Algoritma Jodoh: Cinta Diprogram, Bahagia Diperbarui?

Dipublikasikan pada: 10 Dec 2025 - 01:20:19 wib
Dibaca: 110 kali
Nada dering futuristik memecah kesunyian apartemen minimalis Sarah. Layar ponselnya berkedip-kedip, menampilkan logo aplikasi "SoulMate AI" yang ikonis. Jantung Sarah berdegup kencang. Sudah tiga bulan sejak ia mendaftar, dan hari ini, algoritma maha tahu itu akhirnya menemukan "Koneksi Optimal" untuknya.

Sarah menarik napas dalam-dalam sebelum menyentuh tombol "Terima". Profil seorang pria bernama Adrian muncul, lengkap dengan foto dirinya yang sedang tersenyum hangat di bawah sinar matahari senja. Data dirinya terpampang jelas: arsitek berusia 32 tahun, hobi membaca buku filosofi, dan memiliki selera humor yang... menurut algoritma, sangat cocok dengan selera humor sarkastik Sarah.

"Benarkah ini?" bisik Sarah pada dirinya sendiri. Selama bertahun-tahun, ia berkencan dengan berbagai pria, dari yang romantis melankolis hingga yang ambisius tanpa ampun. Semuanya gagal. Ia mulai bertanya-tanya apakah ia ditakdirkan untuk hidup sendiri, tenggelam dalam pekerjaannya sebagai pengembang aplikasi game. Lalu, SoulMate AI datang menawarkan solusi: cinta yang diprogram, kebahagiaan yang diperbarui.

Adrian ternyata adalah pria yang menyenangkan. Mereka bertemu di sebuah kedai kopi yang direkomendasikan oleh algoritma. Pembicaraan mengalir lancar, seolah mereka sudah saling mengenal selama bertahun-tahun. Adrian menertawakan lelucon sinis Sarah, dan ia terkejut mendapati dirinya tertawa lepas atas celotehan konyol Adrian. Ia merasa nyaman, tenang, dan... tertarik.

Kencan-kencan selanjutnya terasa seperti skenario film romantis yang diedit dengan sempurna. Mereka mengunjungi museum seni yang direkomendasikan algoritma berdasarkan minat mereka yang serupa. Mereka berjalan-jalan di taman kota sambil berdebat tentang teori konspirasi yang direkomendasikan berdasarkan preferensi intelektual mereka. Bahkan, restoran tempat mereka makan malam romantis pertama pun dipilih berdasarkan analisis data masakan favorit mereka.

Sarah terpukau. Algoritma SoulMate AI tampaknya lebih mengenalnya daripada dirinya sendiri. Adrian adalah representasi fisik dari semua yang ia cari dalam diri seorang pria, dikemas dalam satu paket yang menarik dan kompatibel. Ia mulai jatuh cinta.

Namun, di tengah kebahagiaan yang diprogram ini, benih keraguan mulai tumbuh. Apakah cintanya pada Adrian benar-benar nyata, atau hanya hasil dari perhitungan matematis yang rumit? Apakah ia benar-benar mengenal Adrian, atau hanya mengenal versi dirinya yang dirancang oleh algoritma agar sesuai dengan ekspektasinya?

Suatu malam, saat mereka sedang menonton film di apartemen Sarah, Adrian bertanya, "Kamu percaya pada takdir?"

Sarah terkejut. Pertanyaan itu tidak ada dalam skrip. Algoritma tidak pernah menyarankan mereka untuk membahas topik metafisika.

"Entahlah," jawab Sarah jujur. "Aku selalu berpikir bahwa takdir adalah sesuatu yang kita ciptakan sendiri. Tapi sekarang, aku mulai bertanya-tanya apakah kita hanya mengikuti algoritma yang lebih besar."

Adrian menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan. "Maksudmu... tentang SoulMate AI?"

Sarah mengangguk. "Apakah kita benar-benar saling mencintai, atau hanya mencintai gagasan tentang diri kita sendiri yang dipantulkan kembali oleh algoritma?"

Adrian terdiam sejenak. "Aku tidak tahu," jawabnya akhirnya. "Tapi aku tahu bahwa aku menikmati waktu bersamamu. Aku suka tertawa bersamamu, berbicara denganmu, dan... ya, aku rasa aku mencintaimu. Apakah itu hasil dari algoritma atau bukan, itu tidak mengubah apa yang aku rasakan."

Kata-kata Adrian menenangkan hati Sarah. Tapi keraguan itu tetap ada. Ia memutuskan untuk menguji sistem.

Keesokan harinya, Sarah mengakses dashboard SoulMate AI-nya dan mulai mengubah preferensinya. Ia mengganti hobinya dengan olahraga ekstrem, mengubah pandangannya tentang politik menjadi konservatif, dan bahkan mengubah selera humornya menjadi lebih slapstick. Ia ingin melihat apa yang akan terjadi.

Algoritma segera mendeteksi perubahan itu. Pesan peringatan muncul di layar: "Koneksi Optimal dengan Adrian berpotensi terganggu. Rekomendasi: Kembali ke preferensi awal untuk mempertahankan kompatibilitas."

Sarah mengabaikan peringatan itu. Ia ingin melihat sejauh mana algoritma dapat mempengaruhinya.

Beberapa hari kemudian, Adrian tampak bingung. Ia kesulitan mengikuti percakapan Sarah yang tiba-tiba membahas tentang panjat tebing dan politik konservatif. Leluconnya yang dulu membuatnya tertawa kini hanya membuatnya mengerutkan kening.

"Ada apa denganmu?" tanya Adrian suatu malam dengan nada frustrasi. "Kamu berbeda."

Sarah menatapnya. "Aku hanya... berkembang," jawabnya. "Mungkin kita tidak sekompatibel yang kita kira."

Adrian menghela napas. "Mungkin kau benar," katanya. "Mungkin kita terlalu bergantung pada algoritma. Mungkin kita lupa bagaimana menjadi diri kita sendiri."

Malam itu, mereka berpisah. Tidak ada pertengkaran, tidak ada air mata. Hanya kekecewaan yang pahit dan pertanyaan yang belum terjawab.

Sarah kembali ke apartemennya yang sunyi. Ia menghapus aplikasi SoulMate AI dari ponselnya. Ia merasa hampa, kehilangan, dan... bebas.

Ia menyadari bahwa cinta tidak bisa diprogram. Kebahagiaan tidak bisa diperbarui. Cinta sejati adalah tentang menerima kekurangan, tentang tumbuh bersama, tentang menemukan keindahan dalam ketidaksempurnaan. Dan itu adalah sesuatu yang tidak bisa diberikan oleh algoritma.

Beberapa bulan kemudian, Sarah bertemu dengan seorang pria di sebuah festival musik. Namanya Leo, seorang musisi jalanan yang bermain gitar dengan penuh semangat. Mereka tidak memiliki kesamaan apa pun di atas kertas. Leo adalah seniman bebas, sementara Sarah adalah seorang pengembang aplikasi yang terstruktur. Tapi ada sesuatu dalam diri Leo yang menarik Sarah. Ia jujur, otentik, dan penuh gairah.

Mereka mulai berkencan. Tidak ada algoritma yang merekomendasikan tempat kencan mereka. Mereka pergi ke konser musik bawah tanah, makan di warung kaki lima, dan berjalan-jalan di tepi pantai sambil menikmati suara ombak. Hubungan mereka tidak sempurna, tapi itu nyata.

Sarah belajar bahwa cinta bukan tentang menemukan "Koneksi Optimal", tetapi tentang menciptakan koneksi yang bermakna. Ia belajar bahwa kebahagiaan bukan tentang mengikuti algoritma, tetapi tentang menemukan kebahagiaan dalam diri sendiri.

Dan di saat itulah, Sarah akhirnya mengerti: Cinta tidak bisa diprogram, tetapi kebahagiaan bisa diperbarui. Setiap hari, setiap pengalaman, setiap tantangan adalah kesempatan untuk memperbarui dirinya, untuk menjadi versi terbaik dari dirinya sendiri. Dan dengan Leo di sisinya, ia tahu bahwa ia siap menghadapi masa depan, apa pun yang terjadi. Karena kali ini, ia tidak bergantung pada algoritma. Ia bergantung pada hatinya.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI