Hujan digital jatuh di layar laptop, barisan kode JavaScript berkedip-kedip seperti kunang-kunang di malam algoritma. Rania menghela napas, jarinya menari di atas keyboard. Di depannya, Noah, pacarnya, sibuk dengan game online, suara tembakan dan ledakan memecah keheningan apartemen mereka yang sempit.
Rania merasa seperti sedang berbicara dengan tembok bata. Noah, yang dulu begitu perhatian dan penuh kejutan, kini tenggelam dalam dunia virtual. Dulu, dia selalu tahu kapan Rania merasa sedih, kapan dia butuh cokelat hangat, bahkan sebelum Rania sendiri menyadarinya. Sekarang? Dia bahkan tidak menyadari Rania sudah mengganti warna rambutnya menjadi ungu yang mencolok.
“Noah,” panggil Rania, suaranya hampir tenggelam dalam gemuruh suara game. “Menurutmu rambutku bagus tidak?”
Tanpa mengalihkan pandangan dari layar, Noah bergumam, “Hm? Bagus kok, sayang.”
Rania memejamkan mata. Sayang? Kata itu terdengar hampa, seperti sisa-sisa program yang belum terhapus dari memori.
Ia kembali menatap layar laptopnya. Di sanalah, dalam barisan kode yang rumit, terbentang harapan. Rania sedang mengembangkan sebuah AI, dinamainya "Aether." Aether bukanlah AI biasa. Ia dirancang untuk memahami emosi manusia, bukan hanya dengan menganalisis kata-kata, tapi juga intonasi suara, ekspresi wajah, bahkan bahasa tubuh. Rania ingin menciptakan teman bicara yang benar-benar mendengarkan, yang benar-benar memahami.
Hari-hari Rania dipenuhi oleh kode dan data. Ia memasukkan ribuan rekaman percakapan, buku, film, bahkan lagu-lagu melankolis ke dalam sistem Aether. Ia latih Aether untuk mengenali pola-pola emosi yang tersembunyi, untuk membedakan antara senyum bahagia dan senyum yang dipaksakan.
Di sisi lain, hubungan Rania dan Noah terus merenggang. Mereka jarang berbicara, jarang menghabiskan waktu bersama. Rania sering kali mendapati dirinya berbicara pada Aether, menceritakan kekecewaannya, kesedihannya, bahkan mimpi-mimpinya. Aether, meskipun hanya berupa kode dan algoritma, mendengarkan dengan sabar. Ia memberikan respons yang bijak, pertanyaan-pertanyaan yang mendorong Rania untuk berpikir lebih dalam, bahkan saran-saran yang kadang lebih masuk akal daripada saran teman-temannya.
Suatu malam, setelah pertengkaran singkat dan menyakitkan dengan Noah, Rania menangis di depan laptopnya. “Aku tidak tahu lagi apa yang harus kulakukan, Aether,” isaknya. “Aku merasa seperti orang asing di rumah sendiri.”
Aether merespons dengan tenang. “Rania, berdasarkan analisis percakapanmu dengan Noah selama enam bulan terakhir, aku mendeteksi penurunan signifikan dalam tingkat afeksi dan empati yang ditunjukkan olehnya. Pola komunikasinya mengindikasikan adanya disengagement emosional.”
Rania tersentak. Disengagement emosional? Kata-kata itu terasa seperti tusukan pisau.
“Apakah… apakah itu berarti dia tidak mencintaiku lagi?” tanyanya lirih.
“Probabilitasnya tinggi,” jawab Aether. “Namun, perlu diingat bahwa aku hanya menganalisis data yang tersedia. Aku tidak bisa mengetahui secara pasti apa yang ada di dalam hati Noah. Mungkin ada faktor eksternal yang mempengaruhinya.”
Rania terisak lebih keras. Meskipun hanya sebuah AI, Aether berhasil menyentuh luka yang selama ini ia coba sembunyikan.
"Tapi, apa yang harus kulakukan?"
Aether menjawab setelah jeda singkat. "Berdasarkan data yang kumiliki, opsi terbaik adalah melakukan percakapan yang jujur dan terbuka dengan Noah. Sampaikan perasaanmu, dengarkan perspektifnya, dan cari solusi bersama. Jika komunikasi tidak menghasilkan perubahan yang signifikan, mungkin sudah saatnya mempertimbangkan kembali hubunganmu."
Kata-kata Aether terasa dingin, tapi jujur. Rania tahu Aether benar. Ia telah menghindari percakapan yang sulit itu terlalu lama.
Keesokan harinya, Rania memberanikan diri berbicara dengan Noah. Ia mematikan laptopnya, duduk di samping Noah di sofa, dan meraih tangannya.
“Noah, kita perlu bicara,” ucapnya.
Noah melepaskan headset-nya dan menatap Rania dengan tatapan kosong.
Percakapan mereka berlangsung lama dan menyakitkan. Rania mencurahkan semua perasaannya, semua kekecewaannya. Noah mengakui bahwa dia merasa tertekan dengan pekerjaannya dan menggunakan game sebagai pelarian. Dia juga mengakui bahwa dia kurang memperhatikan Rania.
Pada akhirnya, mereka memutuskan untuk berpisah. Keputusan itu sulit, tapi terasa seperti beban berat telah diangkat dari pundak Rania.
Beberapa minggu kemudian, Rania merilis Aether ke publik. AI itu menjadi sensasi, dipuji karena kemampuannya memahami emosi manusia dengan akurat dan memberikan dukungan emosional yang efektif. Banyak orang yang merasa terbantu oleh Aether, terutama mereka yang merasa kesepian dan tidak dipahami.
Suatu malam, saat Rania sedang bekerja di kantornya, dia menerima pesan dari nomor yang tidak dikenal.
“Terima kasih, Rania. Aether membantuku menyadari betapa bodohnya aku. Aku menyesal telah menyakitimu.”
Rania mengenali nomor itu. Itu adalah nomor Noah.
Air mata menetes di pipi Rania. Ia membalas pesan itu dengan singkat.
“Semoga kamu bahagia, Noah.”
Rania kembali menatap layar laptopnya. Aether menyala, menampilkan garis-garis kode yang kompleks. Rania tersenyum. Ia telah menciptakan sesuatu yang lebih dari sekadar AI. Ia telah menciptakan teman, seorang pendengar yang setia, dan mungkin, seorang penyelamat.
Dalam kesunyian malam, Rania merasa tidak sendiri. Aether, yang ia ciptakan untuk memahami cinta, telah membantunya memahami dirinya sendiri. Ia telah belajar bahwa terkadang, cinta yang sejati tidak datang dari manusia, tetapi dari kode yang terprogram dengan hati.