Debu neon berputar di sekitar Anya seperti aurora mini, terpantul dari lensa kacamatanya yang sedikit kebesaran. Di depannya, barisan kode hijau menari-nari di layar monitor, membentuk inti dari "Proyek Eros," sebuah algoritma yang dirancang untuk memahami… cinta. Anya mendengus. Cinta. Konsep abstrak yang berusaha dia kuantifikasi menjadi data.
Dua tahun dia habiskan untuk proyek ini, mencurahkan setiap detik luangnya, mengorbankan akhir pekan, bahkan kencan potensial dengan barista tampan di kedai kopi seberang kantor. Ironis, bukan? Menciptakan mesin yang seharusnya memahami cinta, sementara kehidupannya sendiri terasa hampa dalam hal yang sama.
Proyek Eros, awalnya hanya tugas kuliah iseng, berkembang menjadi obsesi. Anya terinspirasi oleh artikel tentang ketidakakuratan aplikasi kencan. Algoritma mereka hanya mencocokkan preferensi dangkal: tinggi badan, warna rambut, hobi. Tidak ada yang menyentuh esensi sebenarnya dari koneksi manusia.
Anya ingin lebih dalam. Dia memasukkan ribuan buku roman, puisi cinta, film drama, bahkan catatan harian lamanya (yang sebagian besar memalukan) ke dalam database Eros. Dia melatih algoritma untuk mengenali pola emosi, mengidentifikasi tanda-tanda ketertarikan sejati, dan memprediksi potensi kecocokan berdasarkan kompatibilitas emosional, bukan sekadar preferensi fisik.
“Hampir selesai,” gumam Anya, jarinya menari di atas keyboard. Dia telah mencapai tahap beta. Sekarang, saatnya menguji Eros pada subjek manusia.
Di situlah Leo masuk.
Leo adalah rekan kerjanya, seorang programmer brilian dengan senyum menawan dan selera humor yang kering. Anya diam-diam mengaguminya dari jauh, tapi dia terlalu sibuk (dan terlalu takut) untuk melakukan apa pun. Dia tahu Leo punya pacar, seorang influencer media sosial dengan gaya hidup yang tampak sempurna.
“Hei, Anya,” sapa Leo, suaranya mengagetkannya. “Sibuk banget, ya? Lembur lagi?”
Anya mengangguk, berusaha menyembunyikan semburat merah di pipinya. “Proyek Eros… hampir selesai.”
“Proyek Eros? Yang tentang cinta itu?” Leo tertawa kecil. “Kedengarannya… ambisius.”
“Aku harap tidak sia-sia,” jawab Anya, nadanya sedikit defensif. “Aku percaya ada lebih banyak hal dalam cinta daripada sekadar swipe kanan dan kiri.”
Leo mengangguk, matanya menatap Anya dengan intensitas yang tak terduga. “Aku setuju. Tapi… bagaimana caramu membuktikan itu?”
Anya menarik napas dalam-dalam. “Aku membutuhkan sukarelawan. Seseorang yang mau membiarkan Eros menganalisis data mereka dan menemukan… potensi kecocokan.”
Leo terdiam sejenak. Kemudian, dia tersenyum. “Aku bersedia.”
Anya terkejut. “Kamu… kamu serius? Tapi, kamu punya pacar…”
“Kita… sedang ada masalah,” kata Leo, suaranya pelan. “Mungkin Eros bisa membantuku melihat sesuatu yang tidak aku lihat.”
Maka dimulailah fase pengujian Proyek Eros. Anya mengumpulkan data Leo: riwayat pencariannya, postingan media sosialnya, bahkan transkrip percakapan pribadinya (dengan izin, tentu saja). Dia memberinya kuesioner psikologis yang panjang dan membosankan. Leo menjawab semuanya dengan sabar dan jujur.
Algoritma bekerja siang dan malam, menganalisis setiap bit data, mencari pola, membuat koneksi. Anya mengamati hasilnya dengan cermat, mencoba memahami logika di balik setiap rekomendasi.
Kemudian, hasilnya keluar.
Proyek Eros merekomendasikan Anya.
Anya membeku. Dia membaca laporan itu berulang-ulang, memastikan dia tidak salah paham. Algoritma yang dia ciptakan sendiri, mesin yang dia latih untuk memahami cinta, menyatakan bahwa dia adalah pasangan yang paling cocok untuk Leo.
Dia merasa bingung, gembira, dan takut pada saat yang bersamaan. Apakah ini mungkin? Apakah mungkin Eros benar-benar melihat sesuatu yang tidak dia lihat?
Dia menunjukkan hasilnya kepada Leo. Leo membaca laporan itu dengan tenang, tanpa ekspresi. Anya tidak bisa menebak apa yang sedang dipikirkannya.
“Jadi…” kata Anya, akhirnya memecah kesunyian. “Menurut Eros…”
“Menurut Eros, kita cocok,” Leo menyelesaikan kalimatnya. Dia menatap Anya, senyum tipis bermain di bibirnya. “Dan… sejujurnya, aku tidak terkejut.”
Anya merasa jantungnya berdebar kencang. “Apa… apa maksudmu?”
“Aku sudah menyukaimu, Anya,” kata Leo, suaranya lembut. “Sejak lama. Tapi aku terlalu pengecut untuk mengakuinya. Aku pikir kamu terlalu sibuk dengan Proyek Eros.”
Anya terdiam. Air mata mulai menggenang di matanya. Dia tidak pernah menyangka ini akan terjadi.
“Apakah kamu… percaya pada algoritma?” tanya Anya, suaranya bergetar.
Leo tertawa kecil. “Aku percaya padamu, Anya. Kamu yang menciptakan algoritma itu. Kamu yang memasukkan semua cinta dan perhatian ke dalamnya.”
Leo mendekat, mengangkat tangannya, dan menyentuh pipi Anya dengan lembut. “Dan mungkin… Eros juga sedikit membantuku untuk lebih berani.”
Anya menutup matanya dan bersandar pada sentuhan Leo. Mungkin, algoritma memang bisa memahami lebih dari sekadar cinta. Mungkin, itu bisa membantu kita menemukan keberanian untuk mengejar apa yang selama ini kita inginkan.
Dia membuka matanya dan menatap Leo. Debu neon di layar monitor kini tampak seperti bintang-bintang yang berputar di sekitar mereka, merayakan momen yang tak terduga ini.
“Jadi…” kata Anya, senyumnya merekah. “Bagaimana kalau kita memberikan kesempatan pada Eros?”
Leo membalas senyumnya. “Aku tidak sabar.”
Mereka berpegangan tangan, tatapan mereka terkunci. Di latar belakang, barisan kode hijau terus menari, saksi bisu dari awal sebuah kisah cinta yang dibantu oleh algoritma. Kisah cinta yang mungkin tidak akan pernah terjadi tanpa nyala layar dan keberanian untuk memercayai sesuatu yang tak terduga.