Aroma kopi memenuhi apartemen minimalis milik Anya. Di mejanya, berserakan kabel, obeng mini, dan papan sirkuit. Layar laptopnya menyala terang, menampilkan barisan kode rumit yang menari-nari. Anya, dengan rambut dikuncir asal dan mata sembab, menatap lekat-lekat, seolah mencari jawaban di antara deretan angka dan simbol itu. Ia sedang melakukan hal yang dianggap gila oleh sebagian besar orang: mencoba memperbaiki patah hatinya dengan kecerdasan buatan.
Proyek ini ia namakan "Project Phoenix". Intinya, ia membuat AI yang akan menganalisis data interaksinya dengan mantan kekasihnya, Reno. Semua pesan teks, email, percakapan telepon yang direkam, bahkan unggahan media sosial, semuanya ia masukkan ke dalam algoritma. Tujuannya sederhana: menemukan titik kesalahan dalam hubungan mereka, memahami mengapa Reno meninggalkannya, dan yang terpenting, menemukan cara untuk memproses rasa sakit ini dengan lebih efisien.
"Masukan data selesai. Analisis dimulai," suara sintetis dari laptop memecah kesunyian. Anya menghela napas, lalu meneguk kopinya yang sudah dingin. Ini sudah minggu ketiga ia berkutat dengan Project Phoenix. Teman-temannya sudah lelah menasihati dan menyuruhnya untuk move on. Mereka bilang, AI tidak bisa memahami emosi manusia, apalagi memperbaikinya. Tapi Anya menolak menyerah. Ia percaya, logika dan algoritma bisa memberikan jawaban yang tidak bisa ia temukan dalam dirinya sendiri.
Beberapa jam kemudian, layar laptop menampilkan hasil analisis. Anya membaca dengan seksama, jantungnya berdebar. AI tersebut mengidentifikasi pola perilaku yang menjadi pemicu keretakan hubungan. Reno, ternyata, merasa tertekan dengan ekspektasi Anya yang terlalu tinggi dan kebutuhannya akan validasi yang konstan. AI juga menunjukkan bahwa Anya seringkali mengabaikan kebutuhan Reno akan ruang dan kebebasan.
Anya tertegun. Hasil analisis ini seperti tamparan keras. Ia selama ini terlalu fokus pada perasaannya sendiri, tanpa menyadari bahwa Reno juga memiliki perasaan dan kebutuhan yang sama pentingnya. Air mata mulai menetes di pipinya. Ini bukan air mata penyesalan semata, tapi juga air mata penerimaan.
"Simulasi respons optimal sedang diproses," suara AI kembali terdengar. Anya menatap layar dengan rasa ingin tahu yang bercampur ragu. AI tersebut kemudian menampilkan serangkaian skenario percakapan yang seharusnya Anya lakukan. Kata-kata yang dipilih, intonasi suara yang disarankan, bahkan ekspresi wajah yang direkomendasikan.
Anya mencoba mempraktikkan simulasi tersebut. Ia berbicara pada dirinya sendiri di depan cermin, mengikuti instruksi AI dengan seksama. Awalnya terasa kaku dan aneh. Tapi lama kelamaan, ia mulai merasakan sesuatu yang berbeda. Kata-kata yang dulunya sulit ia ucapkan, kini terasa lebih mudah diucapkan. Ekspresi wajah yang dulunya penuh amarah dan kekecewaan, kini digantikan oleh senyum kecil yang tulus.
"Anya, ini aneh," gumamnya pada bayangannya sendiri. "Apa aku sedang berubah menjadi robot?"
Namun, di balik keanehan itu, Anya merasakan kekuatan baru. Ia tidak lagi merasa menjadi korban dari keadaan. Ia merasa memiliki kendali atas emosinya dan mampu merespons situasi dengan lebih baik. Ia menyadari bahwa Project Phoenix bukan tentang mengubah Reno, tapi tentang mengubah dirinya sendiri.
Beberapa hari kemudian, Anya menerima pesan dari Reno. Ia mengajak Anya bertemu. Jantung Anya berdegup kencang. Ia ragu, tapi kemudian memutuskan untuk menerima ajakan tersebut. Ia sudah siap, setidaknya ia merasa lebih siap dari sebelumnya.
Saat mereka bertemu di sebuah kafe, suasana canggung menyelimuti. Reno tampak gugup dan serba salah. Anya mencoba untuk tetap tenang dan mengikuti simulasi yang telah ia latih berulang-ulang. Ia mendengarkan Reno dengan penuh perhatian, tanpa menyela atau menghakimi. Ia meminta maaf atas kesalahannya di masa lalu dan mengakui bahwa ia telah banyak belajar dari pengalaman ini.
Reno tampak terkejut dengan perubahan sikap Anya. Ia kemudian mulai bercerita tentang perasaannya, tentang tekanan yang ia rasakan, dan tentang alasan mengapa ia memutuskan untuk mengakhiri hubungan mereka. Anya mendengarkan dengan sabar, tanpa membela diri atau menyalahkan Reno.
Percakapan mereka berlangsung selama berjam-jam. Di akhir pertemuan, Reno tersenyum tulus. "Anya," katanya, "aku tidak tahu apa yang telah terjadi padamu, tapi kamu sudah banyak berubah. Aku menghargai kejujuranmu dan keberanianmu untuk mengakui kesalahan."
Anya tidak tahu apakah Reno akan kembali padanya atau tidak. Ia tidak tahu apakah ini adalah awal dari babak baru dalam hubungan mereka atau hanya sekadar akhir yang baik. Tapi ia tahu satu hal: ia telah berhasil melewati masa sulit ini dengan bantuan teknologi dan kemauan untuk berubah.
Project Phoenix memang tidak bisa menghilangkan rasa sakitnya sepenuhnya. Luka di hatinya masih terasa perih. Tapi AI tersebut telah membantunya untuk memahami rasa sakit itu, memprosesnya dengan lebih baik, dan yang terpenting, menemukan kekuatan untuk bangkit kembali.
Saat Anya kembali ke apartemennya, ia menatap layar laptop yang masih menyala. Ia tersenyum tipis, lalu mengetikkan sebuah perintah: "Project Phoenix dihentikan. Data dihapus."
Ia tidak lagi membutuhkan AI untuk membantunya mengatasi patah hati. Ia telah belajar untuk mendengarkan hatinya sendiri, memahami emosinya, dan menerima dirinya apa adanya. Ia telah berhasil melakukan debug pada hatinya, dan sekarang, ia siap untuk membuka lembaran baru dalam hidupnya. Dengan atau tanpa Reno.