Cinta Bertemu Data: Ketika Algoritma Jadi Mak Comblang

Dipublikasikan pada: 29 May 2025 - 04:18:00 wib
Dibaca: 164 kali
Aplikasi kencan itu bernama "SoulSync." Katanya, algoritmanya lebih dari sekadar mencocokkan hobi dan minat. SoulSync mengklaim bisa membaca pola kepribadian, menganalisis preferensi bawah sadar, dan, yang paling penting, memprediksi potensi koneksi emosional jangka panjang. Maya, seorang programmer dengan rambut dicat biru elektrik dan kacamata tebal, sangat skeptis. Baginya, cinta adalah kekacauan yang indah, bukan serangkaian kode biner.

Namun, setelah patah hati yang cukup dramatis – melibatkan seorang barista tampan yang ternyata lebih mencintai kopinya daripada dirinya – Maya menyerah. Mungkin, pikirnya, ada sesuatu dalam data yang tidak bisa dia lihat dengan mata telanjang. Dia mengunduh SoulSync, mengisi profilnya dengan jujur, bahkan sedikit berlebihan, dan menunggu.

Beberapa hari kemudian, notifikasi muncul: "SoulSync telah menemukan pasangan potensial yang paling cocok untuk Anda: bernama Aria." Maya mengernyit. Aria? Nama yang unik. Dia membuka profil Aria dengan ragu-ragu.

Aria, seorang arsitek lanskap, memiliki foto-foto taman indah yang dia desain, senyum menawan yang menampakkan lesung pipitnya, dan deskripsi diri yang jujur dan cerdas. Maya terkejut menemukan dirinya tertarik. Algorithm SoulSync, sialan, mungkin benar.

Mereka mulai bertukar pesan. Awalnya canggung, penuh kehati-hatian. Maya membahas teorinya tentang keunggulan Python atas Java, Aria menceritakan tentang perjuangannya menanam lavender di tanah berkapur. Tapi perlahan, kecanggungan itu mencair. Mereka menemukan kesamaan yang tak terduga: kecintaan pada film-film klasik, ketidaksukaan pada kebisingan, dan impian untuk memiliki pondok kecil di tepi hutan.

Setelah seminggu berkirim pesan, Aria mengajak Maya bertemu. Mereka sepakat untuk bertemu di sebuah kafe kecil yang terletak di antara kantor Maya dan studio Aria. Maya gugup. Dia memilih kemeja kotak-kotak favoritnya, memastikan kacamatanya bersih, dan berdoa agar dia tidak mengatakan sesuatu yang bodoh.

Ketika Aria muncul, Maya terpesona. Foto-fotonya memang menawan, tetapi secara langsung, Aria memancarkan aura yang sulit dijelaskan. Ada kehangatan dalam senyumnya, ketenangan dalam tatapannya. Mereka duduk, memesan kopi, dan percakapan mengalir dengan mudah. Maya melupakan kecemasan awalnya. Dia merasa seperti sedang berbicara dengan teman lama, seseorang yang sudah dia kenal seumur hidup.

Mereka menghabiskan berjam-jam di kafe itu, tertawa, berbagi cerita, dan bahkan sedikit berdebat tentang manfaat pupuk organik versus pupuk kimia. Maya menyadari bahwa dia tidak hanya tertarik pada Aria, dia benar-benar menyukainya.

Beberapa minggu kemudian, mereka berkencan lagi. Mereka mengunjungi museum seni, makan malam di restoran Italia kecil, dan berjalan-jalan di taman kota di bawah bintang-bintang. Setiap kencan membuat Maya semakin yakin bahwa SoulSync telah melakukan sesuatu yang benar.

Namun, keraguan lama Maya mulai muncul kembali. Apakah ini benar-benar cinta, atau hanya hasil dari algoritma yang pintar? Apakah mereka ditakdirkan bersama, atau hanya sekadar cocok berdasarkan data? Dia merasa bersalah karena meragukan hubungan mereka, tetapi dia tidak bisa menahan diri untuk bertanya-tanya.

Suatu malam, saat mereka duduk di balkon apartemen Aria, menikmati pemandangan kota yang berkilauan, Maya akhirnya memberanikan diri untuk mengungkapkan keraguannya.

"Aria," katanya, suaranya sedikit bergetar, "aku... aku senang kita bertemu. Tapi terkadang aku merasa aneh. Seperti... seperti ini semua direkayasa. Seperti kita hanya pasangan yang sempurna karena algoritma mengatakan begitu."

Aria menatapnya dengan serius. "Maya," katanya, "aku mengerti apa yang kau rasakan. Aku juga sempat meragukan hal yang sama. Tapi kemudian aku sadar sesuatu."

Dia meraih tangan Maya, menggenggamnya erat. "Algoritma SoulSync mungkin telah mempertemukan kita, tapi itu tidak membuat kita jatuh cinta. Itu bukan algoritma yang membuatku tertawa saat kau menceritakan lelucon bodoh tentang programmer. Itu bukan algoritma yang membuatku merasa nyaman dan aman saat bersamamu. Itu kita, Maya. Itu koneksi yang kita bangun sendiri."

Maya menatap mata Aria. Dia melihat kejujuran, kehangatan, dan cinta. Dia menyadari bahwa Aria benar. Algoritma mungkin hanya menjadi alat, tetapi yang penting adalah apa yang mereka lakukan dengannya.

"Kau benar," kata Maya, suaranya berbisik. "Ini bukan hanya tentang data. Ini tentang kita."

Aria tersenyum dan mendekat. Mereka berciuman, ciuman yang penuh dengan cinta, kelembutan, dan harapan. Di bawah bintang-bintang kota yang berkilauan, Maya menyadari bahwa cinta memang bisa ditemukan dalam data, tetapi cinta sejati membutuhkan lebih dari sekadar algoritma. Itu membutuhkan keberanian untuk membuka diri, kejujuran untuk menjadi diri sendiri, dan kesediaan untuk mengambil risiko.

Beberapa bulan kemudian, Maya dan Aria memutuskan untuk pindah bersama. Mereka menemukan sebuah apartemen kecil di tepi kota, dengan balkon yang menghadap ke taman yang rimbun. Mereka mendekorasi apartemen itu bersama-sama, mengisi setiap sudut dengan kenangan, tawa, dan cinta.

Suatu sore, saat Maya sedang bekerja di depan komputernya, Aria masuk dengan senyum lebar. "Aku punya kejutan untukmu," katanya.

Dia menyerahkan sebuah kotak kecil kepada Maya. Maya membukanya dengan hati-hati. Di dalamnya, tergeletak sebuah USB flash drive.

"Apa ini?" tanya Maya.

"Aku membongkar algoritma SoulSync," kata Aria, matanya berbinar. "Aku ingin tahu apa yang membuat kita begitu cocok."

Maya tertawa. "Kau gila!"

"Mungkin," kata Aria. "Tapi aku penasaran. Aku ingin tahu apa yang dilihat oleh data itu."

Mereka memasukkan flash drive ke komputer Maya dan membuka file yang berisi hasil analisis SoulSync. Mereka membaca daftar panjang karakteristik dan preferensi yang sesuai dengan mereka.

Di bagian paling bawah daftar, ada satu catatan kecil, ditulis dengan huruf miring: "Faktor X: Kemampuan untuk melihat keindahan dalam ketidaksempurnaan."

Maya dan Aria saling bertukar pandang. Mereka tertawa. Algoritma mungkin pintar, tetapi tidak bisa menangkap esensi dari cinta sejati. Cinta adalah tentang menerima kekurangan satu sama lain, merayakan perbedaan, dan menemukan keindahan dalam kekacauan.

Cinta mereka adalah bukti bahwa bahkan dalam dunia yang semakin didominasi oleh teknologi, hati manusia tetap menjadi kekuatan yang paling kuat. Cinta, pada akhirnya, selalu akan menemukan jalannya. Bahkan dengan bantuan algoritma.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI