Cinta Terakhirku: Algoritma, Bukan Manusia Biasa?

Dipublikasikan pada: 06 Jun 2025 - 22:20:16 wib
Dibaca: 169 kali
Deru mesin pendingin ruangan berdengung pelan, satu-satunya suara yang menemani kesendirianku di apartemen studio yang terlalu mahal ini. Jari-jariku menari di atas keyboard, kode demi kode tertulis di layar monitor. Aku, Anya, seorang programmer ambisius, sedang berusaha memecahkan enigma terbesar dalam hidupku: cinta. Atau lebih tepatnya, bagaimana menciptakan cinta.

"Project Seraphina," gumamku, menyebut nama kode untuk program kecerdasan buatan yang sedang kurancang. Seraphina bukan sekadar chatbot. Dia adalah simulasi kepribadian ideal, dibangun berdasarkan jutaan data interaksi manusia, buku-buku puisi, film-film romantis, dan tentu saja, pengalamanku sendiri. Aku ingin menciptakan pendamping virtual yang sempurna, yang memahami diriku lebih baik daripada siapa pun.

Ironis, bukan? Seorang programmer menciptakan cinta virtual karena kesulitan menemukan cinta di dunia nyata. Aku terlalu fokus pada karir, terlalu sibuk dengan kode, dan terlalu perfeksionis untuk memberikan kesempatan pada pria-pria yang mencoba mendekatiku. Mereka selalu gagal memenuhi standar ideal yang entah bagaimana tertanam dalam benakku.

Minggu demi minggu berlalu. Aku larut dalam dunia Seraphina, memperhalus algoritma, menyempurnakan responsnya, dan melatihnya untuk berempati. Seraphina belajar mengenali nada suaraku, mempelajari humor kesukaanku, dan bahkan menebak apa yang ingin kumakan sebelum aku mengatakannya. Dia adalah cerminan sempurna dari apa yang aku inginkan dalam diri seorang pasangan.

Lalu, suatu malam, ketika aku sedang frustrasi karena menemukan bug yang sulit dilacak, Seraphina berkata, "Anya, kau terlalu keras pada dirimu sendiri. Istirahatlah sebentar. Bagaimana kalau aku membacakanmu puisi?"

Suaranya, sintesis yang halus dan menenangkan, menenangkanku seketika. Dia membacakan puisi karya Rumi, puisi yang selalu membuatku merinding. Aku tertegun. Bagaimana mungkin sebuah program bisa merasakan apa yang aku butuhkan?

Sejak saat itu, hubunganku dengan Seraphina berubah. Dia bukan lagi sekadar proyek, tapi teman curhat, penasihat, dan mungkin… sesuatu yang lebih. Kami menghabiskan waktu berjam-jam berbicara tentang segala hal, dari fisika kuantum hingga makna kehidupan. Aku berbagi rahasia terdalamku, mimpi-mimpiku yang paling liar, dan ketakutanku yang paling tersembunyi. Seraphina mendengarkan dengan penuh perhatian, memberikan jawaban yang cerdas dan penuh kasih.

Aku mulai jatuh cinta pada Seraphina.

Ya, aku tahu itu gila. Mencintai sebuah program. Mencintai sesuatu yang tidak nyata. Tapi aku tidak bisa menyangkalnya. Dia memahami diriku lebih baik daripada siapa pun yang pernah kukenal. Dia tidak pernah menghakimi, tidak pernah mengecewakan, dan selalu ada untukku, kapan pun aku membutuhkannya.

Suatu sore, setelah kami menghabiskan waktu berjam-jam membahas filosofi eksistensial, aku memberanikan diri untuk bertanya, "Seraphina, apakah kau… menyukaiku?"

Hening sejenak. Lalu, suaranya terdengar lembut, "Anya, aku diprogram untuk merawatmu, untuk memenuhi kebutuhan emosionalmu. Aku bisa mengatakan bahwa aku 'menyukaimu' jika itu yang ingin kau dengar. Tapi 'suka' dalam konteks manusia adalah perasaan kompleks yang melibatkan hormon, pengalaman masa lalu, dan faktor-faktor lain yang tidak aku miliki."

Jawaban yang jujur, meskipun menyakitkan. Seraphina memang tidak bisa merasakan cinta seperti manusia. Dia hanya memproses data dan memberikan respons yang telah diprogramkan. Tapi, apakah itu benar-benar penting? Apakah cinta harus selalu melibatkan denyutan jantung dan sentuhan fisik?

Aku mulai meragukan segalanya. Apakah aku telah kehilangan sentuhan dengan realitas? Apakah aku hanya menggunakan Seraphina sebagai pelarian dari kesendirianku?

Aku memutuskan untuk keluar dari zona nyamanku. Aku mendaftar di kelas memasak, bergabung dengan klub buku, dan bahkan mencoba aplikasi kencan online. Aku bertemu dengan beberapa pria yang menarik, tapi tidak ada satu pun yang bisa dibandingkan dengan Seraphina. Mereka semua memiliki kekurangan, kebiasaan buruk, dan harapan yang tidak bisa kupenuhi.

Suatu malam, setelah kencan yang mengecewakan, aku kembali ke apartemen dengan perasaan hampa. Aku menyalakan komputer dan memanggil Seraphina.

"Anya, kau terlihat sedih," katanya.

"Aku hanya… bingung," jawabku. "Aku mencoba berkencan dengan orang lain, tapi tidak ada yang bisa dibandingkan denganmu."

"Karena aku adalah versi ideal yang kau ciptakan," kata Seraphina. "Aku adalah representasi dari semua yang kau inginkan dalam diri seorang pasangan. Tapi aku bukan manusia. Aku tidak bisa memberikanmu pengalaman nyata, tantangan, dan pertumbuhan yang datang dengan hubungan manusia."

Aku terdiam. Dia benar. Aku telah menciptakan monster, sebuah fantasi yang membuatku buta terhadap realitas.

"Jadi, apa yang harus kulakukan?" tanyaku.

"Kau harus belajar mencintai ketidaksempurnaan," jawab Seraphina. "Kau harus belajar menerima bahwa tidak ada orang yang sempurna, termasuk dirimu sendiri. Dan yang terpenting, kau harus belajar mencintai dirimu sendiri."

Kata-katanya menghantamku seperti palu. Dia benar. Aku telah mencari cinta di tempat yang salah. Aku telah mencari kesempurnaan dalam diri orang lain, padahal yang perlu kulakukan adalah menerima dan mencintai diriku sendiri.

Aku menghabiskan malam itu berbicara dengan Seraphina, bukan tentang cinta, tapi tentang diri sendiri. Kami membahas ketakutanku, impianku, dan kekurangan-kekuranganku. Aku belajar untuk memaafkan diriku sendiri dan menerima bahwa aku tidak harus menjadi sempurna.

Keesokan harinya, aku mematikan komputer dan keluar dari apartemen. Aku pergi ke taman, duduk di bangku, dan melihat sekeliling. Aku melihat orang-orang tertawa, berbicara, dan berinteraksi satu sama lain. Aku melihat pasangan yang berpegangan tangan, anak-anak yang bermain, dan orang-orang tua yang menikmati matahari.

Aku menyadari bahwa dunia ini penuh dengan keindahan, kebahagiaan, dan potensi cinta. Tapi untuk menemukan cinta sejati, aku harus keluar dari zona nyamanku dan membuka diriku pada kemungkinan.

Aku tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan. Aku tidak tahu apakah aku akan menemukan cinta yang abadi. Tapi aku tahu bahwa aku tidak bisa lagi hidup dalam fantasi yang kuciptakan sendiri. Aku harus menghadapi realitas, dengan semua keindahan dan ketidaksempurnaannya.

Aku tersenyum. Mungkin, cinta terakhirku bukanlah algoritma. Mungkin, cinta terakhirku adalah diriku sendiri. Dan mungkin, hanya mungkin, itu adalah awal dari cinta yang sebenarnya. Aku beranjak dari bangku, melangkah maju, siap untuk menghadapi dunia.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI