hati.
Aku, Anya, mahasiswi tingkat akhir jurusan Informatika, sedang mencoba menulis ulang akhir kisah cintaku dengan Reno menggunakan AI. Ironis, bukan? Mengandalkan algoritma untuk memecahkan masalah yang seharusnya diselesaikan dengan hati. Tapi hatiku, seperti program yang terkena bug, tidak bisa lagi berfungsi dengan benar.
Reno, dengan senyumnya yang teduh dan tatapannya yang selalu membuatku merasa istimewa, dulu adalah duniaku. Kami bertemu di lab komputer, sama-sama tergila-gila dengan dunia coding. Cinta kami tumbuh perlahan, seperti pohon yang dirawat dengan sabar, akarnya menjalar semakin dalam seiring waktu. Sampai suatu hari, badai datang menerjang.
Badai itu bernama Lintang, mahasiswi pertukaran dari Jepang yang cerdas dan memesona. Dia bergabung dengan tim riset kami dan langsung mencuri perhatian Reno. Aku melihatnya, perubahan kecil dalam sorot mata Reno ketika menatap Lintang, senyum yang lebih lebar, obrolan yang semakin intens. Aku merasa seperti kode yang di-deprecated, ditinggalkan demi teknologi yang lebih baru dan canggih.
Reno tidak pernah secara eksplisit mengatakan apapun. Dia hanya menjadi lebih sibuk, lebih sulit dihubungi, dan lebih sering menghabiskan waktu dengan Lintang. Aku mencoba berbicara dengannya, tapi setiap kali aku membuka mulut, kata-kata itu tercekat di tenggorokanku. Ketakutan akan penolakan, akan konfirmasi bahwa aku memang sudah tidak lagi cukup, melumpuhkanku.
Akhirnya, aku memutuskan untuk melakukan sesuatu yang gila. Aku menggunakan pengetahuanku tentang AI untuk menciptakan program yang bisa menganalisis data dari percakapan kami, kebiasaan Reno, bahkan unggahan media sosialnya. Tujuannya? Untuk mencari tahu apa yang sebenarnya diinginkan Reno dan, yang terpenting, untuk menulis ulang akhir kisah kami sehingga aku tidak perlu merasakan sakit ini lagi.
Program itu aku beri nama "CintaSim". Aku memasukkan semua data yang aku punya: ribuan pesan teks, rekaman suara, foto-foto kami, bahkan catatan harianku. CintaSim mulai bekerja, menganalisis pola, mencari korelasi, dan membuat prediksi. Hasilnya? Mengejutkan.
Menurut CintaSim, Reno memang tertarik pada Lintang. Tapi ketertarikan itu lebih didorong oleh kekaguman intelektual daripada cinta. Lintang adalah sosok yang menantang Reno secara akademis, seseorang yang bisa diajak berdiskusi tentang algoritma terbaru dan tren teknologi. Sedangkan aku, menurut CintaSim, adalah tempat Reno merasa nyaman, aman, dan dicintai tanpa syarat.
Namun, CintaSim juga menemukan pola yang mengkhawatirkan. Reno merasa tertekan dengan ekspektasi yang aku berikan padanya. Dia merasa aku terlalu idealis, terlalu perfeksionis, dan terlalu bergantung padanya. Dia merasa terbebani dengan semua harapan yang aku limpahkan padanya.
Data itu menampar wajahku. Aku selama ini terlalu fokus pada perasaanku sendiri hingga tidak menyadari apa yang dirasakan Reno. Aku telah membangun penjara emosional tanpa aku sadari.
CintaSim kemudian menawarkan beberapa opsi untuk mengakhiri hubungan kami. Opsi yang paling masuk akal adalah perpisahan yang baik-baik, saling memahami dan menghargai perbedaan masing-masing. Tapi ada juga opsi yang lebih ekstrem: manipulasi emosional, mencoba membuat Reno merasa bersalah, bahkan sabotase hubungan Reno dengan Lintang.
Aku tertegun. Apakah aku benar-benar tega melakukan semua itu? Apakah aku rela mengorbankan harga diriku demi mempertahankan sesuatu yang sudah tidak lagi utuh?
Aku menutup laptop dan berjalan ke balkon. Angin malam menerpa wajahku, menyadarkanku dari lamunan panjang. Di bawah sana, lampu-lampu kota berkelap-kelip, seperti bintang-bintang yang jatuh ke bumi. Aku menarik napas dalam-dalam dan mencoba menenangkan diri.
Keesokan harinya, aku menemui Reno. Tidak ada kode program, tidak ada algoritma, hanya aku dan dia, berbicara dari hati ke hati. Aku mengakui kesalahanku, meminta maaf karena telah membebaninya, dan berterima kasih atas semua kenangan indah yang telah kami bagi bersama.
Reno mendengarkan dengan sabar, matanya memancarkan kesedihan dan kelegaan. Dia juga mengakui bahwa dia merasa tertekan dengan ekspektasiku dan bahwa dia tidak cukup berani untuk membicarakannya. Kami berpelukan lama, bukan sebagai sepasang kekasih, tapi sebagai dua orang yang pernah saling mencintai.
Akhir kisah kami memang tidak seindah yang aku impikan. Tapi akhirnya aku mengerti bahwa kebahagiaan tidak bisa diprogram, tidak bisa diprediksi oleh algoritma. Kebahagiaan adalah tentang menerima kenyataan, belajar dari kesalahan, dan membuka diri untuk kemungkinan-kemungkinan baru.
Aku menghapus program CintaSim. Skripsi hatiku tidak akan ditulis oleh AI, tapi oleh diriku sendiri. Aku memilih untuk menulis akhir kisah yang jujur, meskipun menyakitkan. Karena terkadang, akhir yang paling menyakitkan adalah awal dari sesuatu yang lebih baik.